Citizen Journalism:
Haera Inaya
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
Majalahteras.com – Sekarang ini kita sudah jarang mendengar gerakan–gerakan Islam di Asia Selatan seperti Afganistan, Bangladesh, Bhutan, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan Maladewa. Intensitasnya masih kalah dengan gerakan–gerakan Islam seperti gerakan Hamas di Palestina atau gerakan Wahabi di Arab. Namun, siapa dan apa sebenarnya di balik gerakan–gerakan Islam ini?.
Pertanyaan yang dilontarkan MC, Arika Nurfitriah, ini menjadi awal perbincangan Public Lecture yang digelar oleh Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengusung tema “Apa Setelah ISIS dan Thaliban? Konstelasi dan Orientasi Gerakan Islam di Pakistan dan Indonesia”, yang dihelat di Ruang Teater Lantai 4, Fakultas Ushuluddin. Senin, (27/5/2024).
Wakil Dekan Bidang Akademik, Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dalam sambutannya mengatakan, jika kita memutar memori kembali, maka ditemukan bahwa sebenarnya Eropa Barat lah yang menjadi biang kerok dari munculnya gerakan–gerakan Islam modernis.
“Sebab penjajahan Eropa terhadap negara–negara Islam menjadikan mereka merespon dengan membuat gerakan pembaharuan atau modernisme Islam. Maka darinya perlu untuk mengetahui peta gerakan Islam yang akan memberitahu kita apa sebenarnya orientasi gerakan tersebut, seperti apa cara pandangnya terhadap negara, masyarakat dan budaya,” paparnya.
Dalam diskusi ini hadir dua orang narasumber yang tentunya tidak hanya berasal dari dalam atau intra kampus tetapi juga berasal dari luar. Sebagai pembicara yang memang kompeten di bidangnya, Muladi Mugheni, Lc., LL.M.,Ph.D., Alumni Magister dan Doktoral International Islamic University (IIU), Islamabad, Pakistan, yang fokus bahasan Muladi ialah Konstelasi dan Orientasi Gerakan Islam di Pakistan.
Dalam pemaparan materinya, dia sedikit bercerita ketika masih berkuliah S1 di Al-Azhar, Mesir sangat aktif berkeliling memberikan talkshow dan seminar dalam komunitas Jaringan Intelektual Timur Tengah untuk membandingkan pemikiran–pemikiran Islam di Timur Tengah dan Indonesia.
Disni dia juga memaparkan terkait pengamatannya terhadap potret gerakan–gerakan Islam di Pakistan.
“Gerakan Islam Pakistan yang terbagi kepada Islamisme dan Post Islamisme, lingkup perdebatannya seputar tekstualis dan kontekstualis. Sedangkan jika dibandingkan dengan isu perdebatan di Indonesia adalah seputar formalisme dan substansialisme,” jelasnya.
Jadi apa setelah ISIS?, Ia menambahkan, ISIS itu gerakan internasional yang tidak laku di Pakistan. Menurutnya, Pakistan sendiri sudah punya pemain lokal namanya Taliban Pakistan, jadi ketika yang dari luar, sebutlah Taliban ISIS hendak masuk ke Pakistan maka akan tertolak dikarenakan sudah terisi oleh Taliban lokal dan mereka cenderung bermusuhan.
“Namun, by this side kanal–kanal radikal itu sebenarnya diperlukan dalam konstelasi global selagi masih bisa dicounter. Dan perlu kita belajar dari Pakistan itu, karena dia punya tantangan geopolitik dan strategis dengan India dan Afghanistan. Kalau dia tidak bisa mengcounter ini kemudian dimanfaatkan oleh tetangganya maka mau gak mau para agensi–agensi negara dan pemerintah itu harus memiliki hubungan yang double. In one time mereka harus bisa menundukkan gerakan itu tapi dalam saat yang berbeda dia harus bisa bermesraan untuk bisa menggunakannya sebagai satu kekuatan,” jelasnya lagi.
Tak kalah seru, narasumber kedua Dr. Rahmat Hidayatullah, M.A., selaku Dosen Fakultas Ushuluddin juga sangat bersemangat memaparkan seputar gerakan–gerakan Islam di Indonesia.
“Di Indonesia, apa yang disebut gerakan Islam itu sudah panjang perjalanannya sejak zaman Serikat Islam, ada yang disebut dengan SI Putih dan SI merah, SI Putih itu Agus Salim dan Abdul Muiz sedang SI Merah itu yang komunis seperti darsono, Alimin, Muso,” terangnya.
Rahmat melanjutkan, setelah itu muncul Muhammadiyah 1912, organisasi modernis Islam pertama di Indonesia. Ada juga respon atas modernisme muncullah Nahdhatul Ulama yang di sela–sela mereka ada Al-Irsyad, Persis dan lain sebagainya.
“Kemudian nantinya muncul Partai Politik Islam pertama yang disebut MASYUMI (Majelis Syurau Muslimin Indonesia), di awal-awal masa kemerdekaan dulu baik Muhammadiyah maupun NU pasti partainya MASYUMI,” katanya.
“Jadi gerakan–gerakan Islamis yang kita bahas hari ini, akar–akarnya itu tadi, MASYUMI dan DI yang mendeklarasikan negara Islam Indonesia, nama pemikirnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Nah, ini gerakan Islamis Pribumi, bedanya MASYUMI mengambil jalur konstitusional sedang DI mengambil jalur pemberontakan tetapi sama–sama memimpikan negara Islam,” sambungnya.
Rahmat juga menyebutkan secara sistematis gerakan–gerakan yang lahir berikutnya beserta turunannya dimulai dari DDI, yang kemudian mendirikan LDK, LMD, BMK dan pada akhirnya memproduksi kader–kader baru seperti Faksi Tarbiyah, Faksi Salafi, Faksi Tahriri (Hizbu Tahrir) yang nantinya faksi ini memiliki haluan politik yang berbeda.
“Kurang lebih sama di tahun 80-90an IAIN sedang menernak pemikir–pemikir pembaharu seperti, Harun Nasution dan Nurcholis Majid kemudian dari kelompok tradisionalis ada Abdurrahman Wahid dan Gusdur,” ujarnya.
“Dari merekalah nantinya muncul ekspresi paling radikalnya muncul Jaringan Islam Liberal (JIL) 2001 diterjemahkan oleh Ulil dkk. dan pada saat yang bersamaan, pada tahun–tahun inilah berbagai faksi–faksi Islamis radik muncul di berbagai belahan dunia,” imbuhnya.
Public Lecture yang kali ini di moderatori oleh Rosmaria Sjafariah Widjajanti,S.S. M.Si, selaku dosen Fakultas Ushuluddin mengaku terkesima dengan pemaparan yang dibawakan dan berharap agar diskusi ini menjadi memori baru terkait tambahan wawasan yang perlu dikenang.
Acara ini sukses berlangsung hingga menjelang waktu dzuhur dan disambut hangat oleh beberapa penanya dari jajaran dosen begitu juga turut diramaikan oleh segenap sivitas akademika yang tak mau ketinggalan wawasan baru yang cukup krusial ini.@Man