Mengenal Tokoh Nasional…
Kalau anda cukup akrab dengan beberapa tokoh pergerakan Sarikat Islam seperti HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim atau tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, jangan lupakan satu nama penting di pentas pergerakan nasional kemerdekaan nasional. Abdul Muis.
Putra kelahiran Sungai Puar, 8 kilomater sebelah timur kota Bukittinggi, Abdul Muis selain kelak dikenang sebagai salah seorang pahlawan nasional, sejatinya seorang wartawan dan sastrawan. Lahir pada 3 Juli 1883, Muis mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda Europeesche Lagere School (ELS) di Pandag, kemudian meneruskan ke HBS (SMA zaman Belanda) di Jakarta.
Di Jakarta Muis sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran Jawa (STOVIA), namun tidak diselesaikan karena hasrat sejatinya adalah terjun di kancah pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia.
Sehingga dunia kewartawanan dan tulis-menulis agaknya lebih pas dengan jiwanya yang berkobar-kobar sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan. Maka, pada 1909 Muis memulai debutnya sebagai wartawan dengan bergabung di majalah Bintang Hindia di Bandung.
Pada 1910, Muis pindah ke surat kabar lain, Preanger Bode, sebuah surat kabar berbahasa Belanda. Namun karena sebagian besar kru surat kabar tersebut orang Belanda, Muis merasa tidak nyaman dengan kecenderungan rasis Orang Belanda di lingkungan kerjamya, yang menganggap rendah orang-orang pribumi seperti dirinya.
Kecewa dengan Preanger Bode, Muis gabung dengan surat kabar lainnya, Kaoem Moeda pada 1914. Kali ini bahikan Muis dipercaya sebagai pemiumpin redaksinya sehingga bebas mengekpresikan pikiran dan pandangannya. Maka harian ini kala itu dikenal dengan rubriknya yang populer “Ruang Pojok.”
Melalui Ruang Pojok ini Muis menuangkan kecaman tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda yang bercokol di bumi nusantara. Alhasil, dengan tak ayal pemerintah kolonial Belanda membrangus koran tersebut. Sehingga koran tersebut tidak boleh terbit lagi.
Namun bagi Muis, dunia jurnalistik sudah melekat dengan hasratnya yang berkobar-kobar dalam ikut serta dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Maka kemudian Muis merintis surat kabar baru, Neratja, surat kabar yang merupakan organ Sarekat Islam (SI).
Di sinilah awal mula Muis berjumpa dengan beberapa tokoh sentral Sarikat Islam seperti Haji Agus Salim dan Joyosudiro. Para pentolan Sarikat Islam seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto mempercayakan Muis sebagai pemimpin redaksi Neratja. Mala sejak itu, dunia kewartawanan dan pergerakan kemerdekaan bersenyawa satu sama lain dalam diri Abdul Muis.
Di Neratja surat kabar organ perjuangan Sarikat Islam inilah, Muis mempersenyawakan dunia kewartawanan dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pers Perjuangan untuk Indonesia merdeka.
Tak heran jika di tengah-tengah kegiatannya yang intensif sebagai wartawan pejuang, Muis juga tergerak ikut aktif bersama Ki Hajar Dewantara mendirikan Komite Bumiputra. Komite ini awalnya dibentuk untuk mementang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Yang mana bagi Muis dan Dewantara perayaan itu sangat ironis, di negeri yang dijajahnya kok malah mau mengadakan perayaan besar-besaran.
Akibat sepak-terjangnya ini, Muis ditangkap namun tak lama kemudian dibebaskan. Bahkan setelah itu, Muis merupakan putra Minang pertama yang berkunjung ke negeri Belanda dalam kapasitasnya mewakili Sarikat Islam yang waktu itu duduk sebagai Anggota Kimite Indie Weerbaar.Dari sini nampak jelas betapa Muis dimatangkan kesadaran dan jiwa nasionalismenya di Sarikat Islam pimpian HoS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Melalui komite ini, Muis bersama-sama dengan Danu Sugondo, Sunan Solo dan lain-lain, bertujuan memanfaatkan situasi Perang Dunia I agar Belanda bersikap melunak terhadap Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Kepada pemerintah Belanda Muis Cs mengusulan perubahan udanng-undang agraria dan persamaan hak kaum pribumi dan kulit putih di Indonesia. Sayang perang dunia I keburu usai, sehingga usulan tersebut jadi tidak relevan lagi. Karena Belanda kemudian tampil sebagai bagian dari negara-negara sekutu pemenang perang. Tentu saja usulan Muis Cs sama sekali tidak digubriks.
Begitupun Muis dan kawan-kawan dalam road show kelilingnya di Eropa, berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar mendirikan sekolah teknik di Indonesia. Sehingga beberapa tahun kemudian di Indonesia didirikan Technicshe Hopgeschool (THS) yang sekarang kita kenal sebagai Insttut Teknologi Bandung (ITB). Bung Karno, Presiden pertama RI, merupakan salah satu alumnusnya.
Perjuangan membela rakyat kecil nampaknya memang merupakan passion utama Abdul Muis sebagai salah seorang tokoh sentral Sarikat Islam. Sikap tersebut sama sekali tidak berubah meskipun sudah menjadi anggota dewan rakyat bikinan Belanda Volksraad bersama Hos Cokroaminoto. Kala itu, Sarikat Islam oleh Gubernur Jenderal Belanda diminta mendudukkan dua wakilnya di Volksraad.
Seperti sudah digariskan oleh HOS Cokroaminoto sebagai Ketua SI, Sarikat Islam setuju duduk di Volksraad bukan karena percaya dengan itikad baik Belanda memberi kemerdekaan pada Indonesia, melainkan sebagai forum untuk melatih kemampuan kepemimpinan dan pergerakan politik di dewan rakyat tersebut.
Maka melalui Volksraad ini, Muis justru memanfaatkan peluang itu untuk berkunjung ke daerah-daerah terkebelakang untuk membela rakyat kecil seraya membangkitkan semangat para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Antara 1919-1922, Muis benar-benar di puncak pergolakan perlawanan kaum Bumiputra terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada 1919 Muis ditangkap gegara dianggap bertanggungjawab terhadap tewasnya seorang kontrolir Belanda di Tolitoli Sulawesi Utara, menyusul pidato keliling Muis di daerah itu. Pada 1922, Muis memotori pemogokan buruh pegadaian di daerah Yogyakarta, sehingga Musi lagi-lagi harus masuk penjara. Bahkan kali ini diasingkan ke Garut, Jawa Barat.
Namun di Jawa Barat inilah, Muis seakan menyongsong takdir. Ketika sebagai wartawan dan aktivis pergerakan ruang geraknya dibatasi, muncul bakat khusus Muis lainnya sebagai sastrawan. Pada 1928 Muis menerbitkan novelnya yang terkenal hingga sekarang, Salah Asuhan. Pada 1933 terbit novelnya yang lain lagi, Pertemuan Jodoh. Dan pada 1950, Senopati.
Menariknya, justru karena diasingkan ke Garut, Muis reputasinya sebagai wartawan dan sastrawan menemui lahan suburnya di Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, Muis mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan, suatu organisasi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Di bumi Jawa Barat ini pula, Muis mempersunting gadis Sunda, dan dikarunai 15 putra dan putri. Muis putra Minang yang pada akhir hayatnya menyatu di bumi Jawa Barat, wafat pada 17 Juni 1959, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra.
Atas jasa-jasanya dalam ikut merintis Indonesia merdeka, maka Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia oleh Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 218 tahun 1959. Tertanggal 30 Agustus 1959.(man)***