Opini:
Kholik Ramdan Mahesa, M.Ag.
(Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, Nahdliyin Kultural)
Majalahteras.com – Di negeri yang tanahnya menyimpan nikel, emas, dan batu bara, suara tentang kerusakan lingkungan seringkali kalah nyaring dibanding suara alat berat. Dan yang lebih menyakitkan lagi, kadang suara agama pun ikut mengecil, nyaris tak terdengar, seperti berbisik pelan di antara gemuruh excavator.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh pernyataan Gus Ulil Abshar Abdalla, intelektual Muslim progresif yang dikenal pembaca serius Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, mahakarya Imam al-Ghazālī yang sarat dengan pesan-pesan etis dalam bingkai spiritualitas Islam. Dalam sebuah program di televisi nasional, beliau berkata: “Penambangan itu baik, asal bukan bad mining.” Sebuah kalimat sederhana, tapi berat di dada. Sebab yang dihadapi bukan hanya soal tata kelola tambang, tetapi nasib ekosistem, ruang hidup masyarakat, dan keberlangsungan generasi.
Pernyataan itu terdengar seperti upaya menjinakkan realitas. Terlalu ringan untuk beban yang begitu besar. Di Indonesia, tambang bukan sekadar industri ia adalah luka panjang. Air yang tercemar, tanah yang menganga, udara yang sesak, dan hutan yang sekarat. Apakah semua itu bisa disapu bersih hanya dengan diksi “asal bukan yang buruk”?
Lebih menyedihkan lagi, suara-suara keberpihakan dari organisasi Islam sebesar PBNU kini terdengar lirih, padahal dulu cukup lantang. Lihatlah kasus tambang nikel di Raja Ampat sebuah surga ekologis yang dijadikan halaman belakang eksploitasi. Tak ada sikap resmi yang tegas. Tak ada gebrakan moral. Padahal, NU dalam Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah secara tegas mengharamkan perusakan lingkungan dan menyerukan advokasi syar’i dalam menghadapi praktik eksploitatif.
Para kiai di forum itu mengingatkan bahwa tambang, dalam banyak kasus, lebih berpihak pada keuntungan daripada keberlanjutan. Lubang-lubang raksasa yang dibiarkan menganga tanpa tanggung jawab hanyalah satu dari sekian bukti bahwa logika kapital telah mengerdilkan nilai-nilai etik. Negara pun seakan membiarkan, selama pajak dibayar dan devisa disetor.
Ironi pun menjadi sempurna ketika narasi “penambangan itu baik” keluar dari sosok yang seharusnya berdiri sebagai penyeimbang, penjaga nalar kritis, dan pembela etika. Bukannya menggugat sistem, justru terdengar seperti sedang meredam kegelisahan publik. Maka pertanyaan pun menggantung di langit-langit nurani: ada apa di balik semua ini? Apakah ini bagian dari kompromi politik? Ataukah suara agama kini sedang dirangkul oleh logika perizinan tambang yang kabarnya mulai digenggam oleh ormas?
Ini bukan soal Gus Ulil semata. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana agama yang seharusnya menjadi benteng terakhir nalar moral mulai goyah ketika berhadapan dengan kapital. Ketika tambang menawarkan kuasa, dan agama mulai belajar diam.
Maka bila suara ulama tak lagi memekik saat hutan dibabat, bila fatwa tak lagi menggetarkan saat sungai jadi limbah, lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan?
Sebab ketika agama berhenti menggugat, kapital akan terus menggali.@Man