MAJALAHTERAS.COM – Tahun 2021, kita masih dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang dampaknya telah dirasakan secara multisektor. Munculnya berbagai varian baru telah membawa Indonesia menghadapi gelombang kedua melipatgandakan jumlah kasus Covid-19. Kita masih ingat
bagaimana pada puncak gelombang kedua terjadi pada rentang Juni – Agustus lalu, seluruh fasilitas kesehatan kolaps karena peningkatan jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit. Pasien maupun keluarganya yang kebingungan mencari layanan perawatan medis, kelangkaan tabung oksigen, dan cerita-cerita duka menghiasi hampir pemberitaan media massa di Indonesia.
Dalam situasi yang tak pernah terbayangkan itu, jurnalis menjadi salah satu pihak yang rentan. Kerentanan ini karena profesinya menuntut jurnalis harus tetap mendatangi ruang-ruang publik, demi menyajikan informasi yang akurat kepada audiens. Di masa krisis, kebutuhan akan informasi yang kredibel meningkat, seiring dengan misinformasi dan disinformasi soal Covid-19 membanjiri internet. Tanpa informasi yang akurat dan kredibel, sektor kesehatan publik akan terancam secara langsung.
Akan tetapi, di tengah situasi tersebut, jurnalis masih menghadapi hambatan berlapis. Kekerasan dan regulasi yang membungkam masih menjadi ancaman utama kebebasan pers di Indonesia. Di sisi lain, sejumlah jurnalis Indonesia tidak mendapatkan perlindungan memadai dari perusahaan media saat mereka terinfeksi Covid-19. Situasi ini diperburuk dengan penerapan Undang-undang Cipta Kerja, yang dampaknya telah nyata merugikan para jurnalis yang bekerja di industri media.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2021 kali ini, AJI menyoroti tiga isu utama sesuai fokus perjuangan AJI selama ini: kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis dan profesionalisme.
Pertama dalam aspek kebebasan pers, AJI Indonesia mencatat ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2021. Jumlah ini memang menurun separuh dari tahun 2020 yang mencapai 84 kasus. Meski demikian, tidak serta-merta kondisi jurnalis aman karena hanya satu kasus yang pelakunya dibawa ke meja hijau. Artinya, tren impunitas pelaku kejahatan terhadap jurnalis masih berlangsung. Mempertahankan praktik impunitas artinya membiarkan siklus kekerasan terus terjadi di tahun-tahun mendatang.
Penyalahgunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mempidanakan jurnalis masih terjadi. Tahun 2021 ditandai dengan vonis 3 bulan penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palopo terhadap Muhammad Asrul. Jurnalis berita.news tersebut didakwa melanggar pencemaran nama baik Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
AJI juga menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menilai Pasal 40 ayat (2b) UU ITE yang memberikan kewenangan tak terbatas pada pemerintah untuk memblokir informasi/dokumen elektronik sebagai hal konstitusional. Padahal kewenangan luar biasa yang dimiliki tanpa prosedur yang transparan dan akuntabel dapat disalahgunakan untuk memutus akses situs berita atau karya jurnalistik yang tayang di media online.
Selain itu, AJI mencatat tren yang mengkhawatirkan di mana tiga kali Kepolisian RI melabeli karya jurnalistik kredibel dengan stempel hoaks. Peristiwa ini tak hanya bentuk pengabaian terhadap mekanisme sengketa pemberitaan yang telah diatur oleh UU Pers, melainkan salah satu indikasi adanya upaya sistematis untuk mengontrol informasi di situasi krisis.
Indikasi lainnya untuk mengontrol informasi adalah tindakan memata-matai dan menguntit (surveillance) saat tim Indonesialeaks menginvestigasi liputan proses tes wawasan kebangsaan mantan pegawai KPK. Teror berupa peretasan juga sempat dialami akun Instagram Watchdoc Documentary, tak lama setelah mereka merilis film dokumenter tentang pegawai KPK yang disingkirkan melalui TWK.
Kedua dalam aspek kesejahteraan. Saat puncak gelombang kedua menyerang pada Juni-Agustus 2021, AJI Indonesia mencatat 40 persen jurnalis anggota AJI yang terinfeksi, tidak mendapatkan dukungan dari perusahaan media seperti bantuan biaya hidup, bantuan tes Covid-19 atau bantuan ke fasilitas kesehatan. Kondisi ini memprihatinkan, mengingat jurnalis seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan tempat dia bekerja. Apalagi jurnalis berada dalam garis terdepan untuk memberikan informasi kepada publik.
Rendahnya kesadaran perusahaan media terhadap jurnalisnya, diperburuk dengan rentannya jurnalis diberhentikan sepihak dengan pesangon yang rendah. Hal ini sebagai dampak pelaksanaan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang disahkan pada 5 Oktober 2020. UU ini juga berdampak pada rendahnya penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang diberlakukan di banyak daerah pada 2022.
Ketiga, terkait aspek profesionalisme, AJI menyoroti pemberitaan media online terkait vaksin Covid-19, gender dan lingkungan. Dalam hal vaksin Covid-19, jurnalis dan media harus lebih kritis untuk mengawasi tata kelola vaksin dan mendorong keterbukaan data seperti penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Selain itu pemberitaan terkait vaksin harus menghindari judul yang justru dapat mempertebal ketakutan warga menerima vaksinasi.
Dalam hal gender, AJI mengkritik pemberitaan media yang masih bias gender dan eksploitatif demi menangguk klik semata. Pengabaian terhadap hal ini, justru melanggengkan diskriminasi dan kekerasan pada perempuan dan gender minoritas. Terakhir menyangkut isu lingkungan, media perlu kritis mengawal berbagai kebijakan yang justru akan memperburuk krisis iklim. Berbagai bencana ekologis yang terjadi menjadi alarm bahwa krisis iklim mengancam kelangsungan hidup manusia.
Kaitannya Dengan Kemunduran Demokrasi
Catatan atas kondisi pers di atas, tentu tak bisa dilepaskan dari konteks menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sebab jaminan terhadap pers yang bebas menjadi salah satu unsur dalam negara yang demokratis. Penurunan kualitas demokrasi Indonesia, telah ditunjukkan dengan sejumlah survei, kebijakan dan tindakan represif yang membatasi kebebasan sipil lainnya. Menurut Freedom House misalnya, Indeks kebebasan Indonesia pada 2013 turun dari bebas menjadi setengah bebas yang diikuti penurunan skor setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2021, skor indeks kebebasan Indonesia adalah 59, turun dua angka dibandingkan 2020 dengan skor 62.1 Freedom House menyoroti penangkapan sewenang-wenang polisi kepada 51 warga dengan dalih memerangi hoaks pada 2020, penangkapan masif terhadap para pengunjuk rasa atas diterbitkannya UU Cipta Kerja, serta tuduhan makar terhadap aktivis dan mahasiswa yang terlibat dalam protes rasisme di Papua.
Sinyal menurunnya demokrasi ditunjukkan dengan penggunaan beberapa pasal dalam UU ITE untuk membungkam kritik. Laporan yang dihimpun oleh koalisi masyarakat sipil sejak 2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara)2.
Upaya untuk mengontrol ruang digital ditunjukkan dengan dikerahkannya para buzzer untuk mengendalikan opini dan kritik terhadap pemerintah. Serangan digital seperti doxing, peretasan dan pelecehan menjadi tren untuk menargetkan Jurnalis, aktivis dan kelompok kritis lainnya. Merujuk data SAFEnet, serangan digital selama 2020
1https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2021
2 Dikutip dari Koalisi Serius Revisi UU ITE. 2021. Kertas Kebijakan: Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi UU ITE. Jakarta. mencapai 147 insiden.3 Sinyal-sinyal lainnya seperti pelemahan sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan pengesahan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang kontroversial.
Solidaritas dan Kolaborasi
Dengan berbagai tantangan itu, di sisi lain kami bergembira dengan tumbuhnya dukungan publik terhadap isu kebebasan pers dan meningkatnya kolaborasi jurnalisme di masa krisis. Itu nampak saat pemberitaan Project Multatuli dilabeli hoaks oleh Polres Luwu Timur pada 6 Oktober 2021, kemudian memantik solidaritas publik yang cukup besar. Warganet melakukan perlawanan balik dengan membombardir akun Kepolisian RI dengan kritik dan memviralkan tagar dari serial laporan #PercumaLaporPolisi.
Dukungan publik juga datang dalam bentuk donasi kepada AJI untuk membantu jurnalis yang terinfeksi Covid-19. Sejak Juni 2021, AJI bersama jaringan seperti Maverick dan Forum Wartawan Teknologi, membuka donasi untuk membantu jurnalis yang terdampak Covid-19 tapi tidak mendapat dukungan dari perusahaan media. AJI mencatatkan donasi lebih dari Rp 300 juta yang datang dari individu, lembaga, dan private sector.
Solidaritas publik ini juga cukup penting untuk menaikkan kesadaran bersama terhadap pentingnya jurnalis dan media independen yang dapat menyajikan jurnalisme bermutu. Dukungan publik pada akhirnya akan dapat mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalis dan media itu sendiri. Pada akhirnya publik dapat menunjang keberlanjutan bisnis media di masa depan. SAFEnet. 2021.Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2020. Denpasar: SAFEnet.
Terkait perkembangan kolaborasi untuk mendukung kualitas jurnalisme terlihat bagaimana sejumlah media arus utama dan alternatif, juga ramai-ramai memuat ulang laporan berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, setelah situs Project Multatuli mendapat serangan DDoS sehingga sulit diakses oleh publik. Solidaritas media melalui republikasi ini menjadi praktik baik yang bisa digunakan saat kasus serupa terjadi di lain hari.
Kolaborasi liputan investigasi yang digawangi Indonesialeaks masih berlanjut pada 2021 yang berhasil menerbitkan tiga liputan tentang kejanggalan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Liputan tersebut hasil kolaborasi Tempo, suara.com, Jaring.id, independen.id, Tirto, KBR dan The Gecko Project. Saat pelemahan KPK terjadi, media harus menjadi garda terdepan dalam mengungkap skandal kejahatan dan praktik korupsi di berbagai sektor. Memang hal ini tidak mudah, tapi dengan kolaborasi semacam ini, menjadi salah satu solusi untuk menghadapi berbagai tantangan.
Untuk menangkal misinformasi dan disinformasi yang kian merebak di masa pandemi, kolaborasi organisasi jurnalis, organisasi media, akademisi dan masyarakat sipil juga patut diapresiasi. Sejumlah media aktif menerbitkan artikel pemeriksaan fakta yang membantu publik mendapatkan fakta di masa krisis. AJI masih melanjutkan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis, dosen dan mahasiswa. Serta, berbagai organisasi juga meningkatkan pelatihan literasi digital, literasi media dan informasi yang seluruhnya untuk mendukung terciptanya ekosistem informasi yang kredibel di ruang digital.
Rekomendasi
1.Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk melakukan reformasi di tubuh Polri. Sebab, personel polisi selalu menjadi aktor dominan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis hampir setiap tahun. Reformasi tersebut diperlukan untuk menjadi Polri lebih profesional, tidak melakukan kekerasan, dan memproses kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mangkrak di kepolisian. Dari 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2021 hanya satu kasus yang pelakunya diadili di pengadilan.
2.Aparat penegak hukum perlu memastikan orang yang melawan hukum dengan sengaja menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 18 UU Pers dan guna memastikan peristiwa sama tidak terulang kembali.
3.Pemerintah dan DPR agar menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam RUU ITE yang akan dibahas setelah masa reses DPR. Surat Presiden (Surpres) pembahasan RUU ITE dan lampiran naskahnya telah dikirim 16 Desember 2021. Sejumlah pasal dalam RUU ini membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan. Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti: mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses informasi atau dokumen elektronik.
Di samping itu, DPR dan pemerintah wajib mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan RUU KUHP dan RUU ITE. Pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi. Selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat seremonial belaka dan tidak diberikan waktu yang cukup dalam memberi masukan. Akibatnya komunikasi terkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat.
4.Dewan Pers perlu memperkuat Nota Kesepahaman dengan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Sebab, AJI masih mencatat produk jurnalis yang sudah dinyatakan Dewan Pers sebagai karya jurnalistik masih diproses pidana oleh aparat. Bahkan, beberapa di antaranya divonis bersalah oleh pengadilan seperti jurnalis berita.news Muhammad Asrul dan jurnalis Banjarhits.id/Kumparan.com Diananta Putra Sumedi. Perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan merevisi poin-poin kesepakatan seiring dengan ketentuan waktu yang akan berakhir. Semisal Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Kapolri yang akan berakhir pada 9 Februari 2022. Dewan Pers wajib melibatkan publik, khususnya komunitas pers guna mendapat masukan yang dapat memperkuat poin kesepakatan dengan lembaga penegak hukum.
5.Pemerintah dan DPR membatalkan Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 Tentang CiptaKerja beserta aturan turunannya. Semisal PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan yang tidak melindungi kesejahteraan pekerja. Selain pertimbangan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pembentukan UU ini bertentangan dengan UUD 1945. UU Cipta Kerja juga terbukti banyak memberikan kerugian kepada jurnalis dan pekerja media. Dampaknya jurnalis yang memiliki peran penting dalam penyebaran informasi saat pandemi justru terancam kehilangan pekerjaan.
6.Kementerian Ketenagakerjaan perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan media untuk memastikan hak-hak pekerja media. Antara lain mulai dari hak normatif, kesehatan dan keselamatan pekerja, hingga pesangon seiring banyaknya PHK pada masa pandemi. Selain kementerian, Dewan Pers juga bisa memastikan perusahaan-perusahaan media agar memenuhi Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan media. Utamanya pasal-pasal yang mengatur tentang pengupahan, perlindungan, dan kesejahteraan pekerja media. Antara lain wajib memberikan upah minimal 13 kali dalam setahun dan PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
7.Perusahaan media wajib bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan pekerja media sesuai dengan perundang-undangan. Termasuk memberikan pendampingan kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan. Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan yang disahkan Dewan Pers menyebut perusahaan media menjadi pihak pertama yang harus memberikan perlindungan terhadap jurnalis dan keluarga korban kekerasan, baik yang berstatus karyawan maupun non-karyawan. Tanggung jawab tersebut antara lain meliputi biaya pengobatan, evakuasi korban, pendampingan hukum di kepolisian dan peradilan.
8.Jurnalis dan pekerja media perlu membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja, baik di perusahaan maupun lintas perusahaan untuk memperjuangkan haknya. Tanpa wadah serikat, jurnalis dan pekerja media akan sulit berdiri sejajar dengan pemodal media. Akibatnya, semua kebijakan perusahaan akan sangat bergantung kepada manajemen perusahaan atau dalam hal ini pemilik media. Kebutuhan untuk berserikat juga mendesak karena lembaga bantuan hukum seperti LBH Pers dan YLBHI memiliki keterbatasan untuk memperkuat kerja-kerja advokasi kasus ketenagakerjaan.
9.Perusahaan media, organisasi pers, dan Dewan Pers membuat pendidikan-pendidikan jurnalis untuk meningkatkan profesionalisme dan pemahaman tentang etik. Upaya ini juga dapat diperkuat dengan menyusun pedoman pemberitaan seperti ramah gender dan anak yang kerap diabaikan media.
10.Masyarakat perlu menghormati kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Masyarakat dapat menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau melapor sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Pers dalam penyelesaian sengketa pers.(*)