Oleh : Eddy Rifai
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) akan menuntut mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu (MSD), atas pernyataan yang dianggap menyudutkan dirinya. Hal itu merupakan buntut dari pernyataan Said Didu yang menyatakan Luhut dinilai mementingkan keuntungan pribadi saja tanpa memikirkan penanganan virus corona (Kompas.com, 3/4/2020).
Jodi Mahardi, juru bicara LBP, melalui keterangan tertulis, membenarkan bahwa pimpinannya tersebut telah mengetahui kejadian pencemaran nama baik LBP. Maka dari itu, melalui Jodi, LBP meminta agar Said Didu menyatakan maaf secara langsung kepadanya dan melalui semua media sosialnya terhitung mulai hari ini.
“Secara keseluruhan, seseorang dapat dikenakan pasal hate speech, Pasal 317 KUHP dan 318 KUHP dan juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 terkait ITE jika menyebarkan ujaran kebencian, yaitu bisa memprovokasi, menghasut, serta penyebaran kabar atau berita bohong melalui media sosial,” tegas Jodi.
Asal mula tuntutan ini terjadi dari kanal YouTube Said Didu, Muhammad Said Didu yang diwawancarai Hersubeno Arief berdurasi 22 menit beberapa waktu lalu. Dalam video tersebut, Said Didu menyoroti soal isu persiapan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru yang masih terus berjalan di tengah usaha pemerintah dan semua pihak menangani wabah Covid-19.
PENGHINAAN DALAM KUHP DAN UUITE
Dalam KUHP, istilah pencemaran nama baik dikenal dengan istilah “penghinaan” yang diatur secara khusus dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP. R. Soesilo menjelaskan, “menghina” dapat diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Adapun kehormatan yang dimaksud berkaitan dengan rasa malu seseorang. Penghinaan dalam KUHP dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yakni:
Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), yakni perbuatan menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh orang banyak. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), yakni perbuatan tuduhan tersebut dilakukan secara tertulis.
Fitnah (Pasal 311 KUHP), yakni apabila perbuatan yang dituduhkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 310 KUHP tidak benar.
Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP), yakni jika penghinaan dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina, maupun berupa perbuatan.
Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) dan Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP).
UU ITE lebih menekankan pada media atau cara dari pencemaran nama baik tersebut dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yakni: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Adapun berdasarkan penjelasan pasal tersebut, definisi pencemaran nama baik mengacu pada pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Dalam UU ITE lama, pencemaran nama baik merupakan delik atau tindak pidana biasa yang dapat diproses secara hukum meski tidak adanya pengaduan dari korban.
Namun, ketentuan ini telah mengalami perubahan yang telah diatur di dalam UU ITE baru (2016). Di mana, dalam UUITE baru, tindak pidana pencemaran nama baik berubah menjadi delik aduan (klacht delict) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 ketentuan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana aduan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di hadapan Pengadilan.
Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kasus pencemaran nama baik, ia harus melakukan pengaduan ke pihak yang berwenang. Karena kasus pencemaran nama baik hanya akan diproses jika pihak yang menjadi korban melakukan pengaduan kasus tersebut.
Bunyi pasal 45A ayat (2) UUITE adalah “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Berdasarkan ketentuan KUHP dan UUITE, terdapat pelbagai bentuk delik pencemaran nama baik berupa penghinaan, fitnah, pengaduan fitnah dan perbuatan fitnah, juga terdapat delik penyiaran kabar bohong dan SARA.
ANTARA REPUTASI DAN HAK ASASI
Sebagaimana putusan MK di atas yang mengkualifikasikan delik pencemaran sebagai delik aduan, MK juga menentukan genus dari delik pencemaran terdapat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Merujuk penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).
Dalam perkara Prita Mulyasari yang telah dibebaskan dari hukuman berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung terdapat kaedah hukum penting untuk mengkualifikasikan, apakah suatu pernyataan di dunia maya merupakan delik pencemaran atau hanya kritik yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dipidana.
Seperti diketahui, kasus Prita Mulyasari berawal dari tulisannya melalui surat elektronik atau email yang berisi tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang, yang kemudian menyebar, dan berbuah gugatan perdata, dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Dalam banyak kasus, Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi.
Berdasarkan kaedah hukum di atas, apakah pernyataan MSD merupakan delik pencemaran atau merupakan kritik yang tidak dapat dipidana adalah tergantung bagaimana penegak hukum menempatkan antara reputasi dan hak asasi. Apabila reputasi didahulukan, maka hal itu merupakan delik. Sebaliknya apabila hak asasi diutamakan sebagaimana putusan PK MA, maka pernyataan MSD bukan delik dan tidak dapat dipidana.
Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung