Enam Tahap Diklat Jurnalistik
Witdarmono mengutip seorang pendidik, Philip Gaunt, yang melakukan penelitian pendidikan dan pelatihan (diklat) jurnalistik di berbagai negara. Hasilnya, ada enam tahapan diklat jurnalistik. Phillip Gaunt, sering pula ditulis singkat, Gaunt. Jangan tertukar dengan Helena Gaunt, yang juga sering ditulis singkat Gaunt. Helena Gaunt pun peneliti dan pendidik, tetapi di bidang musik.
Keenam tahapan diklat jurnalistik itu, yang kelak bisa menghasilkan wartawan terdidik, (a) tahap orientasi memahami sistem media dan tempat kerja, (b) tahap keterampilan dasar : meliputi menulis, mengedit, dan keterampilan bahasa, (c) tahap keterampilan teknis : penggunaan peralatan teknologi, (d) tahap pengembangan keterampilan baru (khusus untuk wartawan madia), (e) tahap pendidikan ilmu-ilmu sosial, dan (f) tahap spesialisasi.
Dalam makalahnya yang berjudul “Merancang dan Melaksanakan Pelatihan Wartawan yang Efektif”, (Batam, 22 – 25 Agustus 2005), Witdarmono mengutip pula Jurgensmeyer yang menjadikan surat kabar sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh sosial.
Untuk mendapatkan pengaruh sosial, surat kabar harus membangun kepercayaan publik. Salah satunya adalah memberi informasi yang dapat dipercaya dan berkualitas. Melalui informasi semacam itulah, surat kabar (sekaligus) membangun seluruh bisnisnya.
Witdarmono, dengan makalahnya itu, hakikatnya, ingin menjaga agar surat kabar tetap berkualitas dengan dukungan wartawan-wartawannaya yang terdidik. Tentu saja, yang dimaksud adalah terdidik dalam bidangnya atau profesinya, sampai akhirnya jadi wartawan spesialis, misalnya, wartawan (spesialis) ekonomi, politik, dan lain-lain.
Ada wartawan spesialis, wartawan (peliput) perang, disebut war correspondent. Namun, mereka tak mau disebut begitu (war correspondent), karena kalau disingkat jadi WC – yang singkatan lainnya (W)ater (C)loset alias toilet, kamar mandi, atau tempat buang kotoran (manusia).
Surat Kabar Berkualitas
Pertanyaannya kemudian, sampailah pada rumusan surat kabar yang berkualitas. Seperti apa? Tak mudah merumuskannya karena para ahli punya pandangan atau pendapat yang berbeda-beda. Selama ini, ada yang disebut surat kabar berkualitas, ada juga yang disebut surat kabar populer.
Dengan mengutip Philip Meyer dan Kyu-Hwan Kim dalam makalahnya “Quantifyng Newspaper Quality : “I Know It When I See If”, Witdarmono menyampaikan rumusan surat kabar yang berkualitas adalah, (a) enak dibaca dan mudah dibaca, (b) memiliki unsur lokal, (c) punya editorial yang kuat, (d) beritanya berkualitas, dan (e) mampu memberi penafsiran dan pemaknaan.
Terutama huruf (c), (d), dan (e) inilah sebetulnya yang menjadi kebanggaan surat kabar : beritanya atau editorialnya jadi bahan diskusi dan didiskusikan oleh publik. Juga, publik tercerahkan, tercerdaskan, dan terinspirasikan oleh berita atau editorial surat kabar. Isi utama surat kabar, tentu saja, berita (fakta) dan opini (editorial),
Khalayak pembaca atau pemirsa mendapatkan pula informasi yang benar. Dengan informasi inilah, setiap orang akan mampu mengembangkan dirinya atau kemampuan intelektualnya. Surat kabar harus mencerdaskan, memang. Wartawan dituntut to print the truth (selalu menghidangkan hak, kebenaran).
Bisnis Surat Kabar
Isi surat kabar, tentu saja, selain berita dan editorial, seperti disebutkan d atas, juga iklan atau advertorial. Ini untuk kepentingan bisnis. Iklan, untuk surat kabar (atau media elektronik seperti televisi), disebut sebagai “urat nadi” atau nyawa. Pelanggan pun tak kalah penting dari iklan. Kata Norman Douglas tentang iklan, “Kita mengetahui cita-cita suatu bangsa dari iklan-iklannya”.
Bisnis surat kabar adalah bisnis kepercayaan, bisnis trust. Pelanggan percaya, dan mau jadi pelanggan atau pembaca. Pemasang iklan pun siap karena dibaca khalayak. “Urat nadi” surat kabar adalah pelanggan dan pemasang iklan.
Kepercayaan dan berita atau editorial yang berkualitas, hakikatnya, bukan untuk surat kabar saja, melainkan untuk seluruh media, baik media massa m aupun media siber. Media harus memiliki kepercayaan publik dan kualitas. Inilah resep kalau memang media massa atau media siber ingin jadi andalan dan sahabat khalayak pemirsa atau pembaca.
Renungan untuk Wartawan
Ini beberapa renungan untuk wartawan, dikutip dari buku Ethics for The Media, oleh William L. Rivers dan Cleve Mathews, alih bahasa Arwah Setiawan, 1994. Kata Fred Friendly, “Wartawan dewasa ini dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang lebih mengutamakan memberi penjelasan tentang berita daripada menjadi orang pertama yang datang di tempat kejadian”.
Kata Richard Harwoord, “Jika kita tidak menjaga jarak dari arena, apakah kita ini, wartawan atau politikus? Kata Frank J. Miller, “Begitu Anda mulai menulis untuk menyenangkan setiap orang, Anda tidak lagi berada di dalam dunia jurnalisme, Anda berada dalam dunia pertunjukkan”.
Anda ingin menjadi wartawan yang berhasil atau menjadi wartawan yang gagal? “Saya tidak dapat memberi Anda resep keberhasilan, tetapi saya dapat memberi Anda resep kegagalan : Cobalah menyenangkan hati semua orang,” kata Herbert Bayer Swope. Kata Richard Harwoord, “Jika kita tidak menjaga jarak dari arena, apakah kita ini, wartawan atau politikus?” (Dean Al-Gamereau).






