Positivisme dan Teori Kritis
Berita yang disajikan media massa, apakah fakta pertama, atau fakta kedua hasil rekonstruksi wartawan atau jajaran redaksi? Para ahli berdebat panjang tentang berita itu, dan sangat tergantung pada cara pandang dan ciri pandang masing-masing.
Para penganut Perspektif Positivisme memandang, berita yang tercetak di media massa harus identik dengan fakta yang terjadi di lapangan. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Sebaliknya, para penganut Perspektif Teori Kritis justru memandang berita itu tak identik dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Berita bukan cermin dan refleksi dari kenyataan, melainkan hasil konstruksi dari realitas (fakta) di lapangan. Bahkan, perspektif Teori Kritis memandang, berita itu cerminan dari kepentingan kekuatan dominan. (Eriyanto, 2001 : 32),
Proses Pengemasan Pesan
Sebagian media massa bisa menjadi agen politik, punya agenda politik, dan punya kepentingan politik. Sebagai agen politik, Suwardi menyebutkan (Hamad : 2004 : xvi – viii), media massa melakukan proses pengemasan pesan (framing of political message). Proses inilah sesungguhnya yang menyebabkan sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu.
Dalam proses pengemasan pesan ini, media massa dapat memilih fakta yang akan dan yang tak akan dimasukkan ke dalam berita politik. Ada selera dan kepentingan di balik berita itu. Ada yang tersembunyi di balik berita.
Dalam proses pengemasan pesan, media massa dapat menyeleksi fakta dari lapangan. Maka, berita yang berasal dari wartawan di lapangan itu bisa berbeda dengan berita yang tersaji untuk masyarakat pembaca, antara lain, karena adanya konstruksi realitas oleh jajaran redaksi. Sejak di lapangan pula sebetulnya, wartawan memilih fakta yang harus ditonjolkan atau yang disimpan.
Simbol, Fakta, dan Penempatan Berita
Dalam pembentukan opini publik, menurut Hamad (2004 : 2 – 3), media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan simbol politik (language politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function).
Menurut Sujiman (Badara, 2014 : 10), ada tiga hal yang dilakukan pekerja media tatkala melakukan konstruksi realitas, yakni pemilihan simbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disajikan (strategi framing), dan kesediaan memberi tempat (agenda setting). Penempatan berita, di halaman muka atau di halaman dalam, dtentukan pula oleh kebijaksan redaksional media massa yang bersangkutan.
Dengan ketiga hal tersebut di atas, media massa bisa mengubah persepsi, atau jadi pembentuk makna untuk sesuatu realitas atau tindakan tertentu di lapangan. Media massa jadi alat perubahan. Motif pembentukan makna itu bisa karena ideologis, politis, dan bisnis, atau malah mungkin karena ketiga-tiganya. (Dean Al-Gamereau).





