Dua Keluarga Muslim : Kunci dan Pintu Gereja Tua di Yerusalem

oleh
oleh -

Di tengah kota tua Yerusalem  Lama, Palestina, terselip sebuah gereja tua yang tak pernah benar-benar tidur. Dinding-dindingnya batu tua, mencium debu waktu, menyimpan gema doa dari abad ke abad. Nama gerejanya, Church of The Holy Sepulchre (Gereja Makam Kudus).

Gereja ini  dipercayai sebagai tempat langit dan bumi bersua dalam kisah penyaliban dan kebangkitan Isa Al-Masih. Namun,  yang tak kalah ajaib dari semua itu, bukanlah hanya kisah kudusnya, melainkan juga kisah kunci dan pintu gereja  yang maha bersejarah.

Kunci dan pintu kayu besar itu berumur ratusan tahun, tak berganti meski zaman silih berganti. Tak pernah disentuh oleh para imam, uskup, atau biarawan dari tujuh denominasi gereja di Gereja Makam Kudus itu.  Pintu dan kunci warisan bersejarah itu dijaga oleh dua keluarga muslim, turun-temurun. Kabarnya, kisah jaga pintu dan kunci tua  ini diawali pada zaman Khalifah Umar bin Al-Khattab (abad ke-7 Masehi), lalu diresmikan pada zaman Khilafah Turki Usmani (abad ke-19 Masehi).

Keluarga penjaga pintu bukan uskup, bukan rahib, bukan bagian dari perdebatan teologis yang panas di dalam tembok gereja. Namun, setiap pagi, mereka datang seperti embun di sela fajar. Tangannya mengetuk kayu, menyorong pintu berat itu dengan hormat, seolah membukakan jendela langit bagi jiwa-jiwa yang haus akan sakramen.

Baca Juga  Perkuat Iman dan Taqwa, Rutan Bangil Gelar Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1445 H

Al-Joudeh dan An-Nusaibah

Jemaat gereja itu bukan hanya satu, melainkan  tujuh denominasi gereja : Ortodoks Yunani, Katolik Roma, Ortodoks Armenia, Ortodoks Siria, Koptik Mesir, Ortodoks Etiopia, lalu  malaikat kecil dari gereja kecil  : Ortodoks Eritrea. Tujuh jiwa dalam satu tubuh batu. Kadang saling mendekap dalam damai, kadang saling membelakangi dalam diam. Namun pintu gereja selalu satu, di tangan orang  yang tak seiman, tetapi  dipercaya oleh semua denominasi gereja.

Kunci gereja selalu dirawat  oleh keluarga Al-Joudeh. Pembuka dan penutup pintunya  jadi tugas keluarga An-Nusaibah. Mereka dua keluarga muslim yang tak tercatat dalam silsilah santo, tetapi namanya terpatri di gerbang gereja sejak lama.

Mereka orang Arab Palestina. Ketika Salahuddin Al-Ayyubi merebut Yerusalem dari tangan umat Kristen, ia menitipkan kunci itu kepada mereka agar tak  satu pun denominasi gereja merasa lebih berhak dari denominasi gereja yang lain. Al-Ayyubi meletakkan dasar rukun dan damai di antara mereka.

Merawat Nadi Sejarah

Baca Juga  Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil: Dalam Waktu Dekat Aplikasi Anti Bullying Akan Diluncurkan

Hingga kini, setiap pagi, seorang lelaki muslim berdiri di depan pintu itu. Bukan dengan ayat-ayat Injil, bukan pula dengan kalung salib, melainkan  dengan kesetiaan yang mereka rawat secara turun-temurun.

Kadang, dia datang sebelum ayam jantan bernyanyi. Kadang pula, ketika fajar dan kabut masih menari di lorong-lorong batu. Dia tak pernah masuk. Dia tak mencium altar. Dia tak berlutut di depan salib. Namun, seluruh tubuhnya adalah doa untuk damai. Praktik yang sudah berlangsung sejak sekitar 800 tahun.

Anak dan keturunannya, An-Nusaibah dan Al-Joudeh, belajar merawat kunci dan pintu itu, seperti merawat nadi sejarah. Mereka tahu persis, pintu bukan hanya kayu biasa, kunci bukan pula logam biasa, melainkan harapan yang dijaga. Pintu ini bukan pintu rumah biasa, melainkan pintu toleransi, pintu kebangkitan, pintu kerukunan di tengah-tengah kota yang mudah terbakar oleh api fanatisme.

Keturunan keluarga Al-Joudeh dan An-Nusaibah, selama ratusan tahun, memegang satu kehormatan yang tak dimiliki siapa pun di muka bumi : menjaga (kunci dan pintu) gereja paling suci bagi umat Kristen. Padahal,  pemegang kunci dan pembuka serta penutup pintunya adalah muslim.

Baca Juga  Isu Lingkungan Hidup Jadi Sorotan 4 Negara Nordik

Simbol Kerukunan

Kehadiran dua keluarga muslim itu akhirnya jadi profil, jadi penjaga damai. Tempat paling suci bagi umat Kristen itu pun menjadi simbol nyata kerukunan antarumat beragama di tanah bersejarah Yerusalem Lama. Bahkan, dalam banyak kesempatan Natal atau Paskah, tugas  kedua keluarga muslim ini  masih dijalankan secara khidmat.

Setiap waktu, pintu gereja dibuka dengan satu tarikan lembut, namun penuh wibawa. Bunyi engsel pintu tua terdengar seperti nyanyian sejarah yang tak pernah padam. Tangan mereka tak pernah lelah, tetap bergerak semangat.

Di dalam, lonceng berdentang. Di luar, azan menggema. Pintu itu tetap berdiri di antara mereka, dijaga bukan oleh perjanjian politik atau traktat damai, melainkan  oleh dua keluarga muslim yang sederhana. Mereka percaya, ada hal yang lebih kudus dari sekadar menang debat : akidah terjaga kerukunan terpelihara.

Dari balik pintu gereja yang dijaga oleh tangan ikhlas itu, dunia belajar satu hal : bahwa kunci damai, kadang dipegang oleh manusia yang tak pernah merasa paling penting, paling berharga. Manusia seperti itu, mungkin akhirnya sering disepelekan, terpinggirkan, dan lolos dari kalkulasi pengamat politik. (Dean Al-Gamereau)