Aku datang – entah dari mana… Aku ini – entah siapa.
Aku pergi – entah ke mana. Aku akan mati – entah kapan.
Aku heran bahwa aku bergembira.
Cobalah tanyakan sajak kuno di atas kepada kiai. Mereka pasti bisa menjawabnya. Pas dan tuntas. Kitab-kitab klasik Islam mengajarkan banyak bahasan, bukan saja soal batal wudu atau tata cara salat, melainkan juga mengajarkan tentang perjalanan hidup dari hari ke hari, tentang hidup sesudah mati, tentang hidup yang selalu berpasangan : ada siang ada malam, ada senang ada susah, ada laki-laki ada perempuan, juga ada hidup dan mati.
Kitab klasik Islam merumuskan tiga hal saja, dan untuk dijawab manusia kalau ingin selamat : min aina? (Anda dari mana?), aina? (sedang di mana?) , dan ilaa aaina? (mau ke mana?) Alquran surat Al-Baqarah ayat 28 menjawab semua pertanyan itu, sehingga hidup ini jadi jelas.
Seorang pemikir Barat, Bertrand Russel menyebutkan, bahwa “Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah itu diserang baik oleh teologi maupun oleh ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan itu adalah filsafat.
Kini, kiai bisa menjelaskan klasifikasi ilmu berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Kiai bisa melacak ilmu ketika Nabi Adam AS akan diangkat jadi khalifah, pemimpin dan pemakmur bumi. Kata khalifah itu sendiri.untuk Nabi Adam AS tercantum dalam surat Al-Baqarah : 30.
Sangat menarik, ternyata Allah SWT memprioritaskan ilmu sebagai syarat jadi khalifah, dan itu diajarkan dulu kepada Nabi Adam AS Malaikat, makhluk yang selalu patuh dan suci, dan tercipta dari cahaya, diminta-Nya pula bersujud kepada Nabi Adam AS
Boleh jadi, ilmu-lah yang mengangkat derajat Nabi Adam AS itu, dan ini relevan dengan firman-Nya, “Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu.” (Al-Mujadilah : 11). Syarat jadi khalifah, ilmu lebih diutamakan daripada bersih diri?
Kiai generasi terdahulu berkeliling kampung, dari masjid ke masjid, dari majlis taklim ke majlis taklim, karena didorong tanggung jawab menyebarkan ilmu yang fundamental untuk umat : iman, Islam, dan ihsan. Mereka ikhlas beramal.
Mereka menyimpan keikhlasan itu hanya dalam qalbu (hati), tak terucap di bibir. Persis, seperti nama surat sebuah surat dalam Al-Qur’an, surat Al-Ikhlash. Tak akan kita temukan kata ikhlash dalam surat Al-Ikhlash itu. Ini berbeda dengan surat-surat yang lain, yang selalu saja disebut judul surat dalam isi surat Alquran. Ini sama dengan nama surat Al-Fatihah, yang di dalam surat itu tak disebut kata alfatihah.
Ada nasihat K.H. Gafar Ismail (ayah penyair Taufik Ismail), “masyhuurun fi ‘s-samaa’i, majhuulum fi ‘l-ardli” (Allah tahu, sedangkan man manusia tak tahu). Nasihat ini mengajarkan ikhlas beramal. Juga, mengajarkan rendah hati (bukan rendah diri).
Kita beramal berdasarkan ilmu, tentu saja, tak cukup, kalau ingin jadi amal saleh. Harus belandaskan ikhlas. Harus karena Allah!. Alangkah indahknya hidup seorang muslim. Tahu diri asal dari nama, tahu diri sedang di mana, dan tahu diri pula akan terus ke mana. Hidup terjaga dan terbimbing karena punya pedoman dan pegangan hidup : firman-Nya (Al-Qur’an) dan sandanya (As-Sunnah).
Seorang muslim tahu persis, bahwa ada tempat abadi dan hidup hakiki di sana: surga atau neraka. Untuk manusia pula. Maka, perlu direnungkam salah satu nasihat Ali bin Abu Thalib, “Hari ini, di dunia,. ada amal, tetapi ada hisab. Bessk, di akhirat, ada hisab, tetapi tak amal.