Citizen Journalism:
Haera Inaya
Mahasiswi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Majalahteras.com – Selama sepuluh hingga dua puluh tahun terakhir ini isu terkait Islamophobia dan antisemitism menjadi kajian yang terus-menerus ada di dalam diskursus keberagamaan skala dunia. Seminar ini akan membedah secara tuntas aspek-aspek Islamophobia, baik dari luar Islam maupun dari dalam Muslim sendiri, dan bagaimana Muslim menyikap hal tersebut dan menunjukkan Islam yang tidak disalahpahami. Demikian dikatakan Dekan Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Ismatu Ropi, MA., Ph.D, di awal sambutannya dalam Seminar Nasional yang dihelat Gedung FU Lantai 4, Ruang Teater H.A.R Partosentono. Senin (25/03/2024).
Dalam sambutannya, Ismatu Ropi mengkritisi bahwa imajinasi mengenai Islamic Terrorist akan tetap terbenam di benak orang–orang, sedangkan koreksi khususnya pada tragedi di Brazil, misalnya,dimana terbukti setelahnya bahwa tidak ada unsur teroris Islam dalam tragedi itu, melainkan kelompok revolusioner yang menjadi bagian dari kelompok kiri di Brazil itu sendiri, tidak pernah menjadi headline yang sama besarnya dengan headline isu Islamophobia.
“Singkatnya, Islamophobia itu sama saja dengan phobia–phobia lainnya dengan apa yang disebut sebagai fenomena rasisme. Istilah Islamophobia muncul pertama kali di Perancis (Islamophobie) pada awal abad ke-19 dan muncul pada akhir tahun 1990-an dalam bahasa Inggris. Islamophobia berarti ‘ketakutan terhadap Islam’, tetapi dalam arti yang lebih luas bisa juga berarti sikap yang melibatkan emosi, kognisi, penilaian, dan tindakan yang mengekspresikan ketakutan baik kepada Islam maupun kepada Muslim,” paparnya.
“Jadi kalau kita bicara tentang Islamophobia maka kita berbicara tentang sebuah cara pandang yang dibangun secara sistematis untuk membenci sebuah kelompok tertentu yang dalam hal ini Islam itu sendiri tentunya,” imbuhnya.
Seminar yang bertajuk “Islamophobia Within Muslim & Islamophobia Without Islam. Kebencian atas Muslim dan Islam: Antara Asumsi, Fakta dan Prasangka” ini dihadiri oleh empat narasumber, diantaranya; Prof. Dr. Edwin P. Wieringa (Guru Besar & Filologi Kebudayaan Islam Indonesia Universitas KöLn Jerman ), Prof. Dr. M. Amin Nurdin, M.A. (Guru Besar Sosiologi Agama, UIN Jakarta), Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Mubalig, Jemaat Ahmadiyah Indonesia), dan Andar Nubowo, DEA, Ph.D (Alumni S3 École Normale Supérieure ENS, Lyon, Prancis), dimoderatori oleh Saadatul Jannah, MA (Dosen Fakultas Ushuluddin).
Hadir juga Rektor UIN Jakarta Prof. Asep Saepuddin Jahar, MA., Ph.D, yang diwakili Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kelembagaan, Din Wahid, MA., Ph.D, para Guru Besar FU, Para Dosen, Tamu Undangan, Unsur Media dan Mahasiswa.
Mengawali diskusi, narasumber pertama, Prof. Dr. Edwin P. Wieringa, dalam pemaparannya mengangkat sebuah karya yang ia teliti berjudul “Suluk Gatholoco”.
“Buku ini karangan seorang priyayi, berisikan kritik terhadap agama kulturalis dan sangat Kejawen. Sebagai fakta bahwa fenomena Islamophobia sudah terjadi sejak dahulu kala, dan telah tertulis oleh naskah klasik yang bahkan ditulis oleh penganut Islam sendiri,” katanya.
Narasumber kedua, pada tampilan slide materinya, Prof. Amin Nurdin menampilkan deskripsi terkait Islamophobia, dimana Istilah ini secara bahasa diartikan ‘ketakutan’.
“Secara definitif pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan ‘Runnymede Trust Report’ di tahun 1991 sebgai ‘permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam’. Setelah insiden WTC merupakan puncak Islamophobia dan menjadi fenomena yang global dan merupakan hal yang normal, yang awalnya Islamophobia ini hanya seputar teologis, namun kemudian merebak menjelma menjadi kebencian itu sendiri,” jelas Prof. Amin.
Pada kesempatan yang sama, Andar Nubowo, dalam pemaparan materinya mengangkat judul “Islamophobia di Eropa Barat: Sejarah, Akar dan Aktor”. Menurutnya, Islamophobia adalah ketakutan pada Islam dan simbolnya (kognisi, pandangan, perasaan, dan tindakan).
“Sedangkan Islamofia adalah cinta, kekaguman pada Islam, simbol dan peradabannya. Islamophobia berkembang dalam konteks hubungan agama, politik, sosial dan ekonomi yang tidak harmonis,” ujarnya.
Ia menambahkan, Islam di Barat mengutarakan paham politik nasionalis, ultranasionalis hingga sayap ekstrim kanan di Eropa. Menurutnya, agama Islam menjadi kambing hitam di dalam ruang politik terkait kebijakan-kebijakan yang ada.
Sebagai salah satu narasumber yang agak berbeda, mungkin, dimata sebagian orang (Islam) sendiri, sebagaimana hal ini terkonfirmasi oleh kata pengantar moderator, Saadatul Jannah, Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan mengatakan, pada tanggal 15 Maret 2022 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan sebagai The Internasional Day To Combat Islamophobia (Hari Internasional Melawan Islmaophobia).
Ia menjelaskan, definisi Islamophobia singkatnya adalah permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam. Dengan demikian ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam.
“Adapun akar mengapa ketakutan dan kebencian terhadap Muslim Ahmadiyah karena tuduhan-tuduhan seperti mereka tidak melaksanakan shalat, tidak berpuasa, dianggap memiliki Nabi, Kitab Suci, tempat ibadah sendiri, tata cara salat sendiri, tuduhan-tuduhan tersebut berkembang menjadi ketakutan dan kebencian terhadap Muslim Ahmadiyah,” tegasnya.
Ketua Pelaksana Kegiatan, Dr. Yuminah, MA,Si mengatakan, secara singkat bisa dilihat beragam definisi terkait fenomena Islamophobia ini dari beberapa narasumber di atas.
“Baiknya dari sini kita bisa semakin membuka pikiran sekaligus mengedukasi dunia apa dan siapa sih sebenarnya dibalik isu yang selalu hangat diperbincangkan tersebut? Tentunya juga peran media massa tidak lepas dalam memberikan penafsiran terhadap teror atau sebut saja isu Islamophobia itu,” katanya ketika diwawancara di sela-sela kegiatan.
“Maka darinya terlepas menghadiri seminar, secarik kabar ini mampu berkontribusi setidaknya memantik minat mahasiswa dalam mencari informasi khususnya dalam hal isu Islamophobia itu sendiri,” tambah Yuminah.
Seminar yang dipandu oleh Master of Ceremony (MC) dua bahasa oleh Wildan Miftahudin (Inggris) dan Rif’ah Muhassanah (Indonesia) ini berlangsung tertib hingga di penghujung acara, dirangkai dengan berbuka puasa bersama dengan civitas akademika Fakultas Ushuluddin yang telah disediakan oleh pihak penyelenggara acara.
Antusiasme peserta sangat terlihat dengan diramaikan oleh 200 peserta .Terlihat di dalam ruangan tidak sedikit dari peserta yang merupakan dosen juga turut menyukseskan seminar tersebut, ditambah rombongan mahasiswa sebagai tamu undangan khusus dari Jemaat Ahmadiyah Indinesia (JAI) yang menggenapkan kursi Teater sehingga pihak panitia perlu mencari kursi tambahan untuk diletakkan setidaknya dua baris ke belakang menghampiri pintu masuk.@Man