Omnibus Law: Luka dan Harapan

oleh
oleh -

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA

Bismillah, saya sudah jarang menulis panjang. Tapi, kali ini saya terpaksa menulis agak panjang (lagi). Sebetulnya saya sudah merasa “nyaman dan damai” tinggal di “Kampung”. Namun, berita Omnibus Law ini cukup mengganggu pertapaan saya. Jadi, saya putuskan untuk menulis (lagi). Tapi dalam bahasa yang ringan saja.

Latar belakang pendidikan dan pengalaman saya memaksa pikiran saya “berkelahi” sendiri. Saya punya background Ilmu sosial, ilmu politik, ilmu bisnis dan manajemen. Saya juga aktivis civil society yang kritis terhadap pelbagai public policy pemerintah, namun juga sempat bekerja di pemerintahan (sebagai asisten Menteri ATR/BPN di tahun 2016/7, yang menurut berbagai media disebutkan bahwa Menteri ATR/BPN merupakan inisiator dari konsep Omnibus Law).

Melalui tulisan ini, saya ingin mencoba memberikan perspektif yang se-fair mungkin, meski belum tentu memuaskan semua pihak. Dan jikalau ada yang missing, saya juga mohon maaf. Saya hanya bertujuan membuka perspektif yang lebih luas, yang semoga menghasilkan pemikiran yang jernih dan solusi yang berorientasi win-win.

SISTEM VS MANUSIA

Begini, saya mulai dari pertanyaan sederhana: Apakah Indonesia butuh Omnibus Law?

Jawaban saya: bisa butuh, bisa tidak. Kenapa? Loh, Omnibus Law kan cuma instrument. Ia baru diperlukan jika memang dibutuhkan. Seperti pada saat kita memasak, jika dengan “pisau kecil” saja dipandang sudah cukup untuk membantu kita memasak, untuk apa “pisau besar”?

Tapi kan, ada daging sapi besar yang perlu dipotong menggunakan pisau besar? Jawaban saya: oke, jika tujuannya untuk memotong daging yang besar, pertanyaannya, apakah kehadiran pisau besar menjadi satu-satunya jalan/solusi? Jawabannya, bisa iya, jika itu satu-satunya variabel. Bisa tidak, jika kehadiran pisau besar itu bukan satu-satunya variabel.

Loh, apa variabel lainnya? Misalnya, pisau kecilnya sudah sangat amat tajam sehingga cukup untuk memotong daging besar. Atau, sang koki memiliki skill khusus untuk memotong daging besar menggunakan pisau kecil. Apa bisa? Loh, nggak pernah lihat ya suku pedalaman memasak dan membuat rumah dengan peralatan seadanya? Atau mungkin, ada variabel lain.

Well, oke, poin saya adalah: Untuk mencapai tujuan (misalnya untuk memotong daging), variabel yang mendukungnya bukan semata-mata alat/instrument yang dibutuhkan, tapi juga faktor manusianya (humans).

Nah, kembali pada Undang-Undang sebagai instrument (alat manajerial). Jika UU sektoral existing yang ada selama ini sudah memadai/mampu menciptakan iklim dan situasi sedemikian rupa yang mendukung penciptaan lapangan kerja, kenapa perlu UU Omnibus? Sayangnya, jawabannya: belum mampu. Apa buktinya? Data pemerintah (BPS) mengatakan masih ada 7 juta angkatan kerja yang menganggur.

Anda percaya dengan angka itu? Ya kalau nggak percaya juga nggak papa. Saya justru lebih ekstrem lagi, bahwa mereka yang menganggur boleh jadi “tertolong” dengan tersedianya banyak pekerjaan informal (Jadi yang 7 juta itu belum tentu menganggur dalam arti yang sebenarnya). Tapi, bukan itu kan poin-nya. Poinnya adalah bagaimana data pengangguran ini bisa dicarikan solusinya: yakni penciptaan lapangan kerja baru. Sampai sini kita sepakat ya. Intinya bagaimana yang menganggur itu dapat pekerjaan. Tambah lagi yang di-PHK dan dirumahkan akibat covid-19.

Baik, sabar. Kita lanjutkan. Saya simpulkan dulu: Jadi sejatinya ada 2 pendekatan yang saya kemukakan, yakni pendekatan sistem dan pendekatan manusia. Pertama, sistem (instrument) UU sektoral existing yang ternyata “do not work” (tidak efektif) untuk menggenjot pertumbuhan lapangan kerja. Kedua, unsur manusia (baik penyelenggara negara, pengusaha dan pekerja) yang belum mendukung tercapainya tujuan (mengatasi pengangguran).

Apa iya faktor manusia penting? Loh, kalau SDM nya kayak orang Jepang semua ya otomatis kegiatan ekonomi maju donk. Ini variabel buttom-up.

Nah, variabel manusia ini sebetulnya juga sangat menentukan (terkadang lepas perhatian). Seandainya semua penyelenggaranya tidak corrupt, semua pekerjanya produktif dan punya etos kerja yang tinggi, serta pengusahanya memiliki nilai entrepreneurship yang kuat, barangkali dengan instrument UU existing juga sudah lebih dari cukup untuk meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kerja. Tidak usahlah bangsa ini import Omnibus Law! Tentu, “tugas” instrument hukum juga bakal menjadi lebih “ringan” saat kualitas (keadaban-civility) manusianya sudah mencapai level tertentu.

Nah, sampai sini saya sebetulnya bisa masuk ke pertanyaan sampingan: Lah kalau begitu, sebetulnya kita tidak perlu mengubah instrument hukumnya untuk mencapai tujuan, donk? Tidak perlu bikin Omnibus Law segala. Cukup unsur manusianya saja yang di-engineering (dengan membangun etos kerja, produktivitas, kejujuran, profesionalitas, integritas, dll – melalui pendidikan)?

Baca Juga  Soal Reshuflle, SMSI Berharap Presiden Mendengar Berbagai Masukan

Iya, tapi realitasnya kan tidak begitu. Maka dari itulah, pemerintah mendesain Omnibus Law untuk mengurangi perilaku moral hazard-KKN. Demikian kata pemerintah, atau setidaknya yang disampaikan oleh Bang Bahlil (Tapi menurut saya bisa yes bisa sebaliknya).

Seandainya saya jadi pemerintah, saya akan jawab: Ya tentang perbaikan sistem dan perbaikan SDM itu harus berjalan paralel lah. Nanti kita juga bisa buat UU Omnibus Law Sumber Daya Manusia (SDM). Kali ini kita buatkan sistem/instrument manajerialnya dulu untuk menciptakan iklim investasi yang mendongkrak pertumbuhan dan berdampak pada penciptaann lapangan kerja baru. Yang lainnya menyusul. Oke!

GOVERNMENT’S SIDE

Apakah argumen/alasan pemerintah bisa diterima? Well, kalau saya, bisa. Saya bisa menerima alasan bahwa UU sektoral existing itu sudah tidak mampu. Dan perlu dibuat instrument baru yang lebih solutif. Memang, “pisau-pisau kecil” itu sudah terlalu banyak, ruwet, saling tubruk, overlapping, atau apalah namanya.

Hampir semua pelaku dan pengamat sepakat bahwa regulasi sektoral itu banyak yang tumpang tindih dan tidak sinkron. Ya sebetulnya ini juga salah pemerintah sendiri secara akumulatif dari periode ke periode. Sebagian penyebabnya karena terjadinya disharmoni antar pembuat kebijakan (public policy makers). Ada ego sektoral masing-masing Kementerian selama ini. Jadi ya sebetulnya ini kesalahan berjama’ah. Terus mau diapain? Nangis-nangis terus diam saja? Kita semua kan pernah melakukan salah. Mungkin di lingkup organisasi, atau di tingkat terkecil: keluarga.

Lalu, apa solusinya?

Nah, sudah mulai bicara solusi nih. Ini yang lebih penting.

Omnibus Law solusinya? Keliru! Omnibus Law adalah instrument yang mendukung solusi. Tapi bukan itu solusinya. Lalu apa solusinya?

Nah, mari kita berfikir lebih sistimatis. Sebelum bicara solusi, apalagi bicara instrument, yang paling awal harus kita clear-kan adalah masalahnya (state of problems). Apa sih masalahnya? Oke, masalahnya adalah tingkat pengangguran yang masih tinggi (7%).

Setelah tentukan masalahnya, kita lakukan diagnosa: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu? Oke, ternyata setelah dikaji secara ilmiah (dan seharusnya robust), faktornya adalah pertumbuhan yang stagnan (PDB mentok di angka 5%).

Lalu, apa solusinya untuk menggenjot pertumbuhan sehingga berdampak pada peningkatan lapangan kerja? Berdasarkan analisa pembuat UU, solusinya adalah menggenjot investasi, mempermudah perizinan usaha (ease of doing business), mengurangi beban pengusaha dalam aspek ketenagakerjaan (pengurangan pesangon dll), dan variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi terhadap tumbuh-kembangnya bisnis sehingga meroketkan PDB. Nah, itulah solusi yang dipilih.

Namun, sebetulnya sebelum bicara Omnibus Law, kita bisa perdebatkan dulu kerangka berfikirnya (framework). Apa iya problem pengangguran disebabkan oleh faktor-faktor itu? Apa iya cuma itu solusinya? Apakah ada variabel lain yang terlupa? Sayangnya kajian ini tidak banyak dikupas. Dan memang, kalau pendekatannya adalah ekonomi (dengan leading sector Kemenko Perekonomian), pendekatan semacam itu yang paling common dipakai untuk merumuskan kebijakan publik di bidang ekonomi.

Tapi apakah ilmu ekonomi sekaku itu? Sebetulnya tidak juga. Sebagai contoh terkait investasi, dalam teori Behavioral Finance (yang diprakarsai oleh Richard Thaler, peraih nobel Ekonomi 2017), dijelaskan bahwa pengambilan keputusan investasi itu tidak hanya karena alasan kognitif (rasionalitas), namun juga emosi (irrasionalitas).

Jadi, Omnibus Law itu sebetulnya juga belum tentu serta-merta menarik investasi besar-besaran, meskipun harapannya tentu demikian. Selalu ada bias kognitif dan bias emosi dalam pengambilan keputusan investasi. Dan tentu, Omnibus Law bukan satu-satunya variabel yang mempengaruhi pertimbangan investor. Ada systhematic risk (resiko yang tidak dapat diversifikasi) seperti situasi sosial-politik, keamanan negara, dan lain-lain yang juga menjadi pertimbangan investor. Dan tentu, aksi protes-demo besar-besaran kontra UU Ciptaker juga akan mempengaruhi pertimbangan investor.

Nah, sebagai berbandingan pendekatan solusi, ada wacana menarik dari Menko “sebelah” yang berani menawarkan pendekatan lain. Menko PMK Prof. Muhadjir Effendi, sempat melemparkan wacana solusi untuk mengentaskan kemiskinan (memotong vicious circle of poverty) melalui perkawinan lintas kelas sosial-ekonomi. Kemiskinan kan problem ekonomi, tapi kenapa solusinya sosiologis, atau kombinasi antara solusi ekonomi dan sosial? Tentu, alternatif solusi ini belum tentu lebih baik (better) daripada solusi pure ekonomi untuk mengatasi pengangguran. Untuk menentukan mana yang lebih baik harus diuji dulu di lapangan.

Artinya, poin saya, ruang diskursus untuk pencarian solusi atas persoalan pengangguran, seharusnya dibuka seluas-luasnya oleh pembuat kebijakan publik. Mereka perlu mendengarkan para ahli lintas disiplin, perspektif lain, tidak hanya ekonom tapi juga psikolog, sosiolog, antropolog, ahli manajemen SDM, dan tentu pakar hukum dll, untuk memperkaya perspektif sehingga menghasilkan solusi yang komprehensif dan robust. Mengingat isu pengangguran tidak hanya isu ekonomi.

Baca Juga  Quo Vadis Bank Banten

Bagi saya sendiri, persoalan pengangguran ini memang cukup pelik. Banyak sekali variabelnya baik variabel makro (sistem, regulasi) maupun variabel mikro (korporasi dan individu), misalnya saja: 1) Investasi yang tidak padat karya; 2) Substitusi SDM ke teknologi/digitalisasi yang sangat cepat; 3) Adanya tren milenial yang lebih “demanding” (pilih-pilih pekerjaan, ingin waktu fleksibel dll) – ada survey Gallup yang menyatakan milenial cenderung tidak loyal terhadap perusahaan, ingin kerja bebas, berwirausaha sendiri dll; 4) Ada pula alasan domestik, sosial atau budaya (alasan gender dll).

Nah, jangan-jangan, kalau diagnosanya (penyebab pengangguran) itu komprehensif, tampaknya solusi yang ditawarkan oleh perumus UU Ciptaker kemarin terlalu parsial dan hanya berkutat di angka-angka statistik. Padahal diagnosa kualitatif juga dibutuhkan agar solusi yang dihasilkan lebih tepat dan komprehensif.

Well, oke, itu sedikit “keisengan” saya “menguliti” framework-nya. Intinya, diagnosa dan treatment-nya itu sebetulnya masih bisa diperdebatkan. Kalau saya tuliskan semua pendapat saya bisa nggak kelar-kelar tulisan ini.

SOLUSI VS INSTRUMEN

Baik, kita kembali ke Omnibus Law.

Oke, jadi kita sudah tahu, bahwa solusi yang ditawarkan oleh public policy maker adalah menggenjot investasi, mempermudah perizinan usaha (ease of doing business), mengurangi beban pengusaha dalam aspek ketenagakerjaan (pengurangan pesangon dll), dan variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB, yang diharapkan akan membuka lapangan kerja baru.

Meski menurut saya solusi tersebut terlalu dangkal ya.

Nah, pertanyaannya kemudian, solusi itu mau diimplementasikan pakai instrument apa? Baru kita jawab: instrument Omnibus Law. Jadi sekali lagi, Omnibus Law itu hanya instrument untuk menjalankan solusi.

Pertanyaan lanjutan: Apakah harus Omnibus Law instrumennya? Apakah ada instrument lainnya (the substitutes) selain Omnibus Law? Ya ada donk. Apa saja?

Pertama, ya tinggal revisi saja UU sektoral existing tanpa harus digabung dalam satu payung Omnibus Law. Lho, berarti semua UU sektoral direvisi semua? Ya kalau perlu direvisi semua yang belum sinkron. Jadi, Omnibus Law tidak perlu dituliskan menjadi regulasi baru, tapi cukup dijadikan “konsep bayangan” (shadow concept) untuk memandu perevisian UU lama. Simple kan? Loh, yang penting kan tujuannya sinkronisasi? Ya tapi butuh waktu lama dan energi untuk merevisi semua UU yang ada. Lebih enak bikin Omnibus Law donk, cuma 1 UU? Iya sih, tapi tebelnya melebihi kamus Al Munawir tuh haha, ditambah lagi bakal ada peraturan turunannya (PP) yang jumlahnya juga cukup banyak. Sama saja bohong donk? Yaudah-yaudah, buat saya yang penting tujuannya tercapai.

Kedua, menurut pakar hukum, ada instrument kodifikasi (codification) yang mirip seperti Omnibus Law. Mahluk apa itu? Tanya ahli hukum saja deh ya.

Maka dari itu, dari awal saya bertanya: Apakah Indonesia butuh Omnibus Law? Jawaban saya bisa ya bisa tidak. Lah wong ini cuma instrument saja kok. Yang paling penting bagi saya adalah apakah solusinya sudah tepat untuk mengatasi isu pengangguran? Saya juga sudah baca naskah akademiknya. Sorry to say, belum robust.

WISDOM

Tapi ada satu wisdom yang dimiliki oleh para public policy makers – which is saya sepakat – yang menurut saya juga dimiliki oleh hampir semua profesi. Para pembuat kebijakan itu punya wisdom: harus berani mengubah regulasi. Lah UU itu buatan manusia kok. Bukankah UUD 45 saja sudah pernah direvisi beberapa kali? Yang tidak boleh diubah itu cuma kitab suci.

Loh iya, tugas public policy makers ya membuat atau mengubah regulasi, atau menghapusnya. Terus apa tugasnya kalau bukan itu? Ini seperti seorang apoteker meracik obat, atau seorang mekanik bongkar pasang mesin. Policy makers ya harus berani bongkar pasang regulasi. Karena mereka menyadari, bahwa regulasi itu hanyalah alat/instrument yang bisa dibongkar pasang, untuk mewujudkan visi pemerintahan yang dideduksi dari visi negara. Dan itu bukan kesalahan. Justru itu tugas mereka.

Dan saya meyakini tidak semua public policy makers itu berwajah-berhati “devils”. Dari 1200an pasal UU Ciptaker, mungkin hanya belasan pasal yang digugat. Artinya jika ada 12 pasal yang digugat, itu hanya 1% dari total pasal yang ada. Namun, nila setitik rusak susu sebelanga!

Baca Juga  New Normal

Meski demikian, saya juga memahami fraksi di DPR yang menolak UU tersebut. Meski hanya ada beberapa pasal yang dinilai tidak berkeadilan (terutama pasal ketenagakerjaan), namun proses formil dan materiilnya bermasalah: proses tidak kredibel, terlalu terburu-buru, minim partisipasi, dll. Cukup kuat untuk dijadikan argument untuk menolak.

Selain itu, masih banyak substansi yang dipersolkan, terutama terkait hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam perspektif demokrasi, Omnibus Law ini terlalu sentralistis, bahkan berpotensi menciptakan hyper-presidentialism. Lalu untuk apa demokrasi? Buat apa otonomi daerah?

Well, dalam teori ekonomi-politik, memang demokrasi dapat mendorong kemajuan ekonomi; sebaliknya kemajuan ekonomi dapat mendorong demokratisasi. Sejak Era Reformasi, tampaknya kita memiliki keyakinan bahwa sistem demokrasi yang kita pilih akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Betul, tapi demokrasi yang dibarengi dengan good and clean corporate governance. Tanpa itu, maka ekonomi tidak akan pernah lepas landas. Ekonomi kita growing, tapi tidak kunjung mencapai level mature. Residu-residunya masih terlalu banyak.

MANAJEMEN VS DEMOKRASI

Dalam perspektif manajerial, melalui Omnibus Law, tampaknya pemerintah ingin melakukan simplifikasi regulasi, agar tata kelolanya semakin simple dan mudah. Resikonya memang menjadi cukup sentralistis. Yang harus dimitigasi adalah konflik antar kementerian, dan antara pemerintah pusat versus pemerintah daerah.

Tapi, bukankah pemerintah (pusat) harus berani mengambil resiko tidak populer, demi masa depan rakyatnya? Betul, di atas kertas, Omnibus Law membuat sistem manajerial semakin efektif dan efisien. Tapi indeks demokrasi pasti akan dikorbankan. Loh, orang seperti Abah DI (Dahlan Iskan), dalam berbagai kesempatan sering menyampaikan: kalau disuruh memilih antara demokrasi dan sentralistik baik hati, saya lebih memilih sentralistik yang baik hati. Abah DI adalah pengusaha, dan pernah merasakan di pemerintahan. Bagi beliau, efektivitas manajerial itu lebih penting.

Ya, negara adalah organisasi. Tepatnya, organisasi terbesar. Dalam organisasi, manajemen itu lebih efektif yang sederhana, sehingga bisa bergerak lebih lincah. Lebih adaptif, lebih cepat dicarikan solusinya saat menghadapi masalah. Birokrasi yang terlalu panjang selama ini, dinilai jauh dari efektif. Bertele-tele, banyak tangan-tangan yang berkepentingan.

Logika ini sebetulnya bisa diterima dalam perspektif manajemen: termasuk manajemen pembangunan. Kebetulan, S2-S3 saya belajar manajemen. Tapi celakanya, saya juga punya S1 dan S2 Ilmu sosial dan politik, yang mengajari saya bagaimana kita harus memelihara demokrasi – dan juga mengharuskan keberpihakan terhadap rakyat kecil.

Jadi, pilih efektivitas manajerial atau demokrasi?

Logika Abah DI sebetulnya tidak keliru. Kalau pemimpin otoriter/sentralistik asal baik hati, tidak akan ada soal. Ya mungkin ada soal tapi akan dimaklumi oleh mayoritas. Tapi celakanya, bagaimana jika kita sial mendapat pemimpin otoriter/sentralistik yang tidak baik hati? Yang oligarkis? Bukankah demokrasi – distribusi kekuasaan – merupakan mekanisme kontrol untuk mencegah abuse of power? Lord Acton mengatakan “power tends to corrupt” (Sisanya selesaikan sendiri karena sudah terlalu basi mengutip kalimat ini hehe).

Duh, dilema kan?

Sebetulnya sistem presidensialisme memberi peluang kepada presiden untuk berperilaku “agak sentralistik”. Loh, tapi kan sistem kita presidensialisme “setengah hati”? Wah, bakal panjang lagi bahas politik. Kita kan lagi bahas Omnibus Law?

Anyway, sebetulnya masih panjang yang ingin saya sampaikan. Tapi karena sudah malam, saya sudahi saja ya.

Saya sebetulnya mengapresiasi gagasan Omnibus Law dari pemerintah. Meski itu instrument impor, nggak masalah kan. Tapi dari mulai niat (moral intention), proses hingga impelentasinya harus baik dan bijak. Kalau niatnya sudah baik, tapi jika prosesnya bermasalah, ya akan problematis seperti sekarang. Implementasinya wallahu’alam deh.

Saya pribadi setuju dengan Omnibus Law ini, tapi revisi dulu deh pasal-pasalnya. Bagaimana mekanismenya? Biarlah orang hukum yang memikirkannya. Apakah melakukan JR ke MK, atau dengan cara lain. Atau presiden tidak usah tanda tangani UU tersebut sampai deadline habis, lalu setelah itu munculkan lagi UU berkonsep Omnibus Law yang berisi penyempurnaan UU Ciptaker yang sekarang, dengan perubahan-perubahan baru yang berorientasi win-win solution. Tentu harapannya dengan framework yang lebih komprehensif (please baca kritik saya di atas, lalu kembangkan).

Namun, sebetulnya masih banyak jalan menuju Roma! Buat bangsa ini, ayo kita buka pikiran bersama seluas-luasnya.

Omnibus Law ini sebetulnya ibarat wanita cantik jelita. Ia membawa luka sekaligus harapan. Luka bagi sebagian orang, dan harapan bagi sebagian yang lain. Selamat berpikir. END. (15/10/2020).***