Quo Vadis Bank Banten

oleh
oleh -

Oleh: Dr. Rizqullah Thohuri, MBA

Masyarakat Banten belakangan ini dikejutkan dengan adanya pemberitaan di media tentang penarikan dana Kas Daerah Pemprov Banten di Bank Banten dan dipindahkan ke Bank BJB Jawa Barat berdasarkan SK Gubernur BANTEN NO. 580/Kep.144-Huk/2020 tgl 21 April 2020, dengan alasan untuk mengamankan pelaksanaan social safety net dan adanya gagal bayar dimana Bank Banten tidak dapat melaksanakan permintaan Pemprov Banten untuk menyalurkan dana bagi
hasil pajak ke kabupaten kota se Provinsi Banten dengan total nilai mencapai hampir Rp.900 miliar (https://cnbcindonesia.com, tanggal 24 April 2020, pkl 14:52 dan berbagai media lain).

Surat Keputusan Gubernur tersebut pada akhirnya telah menimbulkan kepanikan di
masyarakat, terutama nasabah Bank Banten, yang kemudian berramai-ramai melakukan penarikan dana via ATM yang ternyata tidak ada dananya. Himbauan Gubernur agar masyarakat tidak panik tentu saja tidak memiliki makna karena dengan dialihkannya dana kas daerah dari Bank Banten ke bank BJB adalah merupakan bentuk kepanikan Gubernur terhadap bank miliknya sendiri. Jadi bagaimana mungkin Gubernur meminta masyarakat untuk tidak panik sementara dirinya sendiri sudah panik lebih dahulu?. Dalam hal ini, Gubernur berada dalam posisi dilematis karena disatu sisi, beliau harus mengamankan dana masyarakat via social safety net yang sekarang ini sangat dibutuhkan sehubungan dengan adanya musibah covid-19, tetapi disisi lain, beliau juga adalah Gubernur Pemprov Banten yang memiliki Bank Banten yang selama ini berupaya untuk menyelamatkan Bank Banten dari kerugian yang terus menerus dan menggerogoti dana APBD Banten untuk menambah modal bank tersebut. Sejak memiliki Bank Banten pada tahun 2017, Pemprov Banten telah menggunakan dana APBD untuk penambahan modal bank tersebut mencapai Rp615 miliar. Keputusan Gubernur untuk mengalihkan
pengelolaan uang kas Daerah dari Bank Banten ke Bank BJB secara langsung bermakna penarikan kepercayaan & dukungan terhadap Bank Banten dan secara bersamaan pemberian kepercayaan & dukungan kepada bank BJB yang sejalan dengan adanya rencana penggabungan
Bank Banten kedalam Bank BJB sesuai Letter of Intent (LOI) yang ditanda tangani oleh Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat tertanggal 23 April 2020, sebagaimana tersebut pada butir 1
surat Bank Banten No.395/DIR-BB/IV/20, tgl 23 April 2020 yang ditujukan kepada PT Bursa Efek Jakarta dalam rangka pemenuhan keterbukaan informasi. Jadi, SK Gubernur diatas pada dasarnya adalah dalam rangka penyelamatan Bank Banten dengan cara mengabungkan Bank
Banten ke dalam Bank BJB dengan harapan tanpa keharusan menambah modal yang dapat mengganggu dana APBD Pemprov Banten. Apakah rencana penggabungan tersebut menguntungkan masyarakat Banten dan dapat berjalan baik tentunya membutuhkan analisis
lebih mendalam karena hal tersebut tergantung bagaimana hasil due diligence yang akan dilakukan oleh Bank BJB terhadap bank Banten. Yang jelas, nama Bank Banten akan hilang dan harapan masyarakat Banten untuk memiliki bank daerahnya sendiri akan ikut punah.
Pertanyaannya adalah mengapa hal ini sampai terjadi?. Analisis dibawah ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut secara objektif dengan maksud agar kita semua dapat memahami dengan baik dan komprehensif tentang permasalahan Bank Banten.

Bermasalah sejak awal:

Baca Juga  Antara Gugatan, Interpelasi dan Penyelamatan Bank Banten

Bank Banten pada awalnya bernama Bank Eksekutif yang berdiri pada tahun 1993 dengan fokus bisnis pada sektor korporasi atau usaha berskala besar tetapi dalam perjalanannya tidak berjalan baik dan mengalami penurunan kecukupan modal yang dipersyaratkan oleh otoritas.
Bank Eksekutif adalah bank sakit yang tidak pernah sembuh sampai akhirnya pada pertengahan tahun 2010 dijual kepada Perusahaan Investasi bernama PT. Recapital Securities, yang salah satu pemegang sahamnya waktu itu adalah mantan calon wakil Presiden. Oleh Recapital, nama Bank Eksekutif diganti dengan Bank Pundi dengan merubah model bisnisnya ke sektor UMKM
dan memperbanyak jumlah kantor cabang ke berbagai daerah provinsi sampai ke Denpasar dan Manado. Setelah 6 (enam) tahun berjalan, bank Pundi tidak juga menunjukkan perkembangan
bisnis yang baik. Pada tahun 2014, bank Pundi memiliki aset sebesar Rp9,0 triliun dengan kerugian sebesar -Rp120 miliar dan pada tahun 2015, asetnya turun 34% menjadi Rp5,9 triliun dengan kerugian naik tajam sebesar 175% menjadi -Rp331 miliar. Pada pertengahan tahun 2016, bank Pundi akhirnya dijual ke Pemprov Banten dan berubah nama menjadi Bank Banten.
Yang menarik adalah pada awal menjadi bank Banten, sahamya sempat diperdagangkan pada harga tertinggi Rp135 per lembar, tetapi selama tahun 2017 harga saham bank Banten menurun terus dan stagnan di harga Rp50 per lembar hingga saat ini. Artinya, kinerja bank Banten dinilai tidak bagus dan sahamnya tidak diminati oleh investor di pasar modal. Disamping itu, yang patut disayangkan adalah bahwa pembelian bank Pundi menjadi bank Banten tidak
melibatkan Pemerintah Kabupaten kota padahal bisnis bank itu adanya di daerah kabupaten kota, bukan di tingkat provinsi sehingga menyulitkan bank Banten untuk melakukan penetrasi pasar dan untuk memenuhi kebutuhan tambahan modalnya sewaktu-waktu, mengingat
Pemerintah Provinsi memiliki keterbatasan pendanaan melalui ABPDnya.

Pada akhir tahun 2016 atau sekitar 6 (enam) bulan setelah Pemprov Banten memiliki bank, aset bank Banten sebesar Rp5,2 triliun atau turun 11% dari tahun 2015 dengan kerugian bersih
mencapai -Rp405 miliar atau meningkat sebesar 22% dari tahun 2015. Artinya, prosentase peningkatan kerugian bank Banten adalah 2 (dua) kali lebih besar dari prosentasi penurunan asetnya pada tahun 2016. Namun demikian, Manajemen Bank Banten terutama sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 sebenarnya telah berupaya untuk memperbaiki kinerjanya dan telah berhasil menurunkan angka kerugian secara signifikan, dimana kerugian bank Banten selama 3 tahun tersebut totalnya Rp313 miliar, jauh lebih kecil dari dari total kerugian selama 2
tahun sebelumnya (tahun 2015 dan 2016) yang mencapai Rp736 miliar atau penurunan kerugian (kinerja positif) sebesar 57% dengan keterbatasan permodalan yang dimilikinya. Dalam dunia perbankan, permodalan diatur secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan setiap bank harus memiliki modal minimum yang ditetapkan oleh lembaga tersebut. Adalah tanggung jawab pengurus dan pemilik bank untuk selalu memenuhi ketentuan permodalannya.

Secara bisnis, bank Banten sebenarnya memiliki prospek dan potensi bisnis yang sangat besar karena wilayah kerja Banten terutama dari Tangerang, Serang sampai ke Cilegon merupakan kantong-kantong bisnis dengan ratusan perusahaan (perusahaan dalam dan luar negeri)
beroperasi, ribuan karyawan yang bekerja, jutaan warga masyarakat yang berdomisili, termasuk proyek-proyek Pemda dan jutaan ASN, yang semuanya membutuhkan layanan perbankan. Oleh karenanya, kinerja bank Banten yang positif diatas, dalam arti sudah mampu menurunkan angka kerugian secara siginifikan, masih dapat ditingkatkan lagi dengan re-orientasi model bisnis, fokus pada pemanfaatan potensi ekonomi dan bisnis daerah Banten dan tentunya
pemenuhan kebutuhan permodalan. Re-orientasi model dan fokus bisnis perlu dilakukan terutama karena hingga saat ini Bank Banten masih mempertahankan kantor-kantor cabang yang berada diluar wilayah Banten seperti di Semarang, Solo, Denpasar, Karawang, Manado dan lainnya sementara potensi bisnis di wilayah Banten sendiri belum dimanfaatkan secara
optimal. Kantor-kantor cabang tersebut perlu dievaluasi dan dapat direlokasi ke wilayah Banten yang masih sangat luas.

Baca Juga  Warga Bantu Warga

Too Little Too Late:

Pemprov Banten seyogyanya melihat permasalahan bank Banten secara objektif dan mengesampingkan faktor diluar pertimbangan bisnis dalam upaya mencari solusinya. Masalah bisnis tentu harus diselesaikan secara bisnis. Harus diakui bahwa bank Pundi sebelum dibeli dan
menjadi bank Banten adalah bank yang sakit parah tetapi manajemen bank Banten dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah mampu mengurangi tingkat sakitnya (dengan keberhasilan menurunkan angka kerugian secara signifikan), dan dengan memperhatikan prospek & potensi
bisnis kedepan masih ada harapan besar bagi bank Banten untuk sembuh total. Tentu saja, harapan besar tersebut hanya mungkin terwujud bila bank Banten mendapatkan dukungan penuh dari pemiliknya, bukan malah menghentikan pengelolaan dana kas daerah. Penarikan
dana kas daerah dari bank Banten sama artinya dengan penarikan selang infus terhadap pasien yang sedang sakit.

Penggabungan bank Banten ke dalam Bank BJB bukanlah merupakan solusi bisnis yang tepat dan dinilai sebagai langkah yang “too little too late”. Penggabungan tersebut akan otomatis menghilangkan harapan besar masyarakat Banten untuk memiliki sebuah bank karena nama
bank Banten akan hilang. Penggabungan tersebut juga sangat tergantung kepada hasil due diligence bank BJB terhadap bank Banten sehingga hasilnya belum pasti sementara bisnis bank Banten dipastikan akan menurun tajam karena telah kehilangan kepercayaan dari pemiliknya
(Pemprov Banten) yang telah lebih dahulu mengalihkan pengelolaan dana kas daerahnya ke bank BJB, yang tentunya akan diikuti dengan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Yang
perlu digaris bawahi disini adalah bahwa pengalihan pengelolaan dana kas tersebut bukan semata-mata pengalihan uang kas sehingga dukungan pendanaan bagi bank Banten menurun signifikan tetapi yang lebih penting adalah bahwa pengalihan pengelolaan uang kas pemda tersebut dapat dinilai sebagai bentuk ketidak percayaan Pemprov kepada Bank Banten.
Bagaimana mungkin bank Banten yang nota bene adalah bank daerah dengan nama legal “PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk” tidak diberi kepercayaan untuk mengelola dana kas
daerah oleh pemiliknya sendiri dan untuk kemajuan bank Banten dan masyarakat Banten?.

Rencana penggabungan bank Banten ke dalam Bank BJB juga tidak memiliki momentum yang tepat saat ini karena kondisi ekonomi dan bisnis yang sedang terpuruk dengan adanya wabah Covid-19. Semua sektor usaha apapun termasuk perbankan akan mengalami penurunan bisnis dalam 1 – 2 tahun kedepan sehingga peluang berhasilnya rencana penggabungan tersebut menjadi relatif kecil. Sekalipun berhasil, bisa dipastikan bank BJB akan menerima bank Banten dengan nilai yang sangat kecil dan mungkin tidak berarti karena bank Banten. Dengan kondisi bank Banten dan lingkungan bisnis yang kurang baik, Pemprov Banten akan memiliki daya
tawar (Bargaining Position) yang lemah. Kesediaan memindahkan dana kas daerah ke bank BJB sebelum dilakukan due diligence dapat dianggap bahwa Pemprov Banten telah lempar handuk dalam mengatasi masalah permodalan bank Banten. Pemprov Banten akan dapat kehilangan dana modal bank Banten yang bersumber dari APBD yang nota bene dana masyarakat Banten dan juga akan kehilangan peluang untukmengkapitalisasi dana tersebut dengan hilangnya bank
Banten yang selama ini berada dalam kendalinya.

Baca Juga  Idris Pasaribu di Balik Kisah Nyata Sayekti & Hanafi

Alternatif Solusi:

Provinsi Banten adalah daerah yang religius, memiliki motto “Iman dan Taqwa” serta memiliki visi membangun masyarakat Banten yang berakhlakul karimah. Artinya nilai-nilai keagamaan
sangat mewarnai kehidupan masyarakat dan pengelolaan daerah disetiap tingkatan
pemerintahan daerah. Sejalan dengan visi misi dan motto tersebut dan mengingat usia Provinsi Banten sudah mencapai 20 tahun, maka sudah waktunya Banten juga memiliki sebuah bank syariah untuk memberikan jaminan kehalalan aktifitas ekonomi keuangan masyarakat dan
sekaligus ikut mewujudkan pengamalan kehidupan keagamaan khsusnya dibidang ekonomi & keuangan masyarakat Banten secara kaffah. Siapapun muslim terlebih lagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya.

Ketentuan OJK yang masih berlaku saat ini tentang persyaratan modal untuk bank syariah yang masuk dalam kategori BUKU 1 (bank syariah dengan aset maksimal Rp10 triliun) adalah Rp1 triliun . Bank Banten masih masuk dalam kategori ini karena asetnya masih dibawah Rp10
triliun. Sementara persyaratan modal untuk bank konvensional dalam kategori yang sama adalah Rp3 triliun. Dengan demikian, bank Banten dapat dikonversi menjadi Bank Banten Syariah tanpa harus menambah modal dalam jumlah yang sangat besar. Bank-bank Pembangunan Daerah yang telah lebih dahulu dikonversi menjadi bank syariah adalah Bank
Aceh Syariah, Bank NTB Syariah. Saat ini, sedang proses konversi ke bank syariah adalah Bank BPD Sumbar. Banten seharusnya lebih layak memiliki bank syariah karena selain masyarakatnya
religius tetapi juga memiliki potensi ekonomi dan bisnis yang jauh lebih baik dari ketiga daerah provinsi seperti Aceh, NTB dan Sumbar.

Konversi bank Banten menjadi Bank Banten Syariah tentunya akan mendapat dukungan lebih besar dari masyarakat daripada penggabungan Bank Banten ke dalam Bank BJB yang berarti mematikan atau menghapus Bank Banten yang selama ini menjadi harapan dan kebanggaan
masyarakat Banten.

Dengan upaya keras manajemen Bank Banten selama ini dan ditambah dengan perlunya reorientasi model bisnis dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan dalam memajukan
bank Banten (Syariah), Banten masih dapat mempertahankan kepemilikan banknya, menjaga kepercayaan dan kebanggaan masyarakatnya sebagai modal besar untuk menyongsong masa depan Banten yang lebih baik dan berakhlakul karimah.

Dengan demikian, konversi Bank Banten menjadi Bank Banten Syariah adalah solusi terbaik saat ini.