Jakarta, 15 September 2025 — Rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyalurkan dana segar sebesar Rp200 triliun ke Bank Himbara mendapat sorotan serius dari berbagai kalangan. Tidak hanya pelaku usaha, tetapi juga akademisi menilai kebijakan tersebut bisa menjadi peluang besar sekaligus tantangan bagi masa depan perekonomian nasional.
Akademisi dari Program Studi Kewirausahaan Universitas BTH, Moh. Ikhsan Kurnia, MBA, menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan itu akan sangat ditentukan oleh bagaimana dana jumbo tersebut benar-benar mengalir ke sektor riil, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Rp200 triliun ini harus tepat sasaran. Jangan sampai hanya menjadi ajang rebutan usaha-usaha besar yang punya akses lebih luas ke perbankan. Yang saya khawatirkan, ada pengusaha besar yang membuat banyak perusahaan kecil semu hanya untuk menyerap dana ini. Itu akan merugikan UMKM asli yang justru membutuhkan,” ujar Ikhsan dalam wawancara hari Senin (15/9/2025).
Ikhsan menekankan, UMKM selama ini telah terbukti menjadi pilar utama dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional, terutama ketika krisis global maupun pandemi melanda. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 97 persen tenaga kerja terserap di sektor UMKM. Namun, peran besar itu sering tidak diimbangi dengan akses modal yang memadai.
“Di lapangan, UMKM masih menghadapi kendala klasik: sulitnya akses permodalan, persyaratan kolateral yang berat, hingga bunga pinjaman yang tidak ramah. Nah, Rp200 triliun ini semestinya jadi jalan keluar. Jangan sampai justru menambah jurang ketimpangan,” tegasnya.
Menurut Ikhsan, bila dana ini benar-benar tersalurkan secara inklusif, dampaknya bisa luar biasa. UMKM akan lebih berdaya saing, mampu menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat basis ekonomi domestik. “Dana ini harus dipandang sebagai energi baru bagi UMKM, bukan sekadar angka di bank,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ikhsan menyoroti peran bank-bank Himbara sebagai penyalur dana. Menurutnya, bank tidak bisa hanya berpikir dalam kerangka bisnis semata, melainkan harus menjalankan fungsi sosial dan pembangunan.
“Bank Himbara harus punya kebijakan afirmatif. Caranya bisa dengan memberi relaksasi kolateral, menurunkan suku bunga, atau menyediakan skema kredit khusus UMKM. Jangan sampai Rp200 triliun ini mengendap di bank, tidak bergerak, atau malah kembali lagi ke kantong korporasi besar,” katanya.
Ia mencontohkan, di beberapa negara maju, pemerintah dan bank menyediakan kredit berbunga rendah bahkan mendekati nol untuk pelaku usaha kecil, karena mereka dianggap sebagai penggerak ekonomi rakyat. “Indonesia perlu meniru langkah itu. Kebijakan afirmatif bukan berarti rugi, justru bisa menghasilkan multiplier effect yang jauh lebih besar,” jelas Ikhsan.
Ikhsan juga mengingatkan potensi risiko bila kebijakan ini tidak dikelola dengan hati-hati. Salah satunya adalah praktik “pencucian” UMKM oleh pengusaha besar yang secara sengaja membuat perusahaan kecil untuk memanfaatkan fasilitas kredit.
“Beberapa kasus di lapangan terjadi, dimana ada pengusaha-pengusaha besar yang membuat anak usaha, bahkan mendirikan banyak CV atau PT skala kecil, lalu menyerap dana yang seharusnya untuk UMKM. Akhirnya, UMKM sejati tidak kebagian, dan program pun gagal mencapai tujuan,” tuturnya.
Ia menilai, perlu mekanisme pengawasan yang ketat dari pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Bank Himbara sendiri. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi kunci agar kebijakan ini tidak dimanfaatkan segelintir pihak.
Dalam wawancara tersebut, Ikhsan juga mendorong adanya sinergi antara pemerintah, perbankan, dan lembaga pendukung UMKM. Misalnya, pendampingan usaha, literasi keuangan, hingga digitalisasi UMKM agar mereka lebih siap menerima dan mengelola akses kredit.
“Kalau hanya memberi uang tanpa pendampingan, risiko kredit macet bisa tinggi. Tapi kalau UMKM dibekali pelatihan, strategi bisnis, hingga literasi digital, maka mereka bisa lebih tahan banting dan dana Rp200 triliun itu benar-benar produktif,” kata Ikhsan.
Ia menambahkan, sudah saatnya pemerintah menempatkan UMKM sebagai aktor utama dalam transformasi ekonomi nasional, bukan sekadar pelengkap. “UMKM harus jadi prioritas, bukan pilihan kedua. Dari situlah kemandirian ekonomi bangsa bisa dibangun,” pungkasnya.