Oleh : Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI
Petani itu macam-macam konsentrasinya dalam bertani. Tergantung daerah dan selera.
Daerah kering, daerah setengah kering, daerah tidak pernah kering menentukan jenis pertanian yang cocok dan menguntungkan secara ekonomis. Sekedar contoh : Nagari Lawang Mandahiling, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat petaninya banyak menanam tanaman sayuran karena sangat cocok dengan daerahnya dan pasarnya juga jelas, menyuplai kebutuhan pasar Pekan Baru dan Batam.
Ketinggian suatu daerah dari permukaan laut juga menentukan jenis pertanian yang punya nilai ekonomis paling menguntungkan. Sekedar contoh : Kecamatan Parakan, Kabubaten Temanggung, Jawa Tengah petaninya banyak menanam tanaman tembakau, karena disamping paling menguntungkan secara ekonomis juga ketinggian diatas permukaan laut daerah Parakan sangat cocok untuk menghasilkan tembakau berkualitas.
Selera petani juga demikian, berbeda-beda. Petani selera tanaman tua dengan panen sesuai musim. Misalnya petani di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yigyakarta, petaninya lebih banyak menggantungkan pertaniannya pada Salak Pondoh, umur tanamannya panjang, panennya musiman, namun dianggap menguntungkan karena permintaan untuk menyuplai sektor pariwisata di Yogyakarta.
Tidak sedikit juga petani yang mengandalkan menanam jenis tanaman umur pendek, sekali musim panen, pohon tanamanan juga turut mati. Seperti petani cabe, bawang, timun, melon, semangka, tomat, dan termasuk padi.
Selama ini pertanian yang digeluti petani tersebut sudah memberikan penghidupan kepada puluhan juta keluarga petani di seluruh pelosok Indonesia.
Entah sudah berapa juta rakyat Indonesia yang dicerdaskan oleh proses belajar di Perguruan Tinggi yang secara finansial ditopang oleh sektor pertanian ini. Penulis salah satu contohnya, walau penuh keprihatinan saat kuliah, akhirmya bisa juga menamatkan pendidikan di perguruan tinggi karena, salah satunya, ditopang sektor pertanian. Penulis sangat bersyukur pada Allah SWT akan karunia ini.
Kehidupan pertani bukanlah kehihidupan penuh bergelimang kemewahan dari sisi materi dengan tabungan berlimpah. Pada saat panen dan harga bagus, dapat menabung dalam bentuk kalung emas anak istri juga sudah alhamdulillah.
Sekali panen gagal atau harga jatuh, kalung emas anak istri pun kembali dijual sebagai modal untuk bercocok tanam. Tidak jarang harus berhutang juga untuk modal memulai bercocok tanam kembali tersebut.
Walaupun demikian, jangan ditanya soal gelimang keberkahan. Kemewahan keberkahan ini adalah rezeki yang paling dekat dengan petani. Kita boleh iri dengan ini.
Entah bagaimana ceritanya, Virus Corona mengamuk di Wuhan, Cina. Entah bagaimana ceritanya kok tahu-tahu ada Virus Corona di Wuhan, Cina. Entah bagaimana ceritanya kok ada jenis Virus Corona di Wuhan, Cina.
Entah karena faktor alam (evolusi misalnya) yang membentuk jenis Virus Corona di Wuhan, Cina.
Entan karena faktor nom alam (rekayasa genetik misalnya) sehingga ada jenis Virus yang sangat sulit dikendalikan penyebarannya ini di Wuhan, Cina.
Petani Indonesia tidak tahu menahu dan juga tidak mau mencari tahu tentang hal itu. Biarlah itu urusan pemerintah dan peneliti di dunia ini untuk mencari tahu.
Petani Indonesia hanya tahu dan mau tahu kok tiba-tiba saja karena gara-gara Virus Corona ini hasil panennya sudah tidak laku di pasaran.
Pasar-pasar sayur di saentero negeri sepi pembeli. Pabrik rokok mengurangi permintaan tembakau. Salak Pondok tiba-tiba saja tidak dapat dijual karena orang berwisata sudah hampir tidak ada.
Rumah makan Padang sepi, Warung Tegal sepi, Warung Soto sepi, warung ayam goreng sepi, warung-warung di daerah wisata sepi banget. Sepinya pasar dan warung dirasakan dan berdampak langsung oleh petani, karena disitulah produk pertanian diperdagangkan.
Kehidupan pertanian dan keluarga petani dirasakan menjadi sangat berat, bahkan ada yang mengatakan terberat sepanjang masa hidupnya.
Tidak sedikit juga generasi tua petani yang menyamakannya dengan keadaan zaman Jepang atau revolusi atau zaman awal kemerdekaan. Saking sulitnya kehidupan petani saat ini. Benar-benar sulit bangeeeett.
Bedanya, petani zaman sekarang petani melek informasi, petani suka nonton berita, petani suka bermedia sosial.
Petani mengetahui pemerintah memberikan pembebasan Pajak Pengahasilan (PPh) kepada beberapa sektor industri agar karyawannya tetap punya daya beli.
Petani mengetahui pemerintah memberikan stimulus kepada pelaku Kredit Usaha Rakyat agar pelaku usaha mikro tersebut tidak sampai gulung tikar.
Petani mengetahui orang-orang tertentu diberi bantuan keuangan tunai oleh pemerintah karena tidak ada pemasukan sama sekali.
Petani sekarang mengetahui semua kebijakan pemerintah karena petani sekarang petani informatif, petani melek informasi, petani yang memandang informasi sebagai bagian penting dalam kehidupan pertaniannya.
Alhamdulillah, di posisi ini kita dapat sedikit bahagia karena amanah Pasal 27F UUD NRI 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik banyak sedikitnya sudah memperlihatkan hasil di sektor pertanian. Bukankah Keterbukaan Informasi Publik ini sebesar-besarnya didedikasikan untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, termasuk dan tidak terbatas masyarakat petani?
Itu satu sisi. Sisi lainnya, petani juga makin krtis. Kemampuan untuk memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk mendapatkan informasi juga diiringi dengan makin meningkatkan daya kritis petani.
Sekali lagi, Alhamdulillah. Bukankah daya kritis ini juga wujud semakin cerdasnya petani Indonesia sesuai amanah Pasal 28F UUD NRI 1945 dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mencerdaskan anak bangsa?
Daya kritis petani ini termasuk daya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian, khususnya mengkritisi kebijakan pemerintah dalamnupaya mengurangi beban petani dalam situasi Pandemi Corona ini.
Beberapa japri WhatsApp masuk ke nomer penulis, bertanya dan sedikit mempertanyakan kebijakan pemerintan untuk sektor pertanian karena adanya Pandemi Corona.
Beberapa japri meminta penulis menuliskan pertanyaan mereka tersebut. Topiknya khusus pertanian dan petani dalam situasi Pandemi Corona. Penulis setuju, inilah tulisan tersebut.
Isi japri penulis sarikan, diantaranya memberitahu kalau petani tetap harus memupuk tanaman pertanian agar tanaman tetap subur dan menghasilkan. Kalau tidak dipupuk tanaman bisa mati atau produksinya jauh dibawah nilai ekonomisnya.
Petani tetap harus menyemprot tanaman pertanian dengan peptisida agar tanaman tidak dimakan hama. Kalau tidak diseprot dengan peptisida bisa gagal panen dan kalaupun bisa panen bisa rugi besar.
Memupuk tanaman dan menyemprot tanaman dengan peptisida tidak bisa tidak harus tetap dilakukan petani, tidak ada alternatif lain.
Walaupun hasil pertanian tidak laku di pasaran, aktifitas pertanian tidak boleh berhenti. Berhenti bertani sama saja dengan mengabaikan kehidupan keluarga.
Salah satu japri meminta penulis untuk menuliskan kalimat berikut :
“Kami petani tidak minta dikasih pupuk dan peptisida gratis, tidak sama sekali, kalau dikasih gratis alhamdulillah. Kami hanya meminta harganya diturunkan agar kami tetap bisa bertani dan makan. Harga yang secara ekonomis tetap menguntungkan jika panen. Setidaknya selama pagebluk Corona ini”
Penulis lahir dan besar di kampung, bahkan belum ada listrik saat itu, susahnya kehidupan petani penulis bisa rasakan karena pengalaman empirik, apalagi kehidupan petani pada masa pagebluk.
Itulah nampaknya alasan logis kenapa penulis secara tidak sadar meneteskan air mata saat membaca kalimat tersebut, apalagi saat melihat emotikon orang menangis bergandengan dengan emotikon jari sepuluh disusun.
Serasa kalimat tersebut mengaduk-aduk kesadaran dan qolbu yang paling dalam…….
PetaniAdalahKita
PertanianAdalahBangsaKita
PetaniSejahteraNegaraSejahtera
PetaniKuatNegaraTakTergoyahkan
End