majalahteras.com – Wayang Garing adalah seni pertunjukan wayang kulit yang berkembang di Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Menurut sejarah, usaha untuk menciptakan pertunjukan wayang ini sudah dirintis sejak masa Sultan Ageng Tirtayasa. Ide pembentukan seni pertunjukan Wayang Garing bertujuan untuk menceritakan tentang perjalanan sultan-sultan di Banten serta cerita tentang babad Banten, agar sejarah mengenai Banten tetap dikenang oleh masyarakat.
Namun seiring dengan perkembangan waktu, tema cerita yang dipentaskan dalam Wayang Garing mengalami perubahan. Selain tema yang menceritakan perjalanan sultan-sultan Banten dan babad Banten, juga dikembangkan tema-tema lain yang dikutip dari kisah-kisah dalam Mahabarata, Ramayana, dan Lokapala. Dengan demikian, cerita yang dipentaskan dalam Wayang Garing tidak hanya bernilai sejarah tetapi juga bernilai hiburan.
Pada awalnya, seni pertunjukan ini tidak berbeda dengan wayang kulit lainnya, yaitu melibatkan swarawati (pesinden) dan pemukul gamelan (pangrawit). Namun, karena kurangnya dana dari sang dalang dan tidak adanya bantuan modal dari sultan Banten, akhirnya peran pesiden dan pangrawit kemudian dimainkan sendiri oleh sang dalang dengan menggunakan instrumen mulut. Adapun, bahasa pengantar yang digunakan dalam pertunjukannya adalah bahasa Jawa Serang dan bahasa Sunda.
Pada zaman dulu, seni pertunjukan Wayang Garing dipentaskan ketika musim panen telah tiba. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, seni pertunjukan ini juga dipentaskan pada hajatan lainnya seperti upacara pernikahan, tasyakuran dan peringatan hari-hari besar.
Seni Wayang Garing berkembang di Kampung Wadgalih, Desa Mendaya, Kecamatan Carenang, Kabupaten Serang, Propinsi Banten, Indonesia.
Wayang Garing bukanlah jenis pertunjukkan yang berpijak pada lakon, melainkan pada sederet guyon yang langsung melibatkan pemilik hajat (panitia) dan para penonton. Wayang Garing bukanlah sejenis dongeng yang mengisahkan suatu cerita, melainkan percakapan seorang dalang kepada penontonnya mengenai kehidupan nyata Ki Dalang di tengah masyarakatnya.
Sejak awal pertunjukkan Ki Dalang menyapa panitia, tokoh masyarakat, dan sebagian penonton. Sapaan tersebut selain sebagai forum “saweran”, yang lebih pokok adalah bentuk komunikasi yang memperkuat ikatan penonton ke dalam pertunjukkan. Dengan senda gurau yang semi serius, komunikasi antara dalang dengan penonton sampai akhir pertunjukkan tetap terjalin. Inilah keunggulan kesenian tradisi yang berpijak pada homogenitas dan keakraban.
Keakraban terlihat ketika pada setiap pertunjukkannya, Ki Dalang biasanya menyebut setiap nama yang diundang untuk “berpartisipasi”. Ia tidak membeda-bedakan status dan dan kedudukan. Panitia, RT/RW (representasi pemerintah), dan penonton disapa dalam posisi yang sama. Begitu pula dengan nama-nama pejabat, tokoh masyarakat, dan orang-orang biasa yang pernah “singgah” dalam kehidupan Ki Dalang, semuanya disapa secara egaliter.
Sifat egaliter yang amat merakyat dengan bahasa yang multikultur, komposisi lakon dan guyon, irama dan pakem pertunjukkan wayang garing tidak gampang ditemukan dalam jenis-jenis wayang lainnya.
Wayang Garing sangat berbeda dengan wayang kulit di Yogyakarta atau wayang golek di Jawa Barat. Wayang kulit adalah teater stanislavski yang amat setia pada lakon, sedangkan wayang golek mirip dengan teater Brecht yang mengasingkan lakon dengan kocokan guyonan. Perbedaan itu dengan sendirinya mencerminkan karakteristik kebudayaan dan masyarakat yang menghidupi masing-masing kesenian tersebut. Sifat egaliter yang amat merakyat, dengan bahasa yang multikultur, komposisi lakon dan guyon, irama dan pakem pertunjukkan wayang garing tidak gampang ditemukan dalam jenis-jenis wayang lainnya.
Sebagian orang banyak yang mengkritik pertunjukkan wayang garing sebagai pertunjukkan monoton. Mungkin pendapat ini tidak terlalu keliru mengingat dari awal sampai akhir pertunjukkan, sapaan dan komunikasi dalang kepada sejumlah penonton terus mengalir dilakukan seraya mengundang penonton untuk saweran. Cara bertutur semacam itu, selain menepiskan posisi lakon, memang cenderung monoton.
Kesan “kemiskinan” yang tergambar dalam pertunjukkan wayang garing menyimpan makna kesetiaan pada pahit getirnya kehidupan. Bagi Ki Dalang Kajali, mendalang memang untuk mencari uang. Wayang garing adalah potret masyarakat kelas bawah di tanah Banten. Oleh karena itu siapa saja yang berperan serta dan atau berpartisipasi (saweran pada saat pertunjukkan atau mengundang ki dalang pentas) berarti secara langsung menghidupi kesenian Wayang Garing.(Iman)