Seni Sebagai Media Ekspresi

oleh
oleh -

Majalahteras.com – Performance arts sangat penting karena dapat dijadikan sebagai salah satu wahana apresiasi kreatif bagi masyarakat pembelajar khususnya, agar diperoleh bahan kajian ilmiah yang seyogyanya berguna bagi pendidikan secara umum. Hal ini dikatakan Dosen Seni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Serang, Yulianti Fitriani, ketika menyaksikan performer arts para seniman dari beberapa negara di Objek Wisata Benteng Speelwijk. Berkumpulnya mereka di Banten dalam rangka memeriahkan acara Expedition Camp 2018 yang digagas oleh Komunitas Semanggi. Kamis (16/08/2018).

“Saya kira ini merupakan embrio inovasi yang tumbuh kembangnya pasti akan melibatkan para akademisi yang mau gak mau harus melebur dalam bingkai education for all,”  ungkap Yuli. Senin (27/08/2018).

Dalam Expedition Camp 2018 kali ini, ada berbagai aksi performance art dan sharing session dilakukan oleh seniman asal Asia-Eropa, diantaranya yaitu Aziz Amri (Jakarta/ID), Ceej Gomera (Filipina), Edi Bonetski (Banten/ID), Ella Wijt (Jakarta/ID), Entri Sumantri (Bandung/ID), FJ Kunthing (Yogyakarta/ID), Jewel A Rob (Bangladesh), Kurt D Peterson (Jakarta/ID), Haryo Hutomo (Jakarta/ID), Nguyen Dinh Phuong (Vietnam), (Ridwan Rau-rau (Jakarta/ID), Putri Wartawati (Banten/ID), Shaker Nasrin Toontoon (Bangladesh), Syfa Koesoemo (Banten/ID), Syska La Vegie (Surabaya/ID), Thing Yung Chang (Taiwan) yang dikuratori oleh Ferial Afiff (Jogja/ID).

Baca Juga  Sinergi Dengan Perguruan Tinggi UT, Pemkot Serang Fokus Tingkatkan Kualitas SDM

aSaat itu, semua delegasi menampilkan pertunjukan seni yang ikonik, karena dalam satu pentas, masing-masing seniman menampilkan aksi yang berbeda-beda.

“Dengan latar belakang akademik yang juga pernah mengalami secara empiris akan kegiatan yang serupa, tentu saja performance art kemarin memberikan kesan tersendiri yang sangat spesial,” tandasnya.

Yuli menambahkan, sebagai seni pertunjukan yang berkembang atas pengaruh akulturasi budaya (asing maupun tradisi kita) ini tentunya tak banyak pengalaman yang dimiliki akademisi dapat berkiprah di dalamnya. Hal ini disebabkan kami (baca: akademisi) lebih banyak melakukan studi eksternal di sekitar produk budaya yg sifatnya sangat intangible.

aaa“Tak ada pikiran lain yang pertama terbesit ketika menyaksikan performa para art performer kemarin adalah ‘EKSPRESI’. Ya, maksud dan tujuan yang paling mudah ditebak dari aksi itu ya untuk mengekspresikan diri para performernya. Meskipun mungkin ada maksud dan tujuan secara formal yang digagas oleh pelaksana expedition Camp 2018 tersebut sebagai sebuah event,” paparnya.

Menariknya, lanjut Yuli, dari performa yang dilakukan, salah satunya ada pada gagasan sederhana yang tidak terlalu melibatkan ruang.

Baca Juga  Sinergi UNTIRTA dan FORPIMPAS Gelar Rakerwil dan Seminar Internasional ICISER 2019

“Artinya lingkup benteng sebagai art studio, ala kadarnya diperlakukan. Sangat santun. Namun, pria penggigit rangkaian sedotan ini sangat hanyut dalam kontemplasi produktif yang menghasilkan sebuah hasta kreatif manifestatif. Pesan yang ingin disampaikan mungkin lebih mengarah pada aspek ekspresi yang dituangkan dalam ruang tadi. Selebihnya, akan banyak muncul pesan-pesan abstrak yang bisa saja diterka sebagai nilai-nilai tertentu yang berkaitan dengan aspek kehidupan (personal maupun komunal),” jelas Yuli.

Berbicara mengenai pesan yang tersirat dalam performance art tersebut, Yuli menilai, akan mengarah kepada analisis. Sama halnya seperti sebuah studi analitik konsep dan isi yang sekaligus dipartisi layaknya sebuah repertoar orkestra dalam musik.

aa“Ada yg berperan sebagai konduktor dan ada juga yang berperan sebagai musisi. Masing-masing berhak untuk melakukan reinterpretasi dari full score yang ada. Namun, partitur tidak dibuat nyata. Mereka seolah berjalan masing-masing, dengan hasrat personifikasi yang kental dengan tanpa harus menghitung jumlah bar dengan birama tertentu, sehingga kekontrasan yang terbingkai acak justru memunculkan gradasi warna yang dahsyat,” katanya.

Pesan-pesan personal yang muncul, Yuli menambahkan, menjadi manifestasi tunggal yang juga sublim dan abstrak untuk diterjemahkan. Sehingga, apresiator akan otomatis menempatkan dirinya pada posisi tertentu yang ditemukan secara aksidental ketika merespon aksi.

Baca Juga  Muamar Hadafi: Jiwa Entrepreneur Mampu Ciptakan Lapangan Pekerjaan

“Misal, perempuan Bangladesh berkain putih, membagikan dupa kepada orang di sekitarnya untuk dinyalakan, kemudian Ia menancapkan dupa-dupa tersebut ke sekeliling makam Kierkoff, lalu diakhiri dengan upacara kematiannya. Mungkin ada benang merah yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan bahwa pesan yang ingin disampaikan adalah yang berkaitan dengan proses kehidupan manusia,” jelasnya.

“Aksi pria Jepang berkaos kerah yang berjalan berkeliling seraya mencari-cari sesuatu yang entah apa itu. Pesan yang bisa dimunculkan mungkin saja bahwa dalam kehidupan ini, manusia tak ada hentinya mencari sesuatu hingga mencapai tingkat kepuasan yang juga tak terukur, dan, hanya bisa dihentikan dengan kematian,” tukasnya.

aaaaa“Aksi pria berjubah bendera Merah Putih, yang selalu berdiri tegak layaknya tiang kokoh yang tak tergoyahkan oleh badai tsunami sekalipun. Dengan membawa simbol negara di pundaknya dan diakhiri dengan mengibarkannya bersama terapan angin di sekitar Benteng Speelwijk, ingin menyapa Indonesia merdeka semerdeka-merdekanya,” tandasnya.@IMAN