Catatan Lama : Senja Hari Seorang Anggota KPU

oleh
oleh
Logistik pemilu dan pilkada. Tinta untuk pemilih yang sudah menggunakan hak pilihnya d TPS. Surat suara tempat penitipan “ijtihad” penggunaan hak pilih (Foto ilustrasi : dokumentasi KPU Lebak)

Tirai hujan sore di Jalan Abdi Negara 08 Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.  Saya masih berhadapan dengan komputer di lantai atas. Sesekali, saya  turun ke lantai bawah, untuk sekadar cari angin,  atau sekedar melepas lelah kedua bola mata yang terus-menerus berdialog dengan huruf dan angka.

Di seberang jalan, ada patung Eduard Douwes Dekker, atau lebih dikenal dengan nama Multatuli.  Tentu saja, asisten residen Bupati Lebak Raden Adipati Karta Nata Negara  itu diam saja, tak mau bergerak, meski hujan deras mulai deras.

“Aku ingin dibaca!” teriak Multatuli  dalam buku yang ditulisnya,  di sebuah losmen di Jerman, setelah “minggat” dari Kabupaten Lebak.  Sama, tulisan saya dari lantai  atas   gedung KPU Kabupaten Lebak ini  pun ingin dibaca, terus dibaca, bahkan ketika saya sudah berbaring  di bawah lapisan tanah merah. KPU Kabupaten Lebak hanya ingin dibaca, dan sama sekali tak mau  dipahat dengan tinta mas, atau apalagi  di-patung-kan seperti Multatuli.

Si Mamang Pedagang Kopi

Hujan masih turun. Segelas kopi panas disodorkan si Mamang pedagang asong yang biasa keluar masuk  kantor KPU Lebak.  Si Mamang tersenyum,  padahal kemudian hanya menerima imbalan Rp4.000,00 saja.  Saya cemburu dengan senyumnya, dengan wajahnya yang ceria.

Tak punya beban beratkah  dalam hidupnya? Dari pagi sampai sore ada di rumah, untuk kemudian dari sore sampai dini hari  berjualan kopi, hanya di seputar dan di sekitar alun-alun Rangkasbitung saja, lalu pulang, dan  disambut senyum sang bidadari di muka pintu rumahnya.

Mamang, saya cemburu!  Saya dan kawan-kawan selalu bergulat dan bergelut dengan profesional dan tak profesional,  netral dan tak netral,  bahkan terhormat dan  tak terhormat seperti dalam sebuah episode   “Musibah Pelayanan KPU Lebak dalam Calon Perseorangan Bupati/Wali Bupati” tempo hari.

Si Mamang pedagang kopi dipastikan tak akan memahami semua itu, dan tak perlu  memahaminya.  Bagi si Mamang, menyodorkan segelas kopi kepada anggota yang sedang “pusing tujuh keliling”, sambil tersenyum dan membungkukkan badan, cukuplah   sebagai “puncak pengabdian” seorang  pedagang kopi malam hari di KPU Kabupaten  Lebak.

Mamang!  Untuk sementara,  kita bertukar pekerjaan  saja, ya? Saya berjualan kopi, yang tak ada hubungannya dengan profesional dan tak profesional, netral dan tak netral, bahkan benar atau salah, plus fitnah dan caci maki secara luas.  Segelas kopi jauh  dari kemarahan, tetapi dekat dengan keramahan. “Seduh kopi, sedih berlalu,” kata orang.

Mamang tak pernah dimaki-maki dan diceramahi oleh pelanggan Mamang, bukan? Mamang tak pernah pula   diperintah, dikritik habis-habisan, difitnah,  atau diberi khotbah oleh langganan Mamang, bukan?

Saya merindukan senyum Mamang dengan segelas kopi panas seharga Rp4.000.00  yang benar-benar  bersih tanpa beban itu. Lalu, senja hari KPU Lebak saya, mestikah   ternoda dan  terluka?  Secara pribadi, saya mendapat sanjungan dan pujian dari kalangan internal, tetapi dari luar, ada saja hinaan dan pengrusakan harga diri saya.

Tiga Kali Masa Jabatan

Saya paling lama di KPU Kabupaten Lebak,  tiga periode, yang berarti sudah 15 tahun bergaul dengan segala sesuatu yang bertalian dengan pilkada, pemilukada,  pemilu, yang juga diwarnai caci maki dan kritik tajam seakan tak bertepi.

Mengapa bisa tiga kali, dan mengapa pula mau tiga kali? Mengapa mau “cuti besar” dari profesi wartawan, padahal ketika itu sudah bekerja di grup media massa cetak dengan tiras sekitar 500.000-an eksamplar, dan dengan kedudukan yang mulai naik ke tangga manajamen redaksional  yang cukup prestisius? Lalu, sudah pula saya kantongi  kartu wartawan utama yang diterbitkan Dewan Pers?

Terus terang, agar terang terus, saya sendiri tak bisa menjawabnya. Kebebasan, kepuasan batin, bagi saya, memang ada di dunia wartawan.  Pokoknya, setiap kali mau berhenti pada akhir masa jabatan, ternyata selalu saja ada alasan untuk terus mengikuti seleksi anggota KPU lagi.

Adalah sekian  tahun lalu (ditambah masa jabatan perpanjangan selama enam bulan), saat saya kali pertama jadi anggota KPU Lebak (2004 – 2009), di rumah ada tujuh orang. Saya, lima orang anak, dan satu istri. Kini, selepas sekian  tahun  itu, ternyata di rumah jadi  “pengantin” lagi, kembali ke asal, berdua lagi  – karena kelima anak saya sudah mandiri berumah tangga.

Saya harus menikmati senja hari KPU Lebak dalam  suasana “pengantin” baru,  tetapi dengan  “stok” lama. Ada berkah yang saya peroleh dari KPU Kabupaten Lebak : saya, istri saya, dan lima anak saya  bisa menyelesaikan pendidikan pada strata tertentu.

Ada diskusi  dengan istri, atau saya memanggilnya sang Rembulan Bercadar Awan (RBA), ketika itu. Rumah atau pendidikan? Kami memilih pendidikan. Maka, jadilah kemudian kado terindah saat senja hari jadi anggota KPU Lebak  (2014 – 2019).

Pertanyaan Terberat, Paling Indah

Saya lahir di Cianjur (10-08-1956), besar di Bandung, dan dewasa di Rangkasbitung. Mungkin tak akan pulang kampung karena terlanjur  sudah minum air Sungai Ciujung.

Kenangan terindah di Bandung,  tentu saja, saat nyantri di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) Pajagalan. Di sini ada ilmu, ada kitab klasik Islam, ada pula gita cinta dari pesantren, yang akhirnya terus di sisiku sampai sekarang.

Pernah, selama beberapa bulan, saya rata-rata pulang dari kantor menjelang dini hari (ini pasti dirasakan oleh anggota KPU yang lain).  Sang RBA selalu tersenyum membuka pintu.

Tak pernah mengeluh. Namun, pedih juga sebenarnya, ketika ada yang tiba-tiba usil, menghina, dalam sebuah WA, dan saya disebut Toyib (Bang Toyib) yang memang (dalam sebuah nyanyian) selalu pulang malam.

Pada suatu malam, sesaat setelah membuka pintu, wajah sang RBA tampak begitu pucat, mengigil meski berbaju tebal.  Memang sedang sakit. Saya mengira, sang RBA mau minta  diantar berobat ke klinik yang buka 24 jam di seberang rumah.

Pertanyaan yang tak terduga sama sekali, dan diucapkan dengan bibir yang kering dan bergetar. “Kang, urang tiasa lebet surga sasarengan moal?” (Kang, apakah nanti kita bisa masuk sorga bersama-sama?). Saya memaknai pertanyaan sang RBA itu :  tak akan ada gunanya bekerja siang malam kalau tanpa ridla-Nya. Sia-sia jadi  “Bang Toyib”.

Lalu, giliran bibir saya yang kemudian kering dan kaku karena tak bisa menjawab. Sang RBA tak pernah mengeluh. Meski saya selalu pulang malam, tengah malam. Biasanya, mulutnya baru terbuka hanya untuk menjawab pertanyaan. Dan, inilah pertanyaan paling berat, sekaligus terindah saat  senja hari jadi anggota KPU Lebak  2014 – 2019.

 

Uang Kehormatan Terakhir

Dan,…awal Januari 2019, tentulah bulan  terakhir sang RBA melangkah ke bank tempat selama ini setiap bulan mengambil uang kehormatan. Tanggal 13 Januari 2019 hari akhir saya jadi anggota KPU Lebak.

Lalu, uang penghargaan dari Pemerintah, seperti halnya untuk anggota KPU masa jabatan sebelumnya, seperti dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2015?  Ternyata, tak ada. Perpres terdahulu tak berlaku umum, harus ada perpres baru sebagai dasar Kementerian  Keuangan mencairkan uang penghargaan.

KPU RI dan DPR RI, kabarnya, pernah mengusulkan kepada Pemerintah agar menerbitkan peraturan presiden (perpres)  yang  sama, seperti untuk anggota KPU masa jabatan sebelumnya. Mereka  mendapatkan uang penghargaan pada akhir masa jabatannya.

Usulan KPU RI dan DPR RI yang sempat diajukan kepada Pemerintah tempo hari itu?  Tak pernah terdengar lagi. Para anggota KPU RI dan para anggota DPR RI pun sudah berganti.

Kalaupun uang penghargaan  untuk seluruh anggota KPU se-Indonesia  itu ada, pada waktu itu, tentu  tak akan sebesar anggaran pembangunan IKN, atau sebesar pembangunan  KA Cepat Whoosh. Atau pula,  mungkin tak sebesar biaya sewa jet pribadi sejumlah anggota KPU RI,  dalam 59 kali penerbangan, untuk kepentingan pemilu 2024. (Dean Al-Gamereau).

No More Posts Available.

No more pages to load.