Jakarta – partisipasi perempuan di kancah politik saat ini masih jauh dibawah kuwota keterwakilannya di parlemen baik tingkat daerah hingga pusat. Menyikapi hal tersebut B_Trust Advisory Group bersama dengan Konrad Adenauer Stiftung, Kementrian Dalam Negri dan DPP KPPI mengadakan seminar beertajuk “Apakah Sistem Pemilu Proposional Tertutup Menjadi Solusi Bagi Perjuangan Politik Perempuan?” bertempat di Royal Hotel Kuningan, Jakarta, Kamis 5 Desember 2024.
Direktur Senior B_Trust Advisory Group Dr. Ir. H. Siswanda H. Sumarto, MPM mengatakan Meskipun Pemilu 2024 mencatatkan 127 perempuan terpilih sebagai anggota DPR, kesenjangan gender dan bias politik masih menjadi tantangan besar.
“Tidak cukup hanya angka afirmasi 30%. Sistem politik harus mendukung pencapaian representasi perempuan yang lebih nyata,” ujar Siswanda, dalam kata sambutannya saat acara seminar yang dihadiri lebih dari 130 peserta yang terdiri dari anggota parlemen perempuan, kader partai politik, NGO, akademisi, dan media massa.
Dengan tema besar penguatan representasi perempuan, seminar ini tidak hanya berfokus pada tantangan yang ada, tetapi juga menawarkan solusi nyata melalui reformasi sistem pemilu dan strategi penguatan kapasitas anggota parlemen perempuan. Mengurai Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Diskusi ini dipandu dengan dinamis oleh Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, yang menyoroti peningkatan jumlah kursi perempuan di parlemen hasil Pemilu 2024, yang hanya bertambah 7 kursi dibandingkan periode sebelumnya. “Hal ini menunjukkan perlunya solusi sistemik agar Pemilu dapat mendukung representasi yang lebih baik bagi perempuan,” ujar Zulfiani.
Diskusi menarik terjadi ketika para narasumber membedah pro dan kontra sistem pemilu di Indonesia. Dr. Hetifah Sjaifudian, MPP, Ketua Komisi X DPR RI, menjelaskan bahwa sistem proporsional terbuka memberikan peluang kepada kandidat non-tradisional, seperti aktivis dan profesional, untuk masuk ke dunia politik. Namun, sistem ini memiliki kelemahan, yaitu memperbesar biaya politik dan melemahkan institusi partai.
“Sebaliknya, sistem proporsional tertutup dinilai dapat memperkuat kelembagaan partai. Meski begitu, Hetifah menggarisbawahi potensi bias partai dalam penempatan kandidat perempuan pada nomor urut yang kurang strategis,” pungkasnya.
Sementara itu Prof. R. Siti Zuhro, Peneliti Senior BRIN, menawarkan solusi reformasi untuk sistem proporsional tertutup, di antaranya transparansi dalam penentuan nomor urut, penerapan sistem zipper untuk kesetaraan gender, dan larangan politik dinasti.
“Reformasi ini penting agar sistem pemilu menciptakan iklim politik yang lebih adil dan mendukung penguatan kapasitas perempuan,” tegasnya.
Dr. Titi Anggraini, pengajar Hukum Pemilu dari Universitas Indonesia, membahas dampak positif dan negatif dari berbagai sistem pemilu terhadap representasi gender. Menurutnya, baik sistem terbuka maupun tertutup harus diiringi dengan reformasi mendalam untuk mendorong representasi perempuan secara inklusif.
“Perjuangan perempuan dalam politik Indonesia masih panjang. Namun, melalui reformasi dan penguatan kapasitas, perempuan dapat menjadi motor penggerak perubahan dalam demokrasi modern Indonesia,” ujarnya.
Seminar ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, diantarayan ; Reformasi sistem pemilu: Mengedepankan transparansi, penerapan sistem zipper untuk kesetaraan gender, dan pembatasan politik dinasti.
Pendidikan politik juga dipandang sangat penting untuk mengedukasi pemilih untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keterwakilan perempuan. Salin itu penguatan partai politik dengan melakukan reformasi internal agar perempuan memiliki peluang lebih besar untuk menempati posisi strategis.
Dengan dukungan penuh dari Konrad Adenauer Stiftung, seminar ini diharapkan menjadi pijakan untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perempuan. Para pembicara sepakat bahwa langkah nyata harus diambil untuk memastikan keterwakilan perempuan tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga kekuatan perubahan. (Iwan)