Jakarta, Kemendikbud — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) menggelar webinar bertema “Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender” dalam rangka memperingati hari Perempuan Internasional 2021. Webinar ini bertujuan untuk menyosialisasikan pentingnya peran perempuan dalam setiap aspek kehidupan, mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk berdaya sesuai kepakaran dan peran masing-masing, serta mengajak seluruh elemen masyarakat mewujudkan kesetaraan gender.
“Perempuan Indonesia kini telah dapat menempuh pendidikan tinggi, berkarir, namun demikian, perjuangan belum usai. Perjalanan masih panjang. Hingga hari ini kita masih dibayang-bayangi tiga dosa besar pendidikan, yaitu intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual yang sering kali dihadapi peserta didik di semua jenjang,” tegas Nadiem ketika membuka webinar secara virtual di Jakarta, Senin (8/3).
Mendikbud dalam pembukaan webinar menyampaikan sejarah dijadikannya hari Perempuan Internasional yang dimulai lebih dari seabad lalu oleh para pekerja perempuan. Perempuan-perempuan ini menyuarakan aspirasi untuk mendapat upah yang layak pada tanggal 8 Maret, yang kemudian dijadikan Hari Perempuan Internasional.
Lebih lanjut, Mendikbud menyampaikan tiga hal yang rentan dihadapi oleh perempuan yang ia sebut sebagai tiga dosa besar. Tiga dosa besar ini juga sangat mempengaruhi tumbuh kembang peserta didik terutama dalam mengambil keputusan bagi hidup mereka kelak. Sebagai langkah pencegahan dan bentuk penanganannya, Kemendikbud tengah menyusun regulasi untuk pencegahan dan penanggulan kekerasan seksual bagi perempuan di perguruan tinggi, serta mekanisme mengatasi kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan.
“Kemendikbud tidak (bisa) sendiri, hanya dengan kesadaran dan kemauan semua lapisan masyarakat dapat memantik gelombang perubahan. Lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak dari keluarga, masyarakat mampu menjadi dasar munculnya perempuan-perempuan pemimpin,” pungkas Nadiem.
Webinar ini dipandu oleh Widyaningrum Surya Nugraha serta menghadirkan tiga narasumber inspiratif di bidangnya. Mereka adalah Franka Makarim (Co-Founder Tulola Jewelry), Chatarina Girsang (Inspektur Jenderal Kemendikbud), dan Angkie Yudistia (Staf Khusus Presiden).
Perempuan sebagai Superwoman
Franka Makarim mengatakan bahwa menurutnya superwoman adalah seseorang yang menyadari siapa dirinya dan mengenali potensi yang ia miliki. Franka berterima kasih pada dua perempuan yang telah membesarkannya yaitu ibu dan nenek. Sejak 9 tahun ibunya membesarkan dirinya sendiri, karena ayahnya meninggal dunia. Sementara itu, sang nenek di usianya yang lanjut tetap aktif di banyak organsasi.
“Merekalah, dua perempuan yang memberikan contoh pada saya bahwa perempuan bisa melakukan apa yang kita mau, dan apa yang harus kita lakukan sesuai tanggung jawab di rumah dan apa yang bisa dilakukan untuk memberikan impact pada masyarakat,” ujar Franka.
Sebagai perempuan pertama di Kemendikbud yang menjabat Inspektur Jenderal, Chatarina Muliana Girsang mendefinisikan superwoman yaitu perempuan yang bisa melakukan apa saja yang dicita-citakan, di bidang apapun, memiliki kepercayaan diri, sehingga dapat melakukan semua yang menjadi tugasnya.
Sementara itu, menurut Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, kepribadian perempuan dapat terlihat dari caranya perempuan bercara hidup, menjalani perannya dan memiliki kepercayaan diri.
Menjawab pertanyaan terkait maknanya bagi perempuan Indonesia terhadap peringatan hari Perempuan Internasional, menurut Franka makna peringatan ini tidak hanya berpengaruh bagi perempuan, tapi juga pada laki-laki. Dukungan kaum adam juga penting bagi keberhasilan perempuan terutama dalam memberi impact bagi sesama.
Sejalan dengan pernyataan Franka tersebut, Chatarina menyatakan, peran suami dalam mendukungnya sangat berarti. Dukungan suami dan keluarga memudahkan ia mengelola waktu dalam menjalankan peran sebagai wanita karir dan seorang ibu. Karena baginya, itulah sebuah tantangan besar.
“Jika di rumah, saya lepaskan baju sebagai perempuan karir. Suami mendukung, karena sebelum menikah pun sudah aktif di ranah publik. Ketika meninggalkan rumah untuk keperluan pekerjaan, teknologi sangat membantu untuk tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga,” urai Chatarina.
Sementara bagi Angkie, yang paling sulit adalah menghadapi perspektif terhadap perempuan penyandang disabilitas. “Hanya dua pilihan, menyerah atau optimis. Saya memilih optimis, karena hidup hanya sekali. Kita harus punya mindset bagaimana mengatasi keterbatasan sebagai disabilitas dengan apa yang kita miliki. Saya menghadapi dan melakukan tugas kita di bidang apapun semaksimal mungkin. Saya mengoptimalkan peran saya dengan menggunakan teknologi,” tegasnya.
Selain dukungan dari laki-laki, dukungan dari sesama perempuan juga tetap penting. Dikatakan Franka, penting ketika semakin banyak dukungan dari sesama perempuan dalam memilih dan memiliki kebebasan untuk mengambil pilihan itu sendiri. “Kurang lebih sama dengan laki-laki, perempuan juga punya tantangan dalam membagi tanggung jawab keluarga dan karir, bagaimana membagi tanggung jawab di rumah sebanyak tanggung jawab ekonomi dalam pekerjaan,” jelasnya.
Sebagai perempuan pemimpin dalam organisasi, yang Chatarina pesankan adalah agar peremuan selalu percaya diri dan memiliki keberanian untuk berperan. Dikatakan bahwa perempuan harus berani mengambil peran, dari lingkungan terkecil dulu, misalnya di kelas, sekolah atau kelompok-kelompok. Selain itu, miliki empati terhadap sesama karena keberadaan kita adalah agar bermanfaat bagi sesama. Hal itulah yang penting ditanamkan pada anak perempuan di keluarga. “Jangan pernah takut ketika kita yakin yang kita tunaikan adalah benar. Sentuhan perempuan membuat segalanya berbeda,” lanjut Chatarina.
Meski demikian, stigma perempuan selalu terjadi, apalagi perempuan dengan disabilitas. Angkie mengatakan dari kecil dirinya sering mengalami hal tersebut. Dari pengalaman perundungan yang dialaminya, Angkie menyatakan dukungan keluarga sangat berarti. Bagaimanapun menurutnya, anak hebat tumbuh dari keluarga yang hebat, yang mendukung minat dan kemampuan anaknya, serta mampu mendorong pendidikan setinggi-tingginya.
Franka pun pernah mengalami perundundungan, dalam hal ini peran keluarga yang mendukungnya menjadi sangat berarti baginya. Termasuk ketika menjadi orang tua, yang dilakukannya dengan pasangan adalah menumbuhkan anak yang tangguh dan memahamkan pada anak bahwa nilai diri tergantung pada kita sendiri, bukan dari orang lain. “Saat itu sangat menyakitkan dan melukai karena saat itu kita sedang ingin mencari banyak teman,” ujar Franka.
Sementara bagi Chatarina, pengalaman membesarkan anak untuk menjadi anak yang percaya diri adalah dengan pujian. Jika anak mengalami perundungan, maka dikatakan agar tidak membalasnya. “Jika tidak benar, katakan atau laporkan pada yang berwenang. Balas perundungan mereka dengan menunjukkan kemampuan diri,” tegasnya.
Senada dengan itu, Angkie juga mengatakan hal yang dilakukannya di keluarga adalah menumbuhkan nilai pada diri anak-anaknya untuk tidak takut berbeda. Anak-anak harus tahu bahwa ibunya berbeda, termasuk keadaan fisik mereka seperti rambut mereka yang keriting, dan lain-lain. “Perbedaan bukan menjadi dasar untuk menjadi tidak percaya diri. Cintai diri dan kemampuan sendiri untuk kemudian bisa mencintai orang lain,” pungkasnya.
Dalam sesi tanya jawab, Franka menanggapi pertanyaan tentang bagaimana ibu rumah tangga dapat lebih berdayakan diri. Dikatakan bahwa ibu rumah tangga adalah pilihan. Ibu rumah tangga bisa mengembambangkan diri dengan mencari informasi tentang pengasuhan di dunia maya, bisa juga tentang manajemen keuangan keluarga.
Sementara itu, Chatarina menjawab pertanyaan terkait kebijakan dari Kemendikbud tentang pengenalan lingkungan sekolah khususnya untuk para siswi remaja. Disampaikan oleh Chatarina bahwa sejak 2015, Kemendikbud sudah menerbitkan regulasi-regulasi terkait, yakni tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan sekolah yaitu Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah, serta Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal.
Regulasi-regulasi tersebut dapat menjadi program dan kegiatan agar semua siswa baik laki-laki dan perempuan dapat bergabung. Dan keberhasilan siswa tidak hanya pada aspek kognitif, tapi juga karakter. Dalam regulasi tersebut diberikan contoh kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di satuan pendidikan bagaimana menumbuhkan karakter baik bagi siswa, termasuk mengembangkan apa yang menjadi bakat dan minat siswa laki-laki dan perempuan.
Terakhir, Angkie menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara hadapi perundungan karena perbedaan. Menurutnya perundungan di saat remaja terjadi karena ketidakstabilan emosi. Maka pesannya, “Jangan hadapi perundungan dengan emosi karena malah akan muncul pertengkaran. Balaslah dengan etika yakni dengan menunjukkan karya. Jangan juga dipendam sendiri, harus dikomunikasikan pada orang yang dipercaya, bukan ke medsos. Terakhir adalah bangun kepercayaan diri kita dengan kualitas,” saran Angkie.
“Ini yang telah kami lakukan untuk membentuk lingkungan yang mendukung anak perempuan untuk menjadi pemimpin, lalu apa yang Anda dan organisasi anda lakukan? “We choose to challenge you” kami memilih untuk melakukan ini dan menantang kalian untuk melakukan hal yang serupa,” tutup Nadiem pada akhir acara. (*/cr7)
Sumber: kemdikbud.go.id