Krisis Moral Generasi Muda: Apa yang Salah dengan Pendidikan di Indonesia?

oleh
oleh -

Opini:
Elis Karwati Sri Mulyani
(Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bandung)

Majalahteras.com – Fenomena kemunduran moral generasi muda Indonesia kini bukan lagi sekadar opini, melainkan tragedi yang terus berulang. Pada September 2024, terjadi tawuran pelajar di Bekasi yang menewaskan 7 orang siswa SMP secara mengenaskan (diberitakan Kompas.com, Kota Bekasi, Minggu (22/9/2024). Serta belum hilang dari ingatan publik, seorang siswi SMK di Bandung Barat meninggal dunia setelah mengalami perundungan selama tiga tahun oleh teman sekolahnya sendiri (ditayangkan Detikjabar, 11 Juni 2024). Dua tragedi ini hanyalah puncak dari gunung es krisis moral yang melanda generasi muda kita.

Pendidikan di Indonesia seolah kehilangan arah. Sekolah dan kurikulum seakan hanya berlomba pada capaian akademik, tetapi melupakan esensi dari pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk manusia bermartabat. Bahkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, menjadikan nilai akademik sebagai prioritas utama untuk penerimaan siswa baru disekolah (ditayangkan MalangViva 30 April 2025). Ini menandakan bahwa akademik lebih diutamakan ketimbang pendidikan karakter yang dapat mencerminkan kejujuran sehari-hari, empati, atau rasa hormat di kalangan siswa.

Baca Juga  "Peringatan Haul 100 Tahun HM. Soeharto” Pesan dan Jasanya yang Selalu Diingat Umat Islam

Salah satu akar persoalan ini adalah pendekatan pendidikan yang terlalu teknokratis dan birokratis. Fokus kebijakan lebih kepada akreditasi, pengadaan sarana, atau angka partisipasi sekolah, bukan pada nilai-nilai moral dan karakter peserta didik. Meskipun pendidikan karakter selalu dicanangkan oleh kemdikbud agar dilaksanakan disetiap sekolah, namun pada faktanya belum memberikan dampak baik kepada siswa. Justru realitanya pendidikan diukur lewat nilai atau angka, bukan lewat kepekaan sosial. Di sinilah letak kegagalan struktural yang telah lama dibiarkan.

Krisis moral ini juga menunjukkan cacatnya manajemen pendidikan kita secara keseluruhan. Dalam buku “Manajemen Pendidikan Islam” (Sastraatmadja, 2023), disebutkan bahwa pendidikan kita terlalu fokus pada input dan output statistik, tetapi melupakan proses nilai yang membentuk perilaku. Ketika guru dibebani administrasi berlapis dan tidak diberdayakan sebagai pendidik nilai, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi teladan moral bagi siswa?

Di sisi lain, lingkungan digital dan sosial memperparah situasi. Data dari Kominfo menunjukkan bahwa 80% anak-anak Indonesia usia 10–17 tahun telah aktif mengakses media sosial, dengan sebagian besar tanpa pendampingan orang tua. Paparan konten kekerasan, kebencian, dan pornografi menjadi konsumsi harian. Tanpa pendidikan karakter yang kuat, teknologi berubah menjadi racun yang tak terkendali.

Baca Juga  Media, Raffi Ahmad, dan Pengawalan Vaksinasi Covid-19

Lebih menyedihkan, banyak orang tua justru menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan kepada sekolah. Padahal, menurut Suryadi (2015), krisis moral terjadi karena berkurangnya peran orang tua dan guru dalam menjadi pendidik utama. Keluarga yang semestinya menjadi benteng nilai justru ikut hanyut dalam gaya hidup instan dan kompetitif.

Namun, secercah harapan muncul lewat Kurikulum Merdeka dan program P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) yang menekankan pendidikan berbasis nilai dan karakter. Sayangnya, banyak sekolah yang masih menjalankan program ini sebatas formalitas tanpa menyentuh substansi. Jika tidak dilakukan dengan hati dan visi yang tepat, Kurikulum Merdeka bisa menjadi kosmetik belaka.

Pendidikan Islam sebenarnya memiliki fondasi moral-spiritual yang kuat. Dalam kerangka manajemen pendidikan Islam, proses pembelajaran tak hanya berorientasi pada duniawi, tetapi juga ukhrawi. Sayangnya, pendekatan ini jarang diarusutamakan dalam kebijakan nasional, bahkan kerap direduksi hanya menjadi pelajaran agama di kelas.

Baca Juga  Cara Kerja Penyiar dan Wartawan Masa 80-an

Membenahi krisis ini bukan soal menambahkan jam agama atau menyisipkan slogan karakter di dinding sekolah. Kita butuh revolusi paradigma pendidika dari pengajaran ke pembentukan pribadi. Kita butuh guru yang mampu menjadi role model, kurikulum yang menghargai nilai, dan negara yang sadar bahwa kegagalan membentuk moral anak-anak hari ini adalah bom waktu untuk kehancuran bangsa esok hari.

Anak-anak kita sedang tumbuh dalam kekosongan nilai. Mereka membunuh, merundung, mencaci, dan merasa biasa. Sementara itu, sekolah kita sibuk mengejar akreditasi dan laporan administratif. Jika ini dibiarkan, bukan hanya generasi yang rusak, tetapi masa depan bangsa ikut terkubur dalam krisis nilai yang tak kunjung ditangani secara serius.@Man

Seluruh isi Berita, artikel, opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis