Bali – Menandai perayaan usia ke-77 tahun, Serikat Perusahaan Pers (SPS) sebagai organisasi yang mewakili perusahaan pers di Indonesia, mengadakan Dialog Nasional dengan tema “Transformasi Industri Media untuk Bangkit Bersama” di Hotel Harris Denpasar Bali, Kamis (10/08/2023).
Dialog dibuka oleh Ketua Umum SPS sekaligus Komisaris Utama Pikiran Rakyat, Januar P. Ruswita dan hadir sebagai keynote speech Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi, Bali Dewa Made Indra, dan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. Sementara sebagai panelis sesi dialog yakni CEO PT Tempo Inti Media Tbk. Arif Zulkifli Zulkifli, GM Digital & Budiness Development Telkomsel Vicky Fathurahman, Wakil Ketua Umum Ekonomi Digital & Energi Terbarukan KADIN Bali Agung Wirapramana, dan dimoderatori Dahlan Dahi yang kini menjabat CEO Tribun News Network. Acara turut dihadiri jajaran pengurus SPS dari seluruh Indonesia.
“Perusahaan media harus beradaptasi dengan lingkungan bisnis yang bergerak cepat dan memperkuat posisinya. Kolaborasi dan transformasi menjadi jawaban untuk mengatasi tantangan ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong kemajuan ekonomi Indonesia. SPS juga tidak melupakan esensi keberadaan pers sebagai pilar demokrasi dan memiliki misi untuk menegakkan demokrasi serta memberikan panduan bagi publik dalam berbagai isu,” ujar Januar P.Ruswita, Ketua Umum SPS.
Januar melanjutkan, ulang tahun ke-77 SPS menjadi momentum untuk berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan, berbagi pengalaman, dan membangun masa depan industri media yang sejahtera di tingkat daerah maupun nasional.
“Perusahaan harus beradaptasi, berkolaborasi, dan bertransformasi dalam industri media untuk menghadapi tantangan yang dihadapi. Melalui kerja sama antar pemangku kepentingan, SPS berharap dapat memainkan peran yang penting dalam perkembangan ekosistem pers nasional dan pembangunan peradaban bangsa,” imbuh Januar.
Pada sambutannya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyampaikan ada lima tren media siber di Indonesia yakni kecepatan, artikelnya tidak utuh, condong pada sensasi, beritanya Jakarta sentris, dan kerap memutarbalikkan fakta. Guna mengatasi masalah ini ada peran perusahaan pers, peran negara, dan peran masyarakat.
“Perusahaan pers harus berkomitmen meningkatkan kapasitas seluruh jajaran di redaksi yang mengacu pada kode etik wartawan. Kemudian peran negara dalam bentuk regulasi untuk memberi dukungan kelembagaan pers. Lalu peran masyarakat yang diberi hak mengkritik, memberi masukan, dan diizinkan memantau. Terakhir peran swasta juga diperlukan melalui program CSR,” papar Ninik.
Guna meneguhkan pers dalam transformasi digital, Ninik menyebut ada empat hal yang harus diperhatikan. “Yang pertama harus kerja kolaboratif guna menciptakan ekosistem pers yang berkualitas dan bermartabat. Yang kedua adalah berinvestasi pada teknologi dan SDM. Kemudian mengembangkan inovasi bisnis dan diversifikasi sumber revenue. Terakhir adalah konsisten menghasilkan karya jurnalistik berkualitas termasuk dalam menangkal disinformasi, misinformasi, dan malinformasi.”
Sementara Dewa Made Indra menambahkan, semua organisasi pasti menghadapi tantangan, termasuk era sekarang yakni transformasi digital. “Saat ini kita sedang dikuasai oleh fenomena kecepatan. Semua harus serba cepat. Termasuk informasi. Sehingga sekarang ada pertarungan realitas virtual dan realitas aktual. Padahal ruang virtual belum tentu akurat. Fenomena ini mengakibatkan pergeseran tatanan kehidupan, termasuk tatanan bisnis dan pers. Itulah tantangan yang kita hadapi,” paparnya.
Pemerintah Provinsi Bali, menurut Made Indra, menaruh perhatian dan kepercayaan yang besar ke media arus utama karena itu adalah sumber rujukan utama. Pemprov juga mengikuti dinamika yang ada pada media online dengan karakter berbeda. “Pemerintah Bali berkolaborasi dengan dua platform media tersebut. Bagi kami, keduanya diperlukan. Tetapi untuk mensosialisasikan program pemerintah secara utuh kepada masyarakat maka media arus utama masih menjadi prioritas kami. Bagaimana menjaga media tetap berkualitas di tengah gempuran informasi di media sosial, itu adalah tugas kita bersama.”
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi dalam paparannya secara daring menyampaikan, berdasarkan survei indeks literasi digital tahun 2023, media mainstream atau media konvensional, khususnya media TV, mengungguli media sosial dan berita online. Di tengah gempuran disrupsi digital, masih eksisnya media konvensional ditopang keyakinan masyarakat bahwa media konvensional memiliki kualitas tertinggi dalam pengolahan, meja redaksi, dan penyampaian informasi. Hal ini membuat media konvensional menjadi sumber informasi tepercaya yang bisa memiliki kemampuan memfilter berita palsu atau hoaks.
Budi Arie menyebut pemerintah tidak menutup mata kalua diperlukan regulasi yang mampu memitigasi disrupsi yang terjadi di industri media. “Sejak tahun lalu bersama-sama kita berupaya menuntaskan penyusunan regulasi Publisher Rights (Hak Penerbit), untuk mewujudkan keseimbangan hubungan antara platform digital dan perusahaan media. Regulasi ini bertujuan untuk menciptakan fair playing field dan mewujudkan ekosistem media yang lebih sehat guna mendukung jurnalisme berkualitas dan menghormati kebebasan pers,” papar Budi Arie.
Publisher Rights diusulkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) yang menempatkan prinsip mutualisme dan menjadi landasan hukum kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas. Budi Arie mengaku harmonisasi rancangan Perpres sudah dilewati sejak Juli lalu. Saat ini Kemkominfo telah mengajukan permohonan pertimbangan penetapannya kepada Presiden RI.
“Perubahan adalah hal yang pasti, namun untuk berubah adalah pilihan. Media konvensional harus terus berinovasi dan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi yang terus bergerak semakin cepat. Kita harus terus berinovasi, beradaptasi dan lincah dalam merespon perubahan yang begitu dinamis. Saya merasa kolaborasi menjadi kunci untuk kita lari bersama dalam harmoni,” tukas Budi Arie.
Senada Menkominfo mengenai Perpres kesetaraan media dan platform digital, perwakilan media Arif Zulkifli, PT CEO PT Tempo Inti Media Tbk., menggarisbawahi fenomena media yang disebutnya “rezim algoritma” dan latar belakang gagasan Publisher Rights.
“Gagasan Publisher Rights muncul dari kecemasan dua hal. Pertama adalah hubungan tidak setara antara penerbit atau publisher dengan platform digital terutama platform internasional. Kecemasan kedua adalah turunnya mutu jurnalis akibat rezim algoritma yang mengedepankan kecepatan dan hal-hal yang sifatnya di permukaan,” ujar Arif.
Sebetulnya praktik gagasan ini menurut Arif sudah dilakukan di negara lain seperti Australia, Jerman, dan Kanada. Yang pada intinya menjawab dua hal tadi. Pertama, dudukan yang setara dan seimbang antara publisher dengan platform, dan kedua bagaimana mengembalikan marwah jurnalisme agar kembali memunculkan jurnalisme yang berkualitas.
Arif meyakini turunnya kualitas karya jurnalistik di dunia digital akibat dari rezim algoritma. Platform beralasan mesin pencari mempunyai algoritmanya sendiri yang secara otomatis berubah. Sementara kinerja media sangat dipengaruhi algoritma. Dan pengaturan perubahan algoritma ini juga turut dimasukkan ke Perpres.
Wakil Ketua Umum Ekonomi Digital & Energi Terbarukan KADIN Bali, Agung Wirapramana mengatakan inovasi produk jurnalistik yang kolaboratif dengan dunia usaha itu sangat penting. “Pers sangat berperan dalam tumbuh kembang bangsa. Dan kini tantangan pers semakin besar. Perlindungan terhadap demokrasi pers sangat diperlukan termasuk Publisher Rights,” ujar Agung.
Agung menegaskan, dunia usaha memerlukan informasi kredibel karena sekarang ini banyak disrupsi informasi yang membuat bias. Awak media berperan penting dalam pemberitaan yang akurat bagi dunia usaha. “Kami berharap dunia usaha bisa berkolaborasi dengan pers juga dunia teknologi dan bersinergi untuk mendukung ekonomi. Kolaborasi dalam kompetisi juga diperlukan. Peluang inovasi mulai dari proses transformasi menuju totally digital sebelum menuju generated AI,” ujarnya.
“Upskill, reskill, dan upscale sangat penting. Sisi bisnis bisa ditingkatkan dengan meningkatkan skill dan upgrade. Dan Colaborative movement. Kalau media tidak punya visi sama, mungkin akan ada friksi yang berpotensi mengadu domba. Kita harus bersama-sama memperkuat media, seluruh stake holder, pemerintah, dunia usaha, dan lain-lain,” tutur Agung menambahkan.
Dari sisi teknologi GM Digital & Budiness Development Telkomsel, Vicky Fathurahman, lebih berfokus pada para penerbit agar bisa memberikan nilai tambah ke pengiklan. “Di mata pengiklan, para publisher tentu ingin mempunyai value lebih, yang tidak dibawah platform. Malah harusnya lebih tinggi dari platform. Tentu ada hal yang harus dilakukan publisher agar bisa mencapai nilai tambah tadi. Misalnya dari segmen audiens, publisher harus bisa merangkul generasi Y dan Z. Dan itu yang dilakukan Telkomsel, membangun engagement dengan Gen Y dan Z sehingga bisa built to last.”
Ia menambahkan, tantangan kedua bagi publisher adalah untuk membuat publisher first party data. Jadi tanpa bergantung pada platform luar, publisher sudah bisa berbicara banyak kepada pengiklan berbasis data. Misalnya demografis audiens, profil audiens, dll. Dengan begitu publisher bisa meningkatkan revenue setiap iklan. Built capability membangun sebuah segmentasi dari pembacanya sehingga ketika berbicara dengan pengiklan kita punya added value lebih, tidak lagi didikte oleh platform,” tukas Vicky. *