Oleh: Dr. Rizqullah Thohuri, MBA
Tulisan, berita dan diskusi tentang Bank Banten (BB) masih terus bergulir hingga saat ini, sementara BB sendiri sedang bergulat tanpa kenal waktu untuk mengatasi persoalan krusial yang dihadapinya. Pemprov Banten selaku pemilik saham mayoritas atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT) dari BB dihadapkan pada situasi yang “seolah-olah” kalo menambah modal akan mati Ibu dan kalo tidak menambah modal akan mati Bapak. Ibarat permainan catur, sang raja sudah terpojok dan hanya memiliki dua pilihan langkah yang bisa dimainkan dan gawatnya sang raja tidak yakin apakah kedua langkah pilihan tersebut akan dapat menyelamatkannya. Sementara itu, jarum jam terus bergerak dan hanya menyisakan waktu yang tinggal sedikit saja untuk kemudian menentukan apakah permainan catur akan berakhir atau diperpanjang. Sayangnya lagi, bilamana ternyata permainan catur berakhir, maka sang raja tidak akan mungkin dapat bermain lagi dalam jangka panjang karena terkena diskualifikasi yang berat.
BACA JUGA: https://majalahteras.com/quo-vadis-bank-banten
Tulisan dengan judul diatas merespon berbagai pendapat yang berkembang dan memberikan pencerahan kepada segenap stake-holders BB dengan memperhatikan dinamika yang terjadi di BB, PSPT dan bank BJB sendiri serta prospek bisnis dalam masa covid-19. Tulisan ini juga merupakan kelanjutan dari tulisan-tulisan saya sebelumnya di berbagai media dengan judul “Quo Vadis Bank Banten”, “Apa kabar Bank Banten?”, dan “Antara Gugatan, Interpelasi, dan Penyelamatan Bank Banten”. Berbagai pendapat dan tulisan yang ada tentang Bank Banten mencampur-adukkan masalah Bank Banten sejak awal akuisisi Bank Pundi dengan masalah penyelamatan dan masalah-masalah lainnya sehingga pendapat dan rekomendasi yang disampaikan juga menjadi rancu karena tidak jelas mana yang merupakan prioritas dan mana yang tidak prioritas, mana yang penting dan mana yang tidak penting dalam kontek penyelamatan BB. Bahkan, beberapa pendapat tidak didukung oleh pertimbangan yang jelas dan rasional, serta disampaikan dengan keraguan. Ketidak jelasan tentang skala prioritas ini dapat berakibat pada kegagalan dalam mengatasi permasalahan yang ada. Tulisan ini akan mengurai permasalahan tersebut dan memberikan pandangan mana yang harus menjadi prioritas dan mana yang tidak prioritas untuk diselesaikan, selanjutnya menjawab pertanyaan apakah BB harus diselamatkan dan bagaimana caranya.
Bank Bermasalah
Pembelian Bank Pundi yang kemudian menjadi BB pada pertengahan tahun 2016 oleh Pemprov Banten melalui PT Banten Global Development (BGD) sudah bermasalah, tetapi apa saja masalah tersebut dan bagaimana penyelesaiannya tidak banyak diketahui publik padahal pembelian Bank Pundi tersebut menggunakan dana APBD yang nota bene adalah uang publik/rakyat. Publik hanya tahu bahwa akibat masalah tersebut terdapat oknum BGD dijebloskan ke penjara. Dengan berjalannya waktu, publik sudah melupakan atau setidaknya membiarkan masalah tersebut berlalu tetapi kemudian tersentak dan teringat lagi setelah muncul gonjang ganjing BB pada bulan April yang lalu, terutama sejak dana RKUD dipindahkan dari BB ke Bank BJB oleh Pemprov yang menimbulkan polemik di kalangan anggota DPRD Provinsi dan di masyarakat umum tentang sah tidaknya pemindahan dana tersebut dan tentang dampaknya terhadap operasional BB yang sebenarnya sedang mengalami kesulitan likuiditas. Penarikan dana RKUD tersebut oleh seorang tokoh masyarakat dianalogikan secara tepat seperti menendang bola di gawang sendiri. Pemprov kemudian harus menjelaskan kepada publik bahwa pemindahan dana RKUD tersebut sah karena sudah sesuai kewenangannya tanpa persetujuan DPRD dan dilakukan dengan dalih menyelamatkan “uang rakyat”. Pertanyaan kemudian timbul, uang rakyat yang mana?. Bukankah BB itu juga menggunakan uang rakyat untuk modalnya dan menggunakan dana masyarakat untuk memberikan kredit?. Persoalan kemudian berkembang dimana masyarakat teringat kembali dengan masalah pembelian BP yang dianggap belum jelas dan belum tuntas penyelesaiannya sehingga kemudian timbul gugatan dari sebagian masyarakat kepada Gubernur dan para pihak terkait. Bersamaan dengan itu, sebagian anggota DPRD Provinsi juga merencanakan interpelasi terhadap Gubernur atas hiruk pikuk yang terjadi dengan BB. Pemindahan dana RKUD dari BB tersebut telah memicu masalah likuiditas BB bertambah berat sehingga timbul “rush” di masyarakat yang antri hendak mengambil uangnya di BB dan kemudian timbul polemik tentang sah tidaknya pemindahan dana RKUD tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap BB.
Diskusi tentang BB terus berkembang secara liar karena banyak pihak yang memberikan pendapatnya tanpa memahami inti persoalan sesungguhnya dan tidak memahami bagaimana bisnis bank, perannya dan kompleksitasnya. Pendapat seperti ini bisa menyesatkan publik yang bisa saja terpengaruh dan kemudian melakukan langkah-langkah yang justru semakin memperkeruh suasana dan semakin menyulitkan BB dan PSPT dalam upaya mengatasi masalah yang ada. Bahkan terdapat pendapat yang cenderung skeptis (putus asa) dalam menyikapi persoalan BB dengan mengusulkan agar BB dibubarkan saja. Adalah benar bahwa BB bermasalah sejak awal dan sekarang kondisinya semakin berat, tetapi bukan berarti BB tidak bisa diperbaiki dan kemudian menjadi benar-benar sehat bahkan berkembang dengan baik. Pendapat yang mengatakan bahwa menyuntikkan dana ke BB ibarat membuang garam kelaut juga tidak benar karena BB masih bisa diselamatkan dengan garam yang menjadi penyedap rasa sehingga menimbulkan selera makan yang tinggi. Ada juga pihak yang mempersoalkan kepemilikan saham PSPT yang hanya 51% dan meminta agar pemegang saham yang 49% sisanya ikut bersama-sama bertanggung jawab. Pendapat ini juga keliru karena sebagai perseroan terbuka, BB dan PSPT bukan hanya bertanggung jawab atas setiap kebutuhan permodalan tetapi dapat memanfaatkan pasar modal untuk memenuhi permodalan tersebut sekaligus mendapatkan capital gain untuk keuntungan BB. PSPT dapat memanfaatkan pasar modal untuk meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi lebih dari 51% melalui penetapan harga saham yang tepat. Dengan kepemilikan 1 (satu) lembar saham seri A, PSPT memiliki kewenangan untuk menunjuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris BB yang diharapkan dapat menjalankan operasional BB sesuai dengan visi dan misi PSPT.
Peran BB sebaga Bank Daerah.
Oleh karena PSPT BB adalah sekaligus juga Gubernur secara ex officio, maka visi dan misi tersebut tentunya adalah visi dan misi Gubernur sebagai Kepala Daerah. Disinilah letak pentingnya BB bagi Gubernur didalam upaya mewujudkan sasaran-sasaran pembangunan di daerah Banten dengan tetap menjaga agar bank tersebut dikelola secara profesional. Misalnya, bilamana salah satu sasaran pembangunan daerah Banten adalah meningkatkan agrobisnis dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk mengurangi pengangguran atau meningkatkan usaha koperasi-koperasi pesantren (Kopontren) agar Pesantren menjadi mandiri, tidak lagi membutuhkan bantuan dana Pemerintah daerah, maka Gubernur dapat meminta BB untuk memasukkan program tersebut kedalam rencana bisnisnya. Tentu saja secara teknis, pemberian pembiayaan kepada usaha-usaha tersebut harus berdasarkan studi kelayakan dan dengan memperhatikan berbagai peraturan yang berlaku. Poin yang ingin disampaikan disini adalah bahwa BB sebagai bank daerah bukan hanya menampung dana RKUD dan dana-dana daerah lainnya, tetapi juga mengelola dana-dana tersebut untuk mendukung pembangunan daerah Banten dan pada gillirannya menjadi alternatif sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain mengelola dana milik Pemerintah Daerah (Pemda), BB juga tentunya mengelola dana masyarakat dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Bahkan jumlah dana masyarakat yang dikelola oleh BB jauh lebih besar dari dana-dana Pemda. Sering dikatakan bahwa bisnis bank adalah bisnis kepercayaan karena memang tanpa kepercayaan masyarakat maka sebuah bank tidak akan mampu menjalankan bisnisnya. Bisnis utama bank adalah memberikan kredit yang kemudian memberikan pendapatan bunga baginya. Sebagian besar dana yang digunakan oleh bank untuk memberikan kredit tersebut berasal dari masyarakat. Bila saat ini, misalnya, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR) BB adalah 10%, ini artinya bahwa setiap rupiah kredit yang diberikan oleh BB didanai oleh modalnya sendiri hanya sebesar 10%, sedangkan 90% sisanya didanai oleh masyarakat. Betapa besarnya peran masyarakat terhadap bisnis bank, sehingga mengapa bank harus selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat tersebut. Sedikit saja kepercayaan masyarakat terganggu yang diikuti dengan penarikan dananya secara massal, likuiditas bank akan sangat terganggu dan akan menghadapi kesulitan untuk membayar kewajibannya yang bersifat jangka pendek kepada pihak lain. Bank sebesar apapun akan mengalami kesulitan likuiditas bilamana nasabahnya ramai-ramai menarik dananya karena terjadi mis-match antara kewajiban yang harus dibayar dalam jangka pendek dengan ketersediaan dananya yang berkurang karena penarikan dana tersebut. Dengan demikian, peran BB sebagai bank daerah adalah membantu pergerakan roda perekonomian dan keuangan di daerah Banten dengan mengelola dana-dana milik Pemda dan masyarakat untuk menciptakan nilai tambah bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Banten.
Haruskah Bank Banten diselamatkan?.
Pertanyaan diatas perlu diajukan dan dibahas karena beberapa pihak skeptis melihat kondisi BB saat ini, bahkan Gubernur sendiri sudah lama ragu untuk menambah modal BB karena begitu beratnya masalah yang ada, belum lagi ada kekhawatiran jika nasibnya bakal tersangkut masalah hukum seperti pejabat sebelumnya. Sayangnya lagi, selama ini tidak ada orang yang dapat memberi masukan yang tepat kepada Gubernur, kecuali mengandalkan pendapat bawahannya yang tentunya kurang memahami dengan baik seluk beluk bisnis perbankan yang sangat komplek. Pemindahan atau penarikan dana RKUD dari BB dalam jumlah besar secara sekaligus dan tiba-tiba adalah contoh bahwa pejabat Pemda kurang memahami dampak penarikan dana tersebut bagi BB.
Penyelamatan BB bukan semata soal sikap emosional bahwa Banten harus punya bank sebagaimana daerah-daerah lainnya, tetapi lebih dari itu adalah soal mana lebih besar manfaat (keuntungan) atau mudhorot (kerugian) nya. Apalagi jika dilihat bahwa penyebab BB bermasalah berat sekarang ini lebih disebabkan oleh faktor bawaan ex Bank Pundi sebelumnya dan tidak adanya dukungan berupa pemenuhan sisa komitmen modal oleh PSPT selama 3 (tiga) tahun terakhir ini. Sementara itu, kinerja BB pada awalnya masih bagus dan potensi bisnisnya juga masih cukup besar.
Berdasarkan kajian secara internal maupun eksternal BB, dapat disampaikan bahwa BB harus diselamatkan dengan melihat pada kondisi dan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
- BB mampu menurunkan kerugian secara signifikan dari –Rp405 miliar pada tahun 2016 menjadi hanya –Rp76 miliar pada tahun 2017. Pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin atau NIM) naik dari 1,95% pada tahun 2016 menjadi 3% pada tahun 2017. Inefisiensi operasional BB dapat ditekan dari 195% pada tahun 2016 menjadi 117% pada tahun 2017. Dari 3 (tiga) indikator ini saja dapat disimpulkan bahwa BB mencatat kinerja yang positif. Secara umum, BB telah mampu memperbaiki kondisi bisnisnya, yang antara lain ditandai dengan: a) Aset, kredit dan Dana Pihak Ketiga yang terus meningkat sejak 2017; b) Inefisiensi biaya operasional yang membaik; c) jumlah kerugian yang turun secara signifikan.
- Kondisi BB yang memburuk kembali sejak tahun 2018 hingga sekarang terutama disebabkan oleh tidak pernah dipenuhinya sisa 1/3 (sepertiga) komitmen permodalan sekitar Rp300 milyar oleh PSPT via BGD sebagaimana direncanakan pada awal pembelian Bank Pundi menjadi BB. Ketentuan tentang permodalan bank diatur secara ketat dan eksplisit oleh OJK sebagai lembaga pengatur, pengawas dan pembina lembaga keuangan untuk memastikan bahwa bank dapat menjalankan dan mengembangkan bisnisnya secarfa normal. Kekurangan pemenuhan komitmen modal atau kekurangan permodalan bank merupakan tanggung jawab bank tersebut dan pemiliknya untuk memenuhinya. Jika saja sisa komitmen modal tersebut diselesaikan sejak awal, maka kondisi BB tidak akan separah sekarang ini karena dengan permodalan yang memadai, BB akan dapat leluasa mengembangkan bisnisnya, mengatur likuiditasnya dan mengendalikan biaya operasionalnya.
- Tidak dipenuhinya komitmen modal oleh PSPT kemungkinan karena: a) adanya kekhawatiran tersangkut masalah hukum atas perkara sebelumnya yang mengakibatkan pejabat BGD masuk bui; b) kurangnya kompetensi pejabat dan komunikasi internal Pemprov dan dengan BGD; c) ketidak-mampuan Direksi dan Dewan Komisaris BB serta BGD dalam meyakinkan PSPT bahwa sisa komitmen modal tersebut selain merupakan kewajiban yang harus segera dipenuhi tetapi juga dapat mempengaruhi operasional bisnis BB sebagaimana terbukti saat ini; d) kurang efektifnya komunikasi antara OJK selaku regulator dengan PSPT BB mengingat masalah permodalan BB dan masalah lainnya, seperti: kredit macet dan kekurangan Cadangan Kecukupan Penurunan Nilai (CKPN) dalam jumlah besar, sudah terjadi jauh sejak masih bernama Bank Pundi yang tentunya diketahui oleh OJK; e) lemahnya pengawasan dan tindakan DPRD terhadap Pemprov mengingat anggaran sisa komitmen modal tersebut sebenarnya sudah beberapa kali mendapat persetujuan DPRD Provinsi.
- Direksi Bank Banten dalam pemaparannya pada FGD PUB Sesi II merasa optimis bahwa Bank Banten dapat diselamatkan dan dikembangkan. Dengan potensi bisnis berupa target take-over bisnis yang selama ini ada di Bank BJB sebesar 30% berasal dari Banten dan bisnis ke ASN yang baru diperoleh hanya 10% dari 77.000 orang ASN, dan dengan penambahan modal dari PSPT, Direksi memproyeksikan bahwa pada tahun 2021, Bank Banten akan mulai memperoleh laba dan semakin besar pada tahun-tahun berikutnya. (Dengan adanya pandemic covid-19, perolehan laba tersebut nampaknya baru akan dicapai pada tahun 2022).
- Potensi bisnis BB di Banten sangat besar, yang antara lain ditandai dengan: a) dana APBD Pemerintah Provinsi, Kabupaten & kota se Banten yang dapat mencapai Rp50 triliun belum dikelola BB secara optimal, sementara total Aset BB per akhir tahun 2019 hanya Rp8 triliun; b) perkiraan jumlah penerimaan pajak dan bagi hasil Pemprov dalam setahun mencapai Rp12 triliun; c) jumlah ASN Banten mencapai 70.000 orang dan baru sekitar 10%nya yang berhasil dikelola BB. Jika 30% saja atau 21.000 ASN diberikan kredit perumahan dan/atau kendaraan sebesar Rp100 juta per ASN, maka akan ada potensi kenaikan kredit BB sebesar Rp2,1 triliun; d) terdapat sekitar 4.000 UMKM di Banten dan baru sekitar 12%nya yang menjadi nasabah BB; e) terdapat ratusan perusahaan menengah – besar dari mulai Tangerang Selatan sampai Cilegon dan ribuan hektar lahan pertanian & perkebunan dari mulai Serang sampai Lebak yang juga merupakan potensi penghimpunan dana dan penyaluran kredit; f) terdapat ribuan koperasi pondok pesatren (Kopontren) plus BPR (Syariah) yang dapat menjadi nasabah dan mitra bisnis bagi BB; g) Banten memiliki banyak obyek wisata beserta sarana pendukungnya seperti hotel dan restaurant; h) sekitar 30% bisnis Bank BJB berasal dari daerah Banten. Jika bisnis Bank BJB dilihat dari penghimpunan dana dan penyaluran kredit, yang posisinya per akhir Maret 2020 mencapai lebih dari Rp80 triliun, artinya bahwa terdapat potensi bisnis sebesar lebih dari Rp24 triliun yang dapat diambil alih oleh BB, baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran kredit.
- Jika BB tidak diselamatkan dan kemudian dilikuidasi, biaya likuidasi yang menjadi tanggunan PSPT bisa jauh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk menambah modal. Disamping itu, Pemrov Banten tidak akan mungkin dapat memiliki bank lagi dalam jangka panjang (+/- 20 tahun) karena dinilai tidak lagi fit & proper (cakap dan kompeten) untuk memiliki bank oleh OJK padahal keberadaan bank daerah memiliki peran strategis sebagaimana dijelaskan diatas. Ini artinya, Pemprov akan kehilangan peluang menggerakkan roda perekonomian daerah Banten melalui peran besar dan strategis yang dapat dilakukan oleh bank daerah yang berada dalam kendalinya sebagai PSPT. Likuidasi BB akan tercatat dalam sejarah kelam dan Pemprov termasuk Gubernur tentunya akan memperoleh penilaian yang kurang baik di masyarakat karena alih-alih membesarkan BB tetapi malah sebaliknya mematikannya, sekaligus mematikan harapan besar masyarakat Banten untuk memiliki sebuah bank.
- Tidak ada yang bisa menjamin bahwa jika BB diselamatkan dengan injeksi modal kemudian persoalan permodalan selesai. Bisnis bank adalah bisnis yang padat modal. Kebutuhan permodalan bagi bank bukan saja karena banknya merugi, tetapi bisa juga karena memang diperlukan untuk melakukan pengembangan bisnisnya, misalnya: pengembangan Teknologi Informasi, pembukaan kantor-kantor cabang baru, pengembangan produk dan jasa dan sebagainya. Artinya, PSPT harus selalu siap untuk menambah modal yang dibutuhkan oleh banknya. Dengan status BB sebagai perseroan terbuka artinya sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia, maka kebutuhan modal tersebut sebenarnya dapat dipenuhi melalui penerbitan saham baru yang kemudian dijual di pasar modal. Oleh karena BB adalah bank milik pemerintah (daerah), maka saham tersebut akan memiliki daya tarik tersendiri bagi investor daripada saham bank-bank swasta, tentunya selain faktor kinerja dan prospek BB itu sendiri.
Upaya Penyelamatan Bank Banten.
Rencana Gubernur menggabungkan BB kedalam Bank BJB sebagaimana tertuang dalam Letter of Intent (LOI) yang ditanda tangani oleh Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 23 April 2020 sudah berjalan hampir 2 (dua) bulan. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada tanggal 14 Juni 2020 menyampaikan bahwa rencana penggabungan tersebut baru memasuki tahap uji tuntas atau due diligence, yang diperkirakan akan memakan waktu 6 (enam) bulan. Selama proses uji tuntas tersebut, BB harus tetap beroperasi tetapi jika tidak kunjung mendapat injeksi modal dari PSPT, kondisi BB tidak akan mampu bertahan lebih lama dari beberapa bulan saja, apatah lagi menunggu selama 6 (enam) bulan.
Penggabungan BB dengan Bank BJB pada dasarnya bukan merupakan langkah penyelamatan karena BBnya sebagai bank daerah akan hilang sebagaimana yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya berjudul “Qou Vadis Bank Banten”. Penjelasan Gubernur Jawa Barat tersebut juga tidak sesuai dengan perkembangan yang ada sebelumnya dimana selain LOI diatas, ternyata kemudian terdapat Memorandum of Understanding (MoU) antara BGD dengan Bank BJB tentang penggabungan (merger) BB dengan Bank BJB Syariah (BJBS), yang merupakan perusahaan anak dari Bank BJB. Hal ini perlu diklarifikasi mana yang benar, yaitu apakah rencana penggabungan BB dengan Bank BJB atau dengan Bank BJBS. Perlu juga ditanyakan apakah pernyataan Gubernur Jawa Barat tersebut merupakan pernyataan politis atau memang menunjukkan keseriusannya untuk menindaklanjuti LOI tersebut. Oleh karena penggabungan suatu perusahaan dengan perusahaan lain merupakan aksi korporasi, maka yang seharusnya menjelaskan tentang perkembangan dari rencana penggabungan tersebut adalah Bank BJB, bukan Gubernur, apalagi jika ternyata penjelasannya tidak sinkron dengan perkembangan yang ada yaitu dengan munculnya MoU tersebut.
Rencana penggabungan BB dengan Bank BJBS justru lebih sulit untuk dilaksanakan karena keduanya memiliki sistem perbankan yang berbeda. BB adalah Bank dengan sistem konvensional dan Bank BJBS adalah bank dengan sistem syariah. BB adalah bank dengan status terbuka yaitu sahamnya tercatat dan diperdagangkan di pasar modal, sedangkan Bank BJBS adalah perusahaan tertutup. Ulasan selanjutnya tentang BB dan Bank BJBS ini dapat disimak tulisan sebelumnya dengan judul “Apa Kabar Bank Banten?”. Pada intinya rencana penggabungan BB dengan Bank BJBS juga dinilai tidak layak dilaksanakan karena kompleksitas masalah yang ada dan proses penggabungan yang membutuhkan waktu lebih lama. Dalam tulisan tersebut, juga dijelaskan bahwa satu-satunya upaya penyelamatan adalah dengan memenuhi sisa komitmen modal oleh PSPT sebagaimana yang sudah seharusnya dilaksanakan 3 (tiga) tahun yang lalu.
Perkembangan terakhir yang mengindikasikan bahwa PSPT akan menginjeksi modal BB secara langsung atau melalui penerbitan saham baru (Harian Banten Raya, Kamis, 18 Juni 2020) merupakan langkah tepat, sekalipun terlambat tetapi masih lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali. Langkah tersebut sejalan yang pernah disampaikan melalui tulisan-tulisan diatas dan pada FGD yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Urang Banten (PUB) bulan yang lalu, bahkan pada FGD yang diselenggarakan oleh ICMI bekerjasama dengan harian Kabar Banten bulan Oktober tahun yang lalu. LOI dan MoU yang ada secara formal harus dinyatakan batal oleh Pemprov dan BGD untuk memberikan kejelasan status hukumnya. Para pihak yang selama ini mempersoalkan atau mendukung kebijakan Pemrov tentang permodalan BB dan pemindahan RKUD dari BB atau masalah lainnya seyogyanya mengakhiri polemiknya untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi upaya penyelamatan BB. Gugatan dan interpelasi terhadap Pemprov nampaknya sudah tidak memiliki relevansinya lagi saat ini dan oleh karenanya tidak perlu dilanjutkan lagi. Yang dibutuhkan saat ini adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap BB sambil mengawal proses penyelamatan BB melalui injeksi modal tersebut.
Wallahu a’lam bissawab.
*) – Wakil Ketua Umum PUB Banten
– Wakil Ketua Umum ICMI Banten.
– Mantan Dirut & Komisaris Independen BNI Syariah.