Telgam dan Internet
Kita terasa dimanjakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sekarang ini. Hidup jadi serba mudah untuk berbelanja, menghubungi teman bisnis, teman sekantor, dan lain-lain.
Mau menelepon kepada teman di tempat yang jauh sekalipun, meski terpisahkan benua atau lautan, bisa mudah dan murah saja, melalui media sosial, WA misalnya. Kita berada pada zaman revolusi TIK.
Telepon genggam (telgam) kita jadi benda ajaib, bisa digunakan apa saja, baik untuk kepentingan bisnis, pendidikan, kampanye politik, berfungsi pula sebagai perekam suara, kamera, video, dan lain-lain. Semua serba bisa.
Mesin pencari google, misalnya lagi, jadi kamus berjalan, tempat bertanya apa saja dan kapan saja, meski jawaban atau pengetahuan yang kita temukan itu belum tentu berkualitas atau bisa dipertanggungjawabkan.
Internet, sangat berguna? Tentu. Tetapi, sebuah buku hasil penelitian sudah terbit. Isinya, mungkin mengejutkan kita, bahwa internet bisa mendangkalkan cara berpikir kita. Buku itu, The Shallows, ditulis Nicholas Carr, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rudi Atmoko (2011).
Ninok Leksono yang menulis pengantar untuk buku The Shallows, dan mengingatkan, “Dari judulnya saja, The Shallows : What the Internet Is Doing to Our Branis, secara harfiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya dangkal setelah terlalu dimanjakan internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak sabaran, yang tak tahan berlama-lama membaca buku tebal, atau artikel panjang. Yang lama dan bertele-tele sudah tak mendapat tempat lagi” (2011, xi).
Selanjutnya, Ninok mengingatkan lagi, “Apa pun argumennya, harus diakui bahwa dewasa ini masyarakat dunia sedang berada dalam pertigaan kritis. Dengan segala keterpesonaannya terhadap gadget TIK, yang mengancam bukan saja daya kepemimpinannya atau urusan-urusan, tetapi daya konsentrasi dalamnya yang berperan sentral dalam proses kreatif, manusia kini bisa mengarah kepada alam, kedangkalan, budaya instan, dan autistik minimal” (2011, xi)
Industri dan Dominasi Informasi
Kita mendapat informasi yang cepat, super cepat, bahkan bisa dalam hitungan detik. Ribuan informasi masuk melalui media sosial di telepon genggam kita. Industri informasi dari negara-negara maju lebih banyak, lalu kita serap, yang kemudian sering kita edarkan lagi lewat media sosial. Beberapa negara maju, mungkin saja, sengaja memroduksi informasi sebanyak-banyaknya untuk diserap warga dunia, sehingga kemudian terjadi dominasi.
Dari dominasi informasi itulah kemudian tak mustahil lahir penjajahan informasi, baik disadari atau tak disadari. Ketergantungan informasi kepada pihak lain, terlebih-lebih kepada pihak asing, nyata-nyata sebagai ancaman adanya penjajahan informasi itu.
Penjajahan zaman baru pada zaman TIK ini bukan lagi aneksasi atau akuisisi wilayah-wilayah sebuah negara, yang merupakan penjajahan secara politis, melainkan juga yang tak kalah membahayakan adalah penjajahan informasi.
Pemerintah perlu mewaspadai ini. Gaya hidup, cara hidup, dan ciri hidup akan tergerus, terbawa arus zaman Barat yang sering sekali diidentikkan dengan modern. Nasionalisme yang memudar, misalnya, tak mustahil akibat jangka panjang penjajahan informasi setelah kita terus-menerus jadi konsumen informasi.yang sebenarnya tak kita butuhkan.
Lebh jauh dari semua itu, penjajahan informasi bisa mengganggu stabiltas politik, ekonomi, dan bahkan keamanan nasional. Inilah pula yang sering disebut dengan digital colonialism (kolonialisme digital) atau electronic colonialism. (kolonialisme elektronik).
Dalam praktiknya, negara asing yang kuat bisa mengontrol atau menguasai digital space (ruang digital) untuk mengambil keuntungan dari data dan informasi dari negara-negara berkembang.
Penjajahan informasi hanyalah pergeseraan dari penjajahan tradisional yang menguasai wilayah fisik jadi penjajahan digital berupa penguasaan akses data dan informasi. Sering sekali kita dengar adanya pencurian data dan informasi . Itu artinya, data dan informasi punya nilai.
Kata seorang profesor ekonomi futuris, Hazel Henderson (27 Meret 1933 di Inggris – 22 Mei 2022 di Amerika Serikat)”, “Informasi adalah mata uang baru” (Information as the world’s new currency). Maka, awas penjajahan informasi! Awas pula dominasi (informasi) global atas informasi lokal! (Dean Al-Gamereau)







