LAMPUNG – Selain melihat langsung lumba-lumba, ada satu lagi daya tarik yang dimiliki pesisir Teluk Kiluan, Perahu Ketinting. Perahu buatan masyarakat Pekon (desa) Kiluan Negeri ini ternyata merupakan salah satu produk unggulan daerah.
Pembuatan perahu tradisional ini menjadi usaha sampingan warga setempat selain menjadi nelayan dan ekowisata lumba-lumba. Industri perahu ketinting pun menjadi sandaran ekonomi saat nelayan mengalami musim paceklik dan peminat wisata lumba-lumba sedang sepi.
Perahu ketinting termasuk dalam perahu jenis jukung – salah satu jenis perahu tradisional khas nusantara. Perahu-perahu ini dapat ditemukan di berbagai daerah. Dari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, masyarakat Madura serta Bali, dan hampir seluruh pesisir Sumatera mengenal perahu jukung. Meskipun ada di banyak tempat, masing-masing daerah memiliki kekhasan dalam hal bentuk dan tehnik pembuatannya – begitu juga dengan ketinting buatan warga Kiluan.
Ketinting dari Kiluan memiliki standar ukuran panjang 11 meter dan lebar 60 centimeter. Perahu ini umumnya dibuat dari bongkahan kayu tabuh (tabo) utuh yang dilubangi dan diserut sehingga menjadi bagian lambung perahu. Kayu tabuh tumbuh secara alami di Pulau Kiluan.
Setelah bagian lambung selesai, pembuatan perahu dilanjutkan dengan membuat kedua ujung yang melancip. Di kedua sisi perahu, dipasangi katir (cadik), yaitu kerangka dari bambu yang membuat perahu tetap seimbang menghadapi terpaan ombak dan angin di laut.
Bentuk yang aerodinamis membuat perahu ketinting andal menghadapi ganasnya laut lepas. Meskipun nelayan lebih banyak menggunakannya untuk mencari ikan di lautan dangkal atau mengantar wisatawan melihat lumba-lumba yang tidak jauh dari daratan, perahu ini ternyata cukup tangguh menempuh perjalanan panjang ke Laut Jawa dan menyeberang hingga Ujung Kulon. Dengan perahu kecil ini, perjalanan ke Ujung Kulon dapat ditempuh dalam waktu 6 sampai 8 jam perjalanan.(man)