Pemerintah mengeluarkan aturan melarang siapapun mudik. Berlakunya aturan tersebut juga dipercepat, mulai awal Ramadhan sampai H+7 ‘Idul Fitri 2020.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan masyarakat umum, semuanya dilarang mudik, kecuali bagi yang sudah terlanjur mudik.
Namun Presiden menyatakan larangan mudik tersebut tidak berlaku bagi yang pulang kampung. Menurut Presiden, mudik dan pulang kampung itu berbeda.
Menurut hemat penulis, tidak perlu diperdebatkan apakah mudik dan pulang kampung itu artinya sama atau berbeda.
Posisikan saja bahwa pernyataan Presiden tersebut dalam praktek hukum bisa dilaksanakan dan akan dipatuhi penegak hukum di lapangan.
Sehingga dan oleh karenanya, jika merujuk pernyataan Presiden tersebut, berarti petugas yang menghalangi orang yang akan atau sedang pulang kampung merupakan Perbuatan Melawan Hukum.
Namun perlu dijawab setidaknya dua pertanyaan besar yaitu :
Pertama. Bagaimana pembuktian yang harus dilakukan di lapangan dan alat bukti apa yang perlu dipersiapkan masyafakat yang mau pulang kampung?
Kedua. Jika masyarakat dapat membuktikan dan dapat menunjukan alat bukti sedang pulang kampung, bukan mudik, dan tetap tidak diijinkan penegak hukum, bagaimana dan kemana masyarakat mencari keadilan?
Bagaimana pembuktian dan alat bukti apa yang memiliki kekuatan pembuktian bahwa seseorang itu pulang kampung, bukan mudik, harusnya diatur dalam aturan yang jelas.
Seharusnya tidak bisa hanya menyandarkan pada pernyataan lisan Presiden semata.
Apalagi pernyataan Presiden tersebut hanya disampaikan saat menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa.
Misal pengaturannya…..
Diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan…..
Setidaknya dalam Permenhub yang mengatur larangan mudik diatur juga bahwa ketentuan larangan mudik ini tidak berlaku bagi yang pulang kampung…..
Selanjutnya diatur syarat-syarat pulang kampung, seperti hanya berlaku bagi orang yang bukan penduduk setempat, namun penduduk tujuan…. Alat buktinya misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP)….
Diatur juga alamat KTP harus sama dengan alamat tujuan pulang kampung. Bisa ditambah surat ketetangan dari Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Dan syarat-syarat lainnya…..
Tanpa adanya pengaturan tersebut…. bisa berabe di lapangan dan kemudian hari dibuatnya….
Bagaimana kalau masyarakat dapat membuktikan pulang kampung dan menunjukan alat buktinya, bukan mudik, tetapi tetap tidak dapat mudik, tetap disuruh putar balik oleh penegak hukum, kemana dan bagaimana masyarakat pulang kampung akan mencari keadilan?
Ya… pasrah saja….. ndak tahu kalau nanti-nanti…
Lha…. sampai tulisan ini dibuat ketentuan yang menjelaskan dan membedakan apa itu pulang kampung dan apa itu mudik dari sisi norma hukum positif belum ada…..
Bagaimana mau membuktikan pulang kampung…. Bagaimana mau menyiapkan alat bukti pulang kampung…. Kalau aturannya belum ada….
Pastilah masyarakat yang mau pulang kampung tidak dapat membuktikan…. apalagi menunjukan alat bukti…
Pasti tidak bisa….
Sampai aturan hukum positifnya ada….
Namun dari sisi rezim Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat memiliki Hak Azazi, Hak Konstitusional, dan Hak Legal untuk mendapatkan informasi lengkap tentang kejelasan pernyataan Presiden tersebut, termasuk dari sisi hukum positif.
Masyatakat berhak untuk mendapatkan kepastian hukum atas penjelasan Presiden yang membedakan pulang kampung dan mudik tersebut.
Masyarakat tidak boleh dibingungkan apalagi sampai dirugikan sedikitpun karena kurang lengkapnya sebuah pengaturan yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak padahal sudah ada pernyataan Presiden tentang itu, seperti pengaturan pulang kampung.
Masyarakat tidak boleh dibingungkan apalagi sampai dirugikan sedikitpun, semisal, karena lambat atau karena lalainya pembantu Presiden menindaklanjuti pandangan Presiden terkait pulang kampung dalam bentuk norma hukum positif agar ada kepastian hukum di lapangan bagi masyatakat dan penegak hukum.
Masyarakat sangat berhak tahu dan masyarakat benar-benar tidak boleh sedikitpun dirugikan.
Kalau itu tetap terjadi….?
Ya…. jangan salahkan kalau dikemudian hari ada masyarakat yang iseng….
Iseng menuntut pembantu Presiden ke pengadilan karena tidak segera merumuskan aturan terkait perbedaan mudik dan pulang kampung….
Iseng menuntut ke pengadilan karena tidak bisa pulang kampung dan merasa dirugikan…
Ya sebenarnya ndak apa-apa sih…. kan Indonesia Negara Hukum…. boleh saja menuntut ganti rugi secara perdata misalnya…. walaupun itu iseng…. asal administrasi tuntutannya dilengkapi….
Kan pengadilan tidak boleh menolak pencari keadilan…. soal dikabulkan atau tidak itu urusan kemampuan pembuktian dan ketersediaan alat bukti….
Tinggal merumuskan konstruksi dalil hukumnya saja… dan membuktikannya dengan alat bukti yang cukup di di depan persidangan…
Namun, saran penulis, kalaupun mau iseng menuntut secara perdata ke pengadilan sebaikmya jangan kebablasan….
Kebablasan nuntut ganti rugi sampai milyaran misalnya…. yang wajar-wajar saja….
Apalagi sampai kebablasannya menuntut Presiden untuk membayarkan ganti rugi misalnya….
Kan Presiden sudah kasih arahan dan pernyataan publik… selanjutnya tanggung jawab pembantu Presiden untuk menindaklanjutinya….
Menuntut pejabat dibawah saja cukuplah….
Kalau mau iseng banget…. Menteri lah pejabat paling tinggi yang dituntut…. masih logis…. kan aturan larangan mudiknya Peraturan Menteri….
Ndak usah kebablasan sampai proses pidana juga….
Lalu misalnya ada yang bertanya, kalau kejadiannya menimpa penulis, akan melakukan tuntutan perdata tidak….. kalau iya, siapa yang akan penulis tuntut….?
Kalau penulis sih…. lebih berharap tidak usah tuntut menuntut… ribeeetttt…. bikin gaduh…. negara butuh ketenangan menghadapi serbuan Virus Corona dan segala efeknya yang tidak bisa diprediksi ini….
Namun penulis sangat berharap Pak Menteri melengkapi Peraturan Menteri untuk mengatur materi Pulang Kampung ini…. sederhana gitu saja harapan penulis…. biar teratur….
Kan hukum itu untuk mengatur yang perlu diatur agar tatanan sosial bisa teratur….
Gitu aja kok repot…. epsh…. keceplosan ngutip Gus Dur jadinya….
Oleh : Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI