Oleh : Abdul Munib
Dua pukulan telak terhadap industri pers betul-betul membuat eksistensi Pers Nasional terhuyung kelimpungan. Pukulan pertama datang dari disrupsi. Dan pukulan kedua berupa pandemi.
Ditandai dengan rontoknya media cetak baik pusat maupun daerah. Sedangkan media cetak adalah pengawal ruh jurnalistik PWI. Jurnalistik dan PWI pada masanya mendapat tempatnya yang paripurna dalam media cetak.
Sementara koran online, tidak bisa mendatangkan fungsi ekonomi sebagaimana saat koran itu berbentuk cetak. Jumlahnya menjamur tak terkendali. Menimbulkan boming informasi. Sehingga informasi menjadi murah tak ada harganya. Berefek pada langkanya pemasang iklan.
Realitas ini memunculkan dua mazhab pemikiran dikalangan pengelola media cetak dan profesi kuli tinta. Satu pemikiran ‘Badai akan berlalu’. Mazhab kedua berpikiran bahwa ‘Jaman sudah berganti’.
Pengikut mazhab pemikiran pertama mewakili media cetak dan jurnalis masih meneruskan profesi ini sambil menunggu datangnya fajar baru meredanya badai. Mereka membuat perbandingan bahwa di negeri asalnya pers, yakni di negara Barat koran cetak masih bisa bertahan.
Sedangkan pengikut mazhab bahwa jaman sudah berganti, mereka berfikir bahwa definisi pers sebagaimana difahami sebelumnya tak akan bisa diterapkan lagi. Etika independensi sudah tak punya ruang lagi ditengah menyempitnya sumber inkam perusahaan pers.
Makna pers sebagai pilar ke empat demokrasi yang memiliki independensi, tiangnya roboh bersama menyempitnya peluang ekonomi. Bahkan bisa juga dibilang telah habis.
Kondisi ini menimbulkan kecenderungan pada karya jurnalistik pesanan. Menjadi alat pihak yang punya modal. Yang lebih fatal lagi jurnalistik preman, yang mencari harga tawar-menawar. Menyasar pihak yang punya uang. Memeras. Karena peluang ekonomi yang sewajarnya, menjual berita dan iklan, sudah ditelan masa lalu. Tentu pers yang seperti ini bukan pers yang pernah kita fahami dulu, saat independensi redaksi ditopang oleh kemandirian ekonomi.
Yang masih punya jalan hidup,seperti Harian Kompas misalnya, mereka mengambil jalan konvergensi. Mereka sudah ancang-ancang bisnis hotel, toko buku dan lainnya. Tentu dalam hal seperti ini, pers menjadi pasien yang dihidupkan oleh infus dari usaha lain.
Dalam kasus yang sebaliknya, orang bukan latarbelakang pers tapi punya modal besar mendirikan industri pers untuk kepentingan tertentunya.
Tiga group besar industri pers nasional seperti Kompas, Jawa Pos dan Tempo sebagai tolok ukur, dalam situasi sekarang ini kedodoran menentukan sikap.
Menengok lembaga pers milik pemerintah seperti TVRI, RRI dan LKBN Antara pun ketiganya disuruh mencari inkam berebut dengan perusahaan pers non-plat merah. Keadaannya juga hampir sama, walau dibiayai oleh negara. Untungnya untuk gaji pegawai sudah ada di APBN.
Kondisi lain diluar itu, insan pers nasional berhamburan cari serabutan. Ada yang ikut politik. Jadi Caleg. Jadi pengusaha pemula. Atau usaha apa saja. Keadaanya seperti orang hanyut tanpa pegangan.
Sementara pada setiap HPN (Hari Pers Nasional) pidato Presiden terus mengulang bahwa peran pers sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini dalam menghadapi banjir bandang informasi hoaks yang gaduh dan mengganggu stabilitas. Kita makin dijauhi masyarakat karena dituduh mainstream dalam konotasi negatif. Kebenaran adalah menjadi milik Medsos sepenuhnya. Tidak berpihak pada amanat penderitaan rakyat.
Lalu, kalau sudah begini apa solusinya ? Dewan Pers bersama konstituen-nya harus duduk bersama. Membuat telaah mendalam memakrifati keadaan pers nasional. Sebelum terlambat. Sebelum pers nasional isinya adalah seperti Pers Barat. Agen terselubung kolonialis imperialis.
Mencari opsi-opsi jalan keluarnya. Misalkan merevisi UU Pers. Siapkan pokok-pokok pemikirannya, sedemikian hingga pers nasional masih bisa tegak secara independen. Atau pers nasional dibiayai oleh negara berada di bawah MPR. Karena kalau gabung pemerintah unsur pilar keempat demokrasinya akan hilang. Atau bagaimana lah, karena kita tak bisa membiarkan keadaan ini berlarut tanpa melakukan tindakan apapun.