Matahari Kembar Di Bulan Syawal

oleh
oleh -

Oleh Ahmad Kailani

Isu matahari kembar mengemuka. Entah dari mana faktanya. Namun, asal-usulnya bermula di saat Iedul Fitri di bulan Syawal. Ada sejumlah Menteri berkunjung ke Solo untuk berlebaran. Mereka berlebaran dan bersilaturahmi ke rumah Mantan Presiden Joko Widodo. Senyum- senyum, ketawa dan tentu saja bermaaf-maafan. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang istimewa. Setelah selesai berlebaran, semua kembali ke Jakarta. Happy jali.

Namun sayang, tidak semua orang punya cara pandang yang sama. Karena memang diranah politik, semua bisa berujung politik. Tidak salah, namun patut pula “disesalkan”. Yang realitas sosial-politik memang terbuka untuk ditafsirkan. Termasuk isu matahari kembar yang “terbit” di bulan Syawal. Apa sinyalnya? Banyak. Tetapi “yang agak terang benderang”, kata yang yakin dengan “tafsir politik”nya, adalah jawaban Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Trenggono dan Menteri Kesehatan Budi Gunawan.

“saya hadir ke sini untuk bersilaturahmi sama bekas bos saya. Sekarang masih bos saya,” kata Trenggono. Jawaban Budi Gunawan lebih tegas lagi. “Silaturahmi karena Pak Jokowi kan bosnya saya. Jadi, saya sama Ibu mau silaturahmi mohon maaf lahir dan batin. Juga (minta) doain supaya Pak Presiden dan Ibu itu sehat karena sudah masih jadi menteri kesehatan kan,” ungkap Budi setelah pertemuan.

Jawaban inilah yang ditafsirkan, kalau “Matahari Kembar” itu ada. Sulit memverifikasi pernyataan yang diminta secara tiba-tiba. Apakah “bos” dimaksud sebagai pimpinan. Atau sekedar kelakar. Wilayah politik memang reman-remang. Sementara Matahari itu terang- benderang. Jadi jawaban Trenggono dan Budi Gunawan jelas masuk “remang-remang”. Lalu apakah menyebut “masih bos saya” sama dengan Presiden saya? Nah, nampaknya Trenggono dan Budi Gunawan memang bukan “sekedar” menteri.

Menteri memang bukan “rakyat biasa”. Bahkan, meski secara struktural dan fungsional adalah pembantu presiden, menteri juga politisi. Bahkan di era Prabowo, Mayoritas Ketua Umum Partai menjadi Menteri. Sebut saja, Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Ketua Umum Golkar) , Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), Agus Hari Murti, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan (Ketua Umum Demokrat) dan Muhaimin Iskandar, Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Ketua Umum PKB). Jadi, tafsir politik atas kata dan tindak politik para Menteri, sah-sah saja.

Baca Juga  Elektabilitas Prabowo Gibran Unggul, Masyarakat Dukung Pilpres 2024 Sekali Putaran

Menggandeng para Ketua umum dalam satu kabinet memang ngeri-ngeri sedap. Dengan kekuatan politik dan parlemen, mereka bisa saja “bersekutu”untuk mengendalikan ke arah yang mereka inginkan. Tentu, ini bukan pekerjaan sederhana. Sebab syair-syair lagu politik masih belum tergantikan. Iwan Fals misalnya dalam lagunya “Sumbang”, bersyair;

Lusuhnya kain bendera dihalaman rumah kita. Bukan satu alasan untuk kita tinggalkan. Banyaknya persoalan yang datang tak kenal kasihan. Menyerang dalam gelap. Memburu kala haru dengan cara main kayu. Tinggalkan bekas biru lalu pergi tanpa ragu. Memburu kala haru dengan cara main kayu. Tinggalkan bekas biru lalu pergi tanpa ragu. Setan setan politik. Kan datang mencekik. Walau dimasa paceklik. Tetap mencekik.

Lalu bagaimana faktanya?

Matahari Kembar dalam politik merujuk pada dua kepemimpinan nasional. Ada dua komando dalam satu pasukan. Ada dua nakhoda dalam satu kapal dalam sebuah pelayaran. Jika ini terjadi tentu kesetiaan para prajurit, pembantu atau Anak Buah Kapal (ABK) bakal terpecah. Alih-alih kapal melaju cepat, seperti “Lancang Kuning”, yang berlayar malam (gelap tidak ada kepastian), haluan menuju laut dalam, yang akan terjadi kapal “stuck” di lautan. Akibatnya seperti pesan dalam syair Lancang Kuning, “Kalau nakhoda, kuranglah paham, maka alamat kapal akan tenggelam”.

Lalu bagaimana tasfir para Menteri berlebaran ke Solo; ke “matahari” lainkah? Lalu apakah Jawaban Trenggono dan Budi Gunawan menjadi bukti bahwa “matahari kembar” itu ada? Tentu politik bergerak sangat dinamis. Namun, jawaban Ketua DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menepis tafsir “liar” matahari kembar. Dengan gaya yang khas, Dasco menyebut “ini bukan matahari, ini bulan”, sambil berkelakar, saat dikonfirmasi di acara Halal- bi Halal di rumah dinas Cak Imin. Kebetulan halal bil halalnya malam hari. Jadi gak mungkin ada matahari. Cerdas dan diplomatis.

Baca Juga  Begini Cara Menggunakan Lidah Buaya Untuk Rambut

Hal senada, disampaikan Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani. Menurutnya menteri-menteri itu memang masih menghormati Jokowi dan menjaga tata krama mereka. “Ya, saya kira itu para mantan menterinya Pak Jokowi, tentu karena Lebaran dia harus menghormati, dia dalam tata krama. Apalagi dalam suasana Lebaran menghormati Pak Jokowi yang pernah menjadi Presiden pada saat beliau menjadi menteri, saya kira itu.”

Dua orang terdekat Prabowo sudah “mengunci” adanya tafsir liar soal matahari kembar, jelas menunjukkan bagaimana kualitas nakhoda yang membawa kapal bernama Indonesia. Soal persatuan dan kesatuan, bagi Prabowo, Partai Gerindra, dan elit-elitnya adalah “harga mati”. Jadi, soal matahari kembar, sudah selesai.

Politisi di era Media Sosial, memang harus cerdas luar-dalam. Dan politik tak harus melulu di dekati dengan cara pandang “konflik” dan berseteru. Kelakar dan tertawa, adalah strategi bagaimana isu-isu panas, berubah menjadi wedang jahe yang menyehatkan. Tak banyak kemampuan politisi tampil dengan wajah ceria, yang menjadi “magnet” kalau politik itu menyenangkan, bukan menakutkan.

Lalu bagaimana masa depan “Matahari Kembar?”

Pertama, “matahari kembar” adalah produk asumsi. Jika diyakini, ia bisa terjadi. Media sosial, dengan alogaritmanya, bisa jadi “menjejal” publik dengan isu ini setiap saat, setiap hari. Wajar, isu ini hanya pemicu. Lalu menjadi viral. Apalagi Jokowi adalah politisi, selebriti. Semua berita tentang Jokowi pasti “top news”, termasuk soal isu “ijazah palsu”. Jadi akhirnya bukan isunya, tapi siapanya. Di era medsos, selebriti adalah sumber views, FYP dan otomatis pundi-pundi komisi. Ini pula yang digunakan oleh Tim Media KDM (Kang Dedi Mulyadi) dengan kekuatan media sosialnya mendapat ceruk pendapatan KDM dengan konten-konten populisnya sangat tinggi. Ini pula yang dilakukan para Tiktoker dan Youtuber mengeksploitasi berita-berita politisi populis, termasuk Jokowi. Wajar jika kegiatan Jokowi yang di unggah di media sosial dapat ditafsirkan kalau matahari itu masih bercahaya. Beda dengan saat KDM “menebar” pesona di mana-mana. Populisme dalam arti positif.

Baca Juga  Kesadaran Sosial, Satgas P4GN Rutan Bangil Gelar Pemutaran Film Tentang Bahaya Narkoba

Kedua, sejauh Prabowo dan elit Partai Gerindra menganggap “fenomena” ini bak matahari di kala senja, maka matahari kembar tak layak untuk dibesar-besarkan. Secara legal, Jokowi adalah matahari yang sudah tenggelam. Sebaliknya menganggap semua yang bercahaya adalah matahari, apalagi sebagai “kembaran” (kompetitor), adalah virus of mind yang disebar oleh mereka yang ingin “mengganggu” spirit Presiden Prabowo untuk menyatukan kekuatan bangsa.

Ketiga, mengutip Dahlan Iskan, dalam Matahari Kembar, Jokowi patut meniru Presiden Tiongkok. Menurut Dahlan, isu ”matahari kembar” tidak pernah terjadi di Tiongkok. Di sana seorang presiden yang sudah meletakkan jabatan tidak pernah tampil di media masa. Sudah seperti langsung hilang ditelan bumi. Pun seorang mantan perdana menteri. Diam. Hilang. Lenyap. Tidak mau cawe-cawe. Terlihat pun tidak. Kurang hebat apa presiden dua periode Jiang Zemin. Dia-lah yang berhasil mengubah konstitusi: bahwa sokoguru komunis itu tidak lagi hanya buruh dan tani. Ia yang berhasil menambah sokoguru ketiga di partai komunis Tiongkok: pengusaha. Hasilnya? Kini Tiongkok berani menantang Perang Amerika.

*) Ketua Umum Perisai Prabowo & Mantan Wartawan