Rudat berasal dari kata Raudhah yang berarti, “taman bunga”, (Arab) muncul di Banten sejak adanya dakwah Islam dengan cara melantunkan syair syair Syaikh Ja’far al-Barzanji. Rudat sudah banyak terlihat pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (Abad 16 M).
Keberadaan Rudat tidak bisa lepas dari Tarekat, diantaranya adalah Tarekat Tsamaniyah dan sebagainya, selanjutnya Rudat digunakan untuk mengiring atraksi yang sekarang dikenal dengan Debus, Bandrong (seni bela diri), dan khusus untuk di Desa Bantarwaru Kecamatan Cinangka Serang,
Rudat sering digunakan untuk mengiring Pengantin. Bahkan pada masa kolonial Rudat digunakan untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajah.
Menurut beberapa orang penggiat kesenian khas Banten, dahulu rudat dibawakan untuk mengiringi puji pujian, sementara anggota yang lain memainkan jurus jurus terumbu maupun bandrong (jurus silat).
Kesenian ini menggunakan alat tabuh membranphone, yaitu sejenis Katimpring (Rebana) atau biasa juga disebut Tarebang. Tarebang yang baik terbuat dari kayu yang baik tapi ringan (kayu Waru). Sedangkan membran yang baik terbuat dari kulit sapi atau kulit kerbau.
Dalam kesenian Rudat terdapat enam jenis pukulan (style), dimainkan atau dipukul secara bersamaan tetapi cara memukulnya masing masing berbeda sehingga menghasilkan efek bunyi yang berbeda pula.
Salahsatu motif atau model pukulan adalah pukulan singkop, dan ada beberapa lagu yang biasa dibawakan dengan rudat, diantaranya: Nulban, Kapal Berlayar, Ilahinas dan sebagainya. Lagu lagu Rudat pada mulanya bermotif Arab (Islami) sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring Debus dalam tarekat Rifaiyah dan Satariyah, tetapi sebagai sebuah produk kesenian, kini Rudat mengalami inovasi dan berkembang sehingga memiliki motif perpaduan antara motif local dengan modern.(Iman)