BADAN Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengeluhkan masih sulitnya pelaku ekonomi kreatif mendapatkan akses permodalan dari perbankan. Hal itu terjadi lantaran perbankan kesulitan menentukan nilai bisnis dan menghitung jaminan serta mengukur jumlah kemampuan pengembalian pinjaman dari pelaku industri itu.
“Mayoritas subsektor industri kreatif yang terkendala berbasis ide. Pasalnya, sifatnya masih tidak terlihat (intangible). Imbasnya, sulit bagi lembaga keuangan untuk menghitung jaminan,” sebut Kepala Bekraf Triawan Munaf, di Jakarta, kemarin.
Dia memberikan contoh industri aplikasi dan gim. Bank malas memberikan mereka pinjaman karena sifatnya intangible. Bahkan, kata dia, sektor kerajinan yang bentuk fisiknya terlihat pun masih terkendala oleh permodalan. Tidak hanya itu, kesulitan lainnya ialah hal pemasaran produk keterampilan pekerja.
Karena skala bisnisnya sulit dihitung, bank jadi menganggap industri kreatif sebagai sektor industri berisiko besar.
Dari sudut pandang tersebut, akhirnya bank sulit memberikan utang kepada pelaku ekonomi kreatif.
Oleh karena itu, tambah dia, diperlukan adanya upaya bersama antara pelaku usaha dan perbankan agar memiliki sudut pandang dan pemahaman yang sama karena ada beberapa sektor potensial yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Beberapa sektor potensial itu, misalnya, fesyen, kuliner, dan kriya karena berbentuk fisik. Namun, ada beberapa sektor lain yang memiliki potensi mendapatkan bantuan pendanaan, seperti film, musik, dan animasi.
Sementara itu, Waketum Kadin Bidang Perbankan Sigit Pramono mengatakan sebenarnya perbankan mau membiayai pelaku usaha jika sektornya potensial. Misalnya, memiliki kemampuan untuk membayar dengan tepat waktu, membayar bunga, dan lain-lain.
“Bank akan masuk jika risikonya rendah. Oleh karena itu, sektor ekonomi yang sangat prospektif sehingga yang ada otoritas sektor yang jadi unggulan pemerintah, termasuk ekonomi kreatif ini diperlukan ketepatan membayar kewajiban dari kreditur itu,” kata Sigit seraya memberikan saran.