MAJALAHTERAS.Com – Indonesia memiliki beragam suku dan adat istiadat. Setiap masing-masing daerah di nusantara tentu memiliki ciri khasnya sendiri, misalnya saja ciri dari rumah adat.
Salah satu daerah yang masih melestarikan rumah adat budayanya yaitu Suku Baduy. Suku asli masyarakat Banten ini memiliki rumah adat bernama Sulah Nyanda, yang berarti sikap bersandar. Rumah Sulah Nyanda ini dikenal dengan rumah ramah lingkungan.
Betapa tidak, Suku Baduy hidup di dalam rumah adat yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Pembuatan rumah adat Sulah Nyanda dilakukan dengan cara gotong royong menggunakan bahan baku yang berasal dari alam. Bahan seperti kayu digunakan untuk membangun pondasi, sedangkan pada bagian dasar pondasi menggunakan batu kali atau umpak sebagai landasannya.
Jenis kayu yang digunakan harus kayu yang kuat dan tahan lama, seperti kayu jati, mahoni, akasia atau kayu ulin.
Uniknya, rumah adat ini dibangun mengikuti kontur tanah dan letaknya tertata rapi yang menghadap ke arah utara. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, melainkan karena aturan adat yang mengharuskan setiap masyarakat yang ingin membangun rumah tidak merusak alam sekitar. Sedangkan penentuan arah utara mencerminkan budaya masyarakat Baduy yang peduli terhadap sekitar alam dan lingkungan.
Batu yang digunakan sebagai bahan pondasi adalah batu yang datar dan memiliki ukuran yang besar. Batu ini juga digunakan untuk mencegah tiang rumah adat Baduy cepat lapuk.
Untuk tetap menjaga fungsinya, rumah adat Baduy ini di bagi menjadi tiga ruangan. Masing-masing ruangan berfungsi sesuai dengan rencana pembuatan, yaitu bagian sosoro (depan) yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu, tepas (tengah) untuk aktivitas tidur dan pertemuan keluarga dan ipah (belakang) untuk menyimpan persediaan makanan dan tempat memasak.
Sebagai informasi, masyarakat Baduy tinggal dan bermukim secara turun-temurun di wilayah kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Rumah yang ramah lingkungan ini ternyata sangat berguna bagi kehidupan dan memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Salah satunya tahan terhadap gempa. Terbukti bahwa tak ada satupun rumah warga Suku Baduy yang rusak saat terjadi gempa berkekuatan 6,1 SR di Kabupaten Lebak, Banten pada Selasa (23/1/2018) lalu.
Saat ini, di tanah ulayat Baduy ada 12 ribu jiwa yang tersebar di 65 kampung. Tiga kampung masuk wilayah Baduy Dalam yakni Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.
Mursyid, warga Baduy Luar mengaku bahwa warga memang merasakan getaran saat gempa terjadi. Namun tak ada satupun rumah warga yang roboh akibat guncangan. Menurutnya, rumah warga Baduy memang dirancang untuk tahan guncangan gempa.
“Rumah panggung anti gempa, tiangnya kayu, pake paseuk (pasak-red) sebagai penahannya biar kuat. Biar goyang ngikutin,” katanya.
Jaro Saija, atau kepala desa khusus adat Baduy mengatakan, rumah adat Suku Baduy dibuat anti gempa. Selain ada mantra, teknologi adat, juga ada penanggalan waktu untuk membuat rumah. “Semuanya ada perhitungannya,” ujarnya.
Dalam sejarah adat, Saija mengatakan, meskipun ada gempa bumi, tak pernah ada rumah adat yang ambruk.
Asep Kurnia yang pernah menulis buku ‘Saatnya Baduy Bicara’ mengatakan, rumah adat Baduy memang tak ada yang ditanam ke tanah. Bagian atasnya juga tak mungkin ambruk. Pertama pasak kayu sebagai penghubung bangunan dibuat sedikit longgar sehingga ketika ada gempa, rumah mengikuti irama getaran. Selain itu, bobot atap dari bambu dan ijuk juga cenderung ringan. Hal tersebut menurutnya cenderung ringan dan tak membuat khawatir.
“Mereka arsitek ulung, bisa menafsirkan bagaimana agar tak rusak, kaki bangunan juga tidak ditanam dan mengikuti irama gempa,” ujarnya.
Elastisitas rumah adat Baduy ini juga dibenarkan oleh Suhada penulis buku ‘Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah’. Dikatakan, pasak rumah baduy dibuat dari ruyung atau bagian terkuat dari pohon kelapa. Ruyung ini menurutnya juga bisa dari batang pohon pinang yang berduri.@IMAN