MAJALAHTERAS.COM – Berita hoaks, terutama tentang isu covid-19 dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlahnya. Data Kominfo menyebutkan ada 8.737 berita hoaks pada kurun waktu 2018 hingga Juli 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.821 atau 21 persen diantaranya berisi hoaks tentang covid 19. Contoh isu hoaks adalah teori konspirasi Covid-19, vaksin dapat mengubah DNA seseorang, dan pengecekan suhu tubuh melalui thermo gun akan merusak otak. Untuk menangkal penyebaran isu hoaks, tidak hanya dibutuhkan literasi media, juga pendampingan berkelanjutan, dan penegakan hukum.
Hal itu terungkap dalam webinar yang diadakan Prodi Sains Komunikasi Fisipkum Unsera pada Kamis (12/8) dengan tema Antisipasi Hoaks Pada Masa Pandemi Covid-19. Webinar dibuka Rektor Unsera Hamdan, menghadirkan pembicara Freddy Tulung Penggiat Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Kunto Adi Wibowo akademisi Unpad, dan Indirianti Azhar Firdausi Kepala Program studi Sains Komunikasi Fisipkum Unsera.
“Perkembangan teknologi telah melahirkan tsunami informasi, yang cenderung lebih banyak bersifat berita hoaks. Karena itu, siapa pun saat menerima informasi harus melakukan tiga hal, membaca berita dengan benar, meneliti berita apakah benar atau bohong, dan hanya menyebarkan berita benar,” kata Hamda dalam kata sambutannya.
Menurut Freddy Tulung, hoaks adalah Informasi yang salah, yang sengaja dibuat untuk menyesatkan dan membahayakan seseorang, merusak komunitas, bahkan mengadu domba antarnegara.
“Tipe hoaks macam-macam, ada yang mencemarkan nama baik, merugikan konsumen, menimbulkan kebencian, menghina suku, agama, ras, antargolongan, dan hoaks yang menimbulkan keonaran. Meski para penyebar hoaks dapat dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika, tapi orang tetap saja berani membuat hoaks dan menyebarkannya melalui media sosial,” kata Freddy.
Sedangkan Freddy Tulung mengatakanan ada tiga alasan orang menciptakan hoaks, yaitu adanya motivasi untuk menyebarkan suatu berita, adanya platform atau jaringan sosial sebagai media penyebaran berita, dan adanya alat dan layanan untuk membuat berita.
Persebaran hoaks begitu cepat dan massif. Menurut Kunto Adi Wibowo, kemampuan sebaran disinformasi terkait hoaks hanya membutuhkan waktu tiga menit hingga enam menit. Sedangkan waktu untuk membuat klarifikasi untuk menangkal hoaks, dibutuhkan waktu 60 menit.
Hasil penelitian Kunto menggambarkan, para pembuat dan penyebar hoaks tidak mengenal usia, gender, keagamaan, faktor ekonomi, pendidikan, dan masyarakat urban sekalipun. “Hoaks lebih banyak dilakukan, karena mudah disebarkan dengan menggunakan berbagai platform digital. Dari sisi jenis kelamin, perempuan lebih suka menggosip sehingga sangat mungkin menyebarkan hoaks dan rumor dari pada laki-laki. Dalam politik, perempuan, utamanya emak-emak dianggap obyek yang tunduk dan gampang dimobilisasi,” tutur Kunto.
Sedangkan Indrianti Azhar Firdausi menilai maraknya hoaks merupakan gambaran, belum kuatnya ekosistem arus infomasi di tanah air. Pada titik ini, perguruan tinggi perlu meningkatkan dan memperkuat kapasitas sivitas akademika, seperti dosen, pustakawan, dan mahasiswa untuk berpartisipasi aktif sebagai produsen konten positif di ruang-ruang publik media.
“Literasi media menjadi penting sebagai upaya memberikan kesadaran kritis bagi masyarakat ketika berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan literasi media, agar masyarakat tidak menelan begitu saja setiap informasi yang diterima,” ujar Indri. @WIRI