Usia 20-an dianggap sebagai saat yang tepat untuk kehamilan. Pasalnya, secara biologis, usia ini adalah puncak kesuburan dan kondisi tubuh sangat prima. Sehingga, lebih minim risiko.
Dilihat dari sisi biologis, terutama soal kesuburan, rentang umur 20-an adalah masa terbaik untuk mengandung dan melahirkan anak. Menurut Judith Albert, dokter konsultan fertilitas endokrin reproduksi, tidak ada perbedaan yang signifikan antara wanita di awal dan akhir umur 20-an, semuanya memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Rata-rata puncak kesuburan wanita berada di umur 24 tahun.
Jika hamil di usia 20-an, maka risiko yang lebih kecil akan bayi dengan kelainan genetik. Seiring bertambahnya usia, ovarium juga akan ikut menua, begitu juga dengan sel telur yang semakin menurun kualitasnya. Itu sebabnya sel telur wanita muda, bila dibandingkan wanita yang lebih tua, memiliki lebih sedikit risiko akan kelainan genetik yang bisa mengakibatkan, salah satunya, down syndrome.
Risiko keguguran juga akan lebih rendah, bila hamil di usia 20-an. Jika dibandingkan, risiko keguguran wanita usia 20-an jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang usianya lebih tua, yaitu: sekitar 10% untuk wanita berumur 20-an, 20% untuk wanita pertengahan sampai akhir 30-an, dan sekitar 35% untuk wanita di awal 40a-n.
Begitupun risiko untuk masalah kandungan lain, juga lebih kecil, misalnya fibroid dan endometriosis. Keduanya bisa berkembang dan menjadi masalah serius, jika gak segera diatasi. Risiko komplikasi kesehatan, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes lebih kecil. Peluang melahirkan bayi prematur atau melahirkan bayi dengan berat badan rendah juga lebih minim, jika dibanding dengan ibu yang hamil di atas 35 tahun. Bahkan, setelah melahirkan, Anda akan memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik untuk menyusui di malam hari dan beraktivitas sehari penuh.
Tak hanya memberikan efek positif dari segi fisik, menurut Susan Heitler, konsultan pernikahan dan keluarga, “Saat berumur 20-an, wanita akan lebih mudah beradaptasi, hal itu bagus untuk pernikahan dan juga dalam masa transisi menjadi orangtua. Saat menikah di usia yang lebih dewasa, orang-orang biasanya tidak menggunakan ‘cara kita’, tapi yang akan muncul adalah ‘caraku’ atau ‘caramu’. Hal itu bisa membuat pernikahan dan proses menjadi orangtua jadi lebih sulit.”