Majalahteras.com – Anggota TNI AD berinisial WS melakukan kekerasan terhadap Bripda Yoga Vernando, polisi lalu lintas yang bertugas di Pekanbaru, Riau. Dilansir Antara, kejadian berawal ketika WS melintas dengan motor tanpa helm di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, pada Kamis (10/8) kemarin. Bripda Yoga ketika itu sedang melakukan patroli dan motornya bersisian dengan WS.
Berdasarkan keterangan Kapolres Pekanbaru, Kombes Pol Susanto, meski tahu WS melanggar aturan, Bripda Yoga tidak menegur WS. Tanpa alasan yang jelas, Bripda Yoga dihampiri WS yang lantas menabrak motornya. Tidak hanya itu, dalam rekaman video, WS terlihat mendorong motor dan memukul kepala Bripda Yoga yang terlindungi helm.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta maaf kepada Polri. Gatot juga mengatakan bahwa WS mengalami masalah mental sehingga tampak berperilaku agresif.
“Orangnya sudah ditahan. Orang ini mengalami gangguan kejiwaan, tiap minggu konsultasi. Wartawan bisa cek di Rumah Sakit Jiwa, apakah benar sakit jiwa atau tidak,” katanya. Meski WS memiliki rekam jejak masalah mental, proses hukum terhadapnya tetap dilakukan.
Problem gangguan mental di kalangan tentara memang jarang dibicarakan dibandingkan problem serupa di kalangan sipil. Meski demikian, problem ini terus muncul dari waktu ke waktu dan terjadi di berbagai negara. Salah satu bentuk gangguan mental yang acap ditemukan di kalangan prajurit ialah post traumatic stress disorder atau PTSD.
Menurut American Psychiatric Association, PTSD merupakan bentuk gangguan kejiwaan yang menimpa orang yang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis seperti bencana alam, kecelakaan parah, aksi terorisme, perang, perkosaan, atau aksi kekerasan lainnya.
PTSD berbeda dari stres biasa karena seseorang baru bisa dikatakan mengalami PTSD jika gejala-gejala tertentu muncul lebih dari tiga bulan secara terus menerus. Hal itu dijelaskan Firdha Lystia Utami, M.Psi, psikolog yang sempat menangani kasus PTSD di kalangan militer, saat diwawancarai Tirto (11/8/2017).
Ada beberapa gejala PTSD, di antaranya kesulitan tidur, prilaku agresif, dan gangguan pada aktivitas harian lantaran penderita sering mengalami kilas balik kejadian traumatis pada masa lampau. Firdha mengatakan, orang dengan PTSD memiliki gejala yang justru berbeda dengan penderita depresi.
“Orang yang depresi biasanya malah malas beraktivitas, murung, lemas, sementara orang dengan PTSD justru lebih sering terlihat marah-marah atau agresif terhadap sekitar. Hal kecil saja bisa memicu perilaku agresif penderita,” kata perempuan yang berpraktik di RS Ummi Bogor ini.
Pada 2013 akhir, Firdha pernah berpengalaman menghadapi D, seorang prajurit berusia 24 tahun menjadi kliennya. Sejak lulus SMA, yang ayahnya juga bekerja di kantor militer memutuskan untuk menjadi tentara. Menurut cerita ibu D yang memberikan data sekunder untuk observasi yang dibutuhkan Firdha, D menjalani pelatihan militer dengan lancar tanpa masalah.
Baru saat D ditempatkan di daerah Jawa Barat, terjadi konflik-konflik dengan senior yang sampai membuat D harus masuk rumah sakit. Tidak hanya gejala fisik yang terlihat, ibu D juga menyatakan anaknya sering mengalami kesulitan tidur dan lebih mudah marah. Kondisi D diperparah oleh relasi yang kurang mulus dengan tetangga yang juga berlatar belakang militer. Ketika ada orang melintas dengan seragam TNI, D menjadi agresif dan masalah mentalnya ini membuat ia sempat bolak-balik cuti selama 9 bulan.
Berbagai penelitian menemukan bahwa PTSD memang rentan menerpa orang-orang yang hidup di dunia militer. Konteksnya agak lain lain dengan kasus yang dialami WS atau D. Untuk konteks AS, misalnya, Department of Veteran Affairs merilis laporan, sekitar 11-20% tentara yang ikut dalam operasi militer di Irak, 12% yang ikut dalam Perang Teluk, dan 30% yang terlibat dalam Perang Vietnam, mengalami PTSD.
Intensnya paparan kekerasan dalam keseharian tidak cuma terjadi saat tentara terjun ke lapangan atau medan tempur. Di dalam asrama pun kehidupan keras penuh disiplin menjadi santapan sehari-hari untuk membentuk mentalitas prajurit.
“Dalam konteks pekerjaan seperti militer, di mana hierarki begitu kuat, atau dengan kata lain senioritas masih begitu terasa, perundungan dan kekerasan lebih sering ditemukan. Inilah yang menjadi salah satu faktor utama pemicu PTSD. Untuk menghindari PTSD pun agak sulit di sana karena mereka yang telah bergabung cenderung berpikir senior mereka terdahulu pun mengalaminya. Akhirnya kekerasan di asrama menjadi potensial membuat anggota militer mengalami PTSD, di luar situasi traumatis di lapangan,” jabar Firdha.
Associate psychologist di Yayasan Pulih ini juga mengatakan, PTSD semakin mungkin terjadi apabila anggota militer punya riwayat masalah mental sebelumnya. Hal ini perlu menjadi catatan penting dalam sistem perekrutan anggota militer.
“Karena bisa saja orang yang bergabung dengan militer punya rekam medis mengalami depresi, skizofrenia, atau gangguan jiwa lainnya, yang sering luput diperhatikan penyeleksi pada tahapan tes psikologi. Begitu situasi penuh tekanan dialami anggota yang sebelumnya sudah punya masalah mental, mereka dapat meledak atau berperilaku agresif,” ungkap Firdha.
Dalam situs American Psychological Association, terdapat data dari RAND Corporation yang menunjukkan hanya 30% veteran dengan PTSD atau depresi yang mencari bantuan pakar psikologi untuk mengatasi masalahnya. Rendahnya inisiatif untuk berobat disebabkan stigma tentang kesehatan jiwa. Mereka yang ketahuan berobat mental dipandang mengecewakan pihak militer, bahkan berpotensi gagal mendapat promosi jabatan ketimbang mereka yang berobat karena problem kesehatan fisik.
Firdha menambahkan, “Jangankan di tubuh militer, di masyarakat umum saja, datang ke psikolog atau psikiater masih dianggap tabu karena seseorang tidak ingin dianggap ‘gila’.”
Anggapan negatif terhadap proses pemulihan masalah mental ini memang menyulitkan. Salah satu dampaknya: data tentang penyakit mental baik di kalangan sipil maupun militer menjadi sangat tidak memadai.
Ada hal lain yang juga membuat kondisi tentara dengan PTSD semakin sulit. Begitu ia berniat menceritakan pengalaman buruknya kepada keluarga, teman-teman, atau bahkan ke pakar psikologi, ia mesti siap dengan konsekuensi intimidasi dari pihak yang melakukan kekerasan atau tekanan dari institusi. Dalam kasus D, Firdha bercerita bahwa kliennya tak bisa menyembunyikan konflik yang memicu PTSD kepada keluarga lantaran hal itu tampak jelas pada fisiknya.
PTSD dinyatakan Firdha bukanlah masalah mental ringan yang bisa disembuhkan seratus persen. Yang bisa terjadi setelah seseorang menjalani perawatan psikologis adalah reduksi gejala-gejala dalam keseharian.
“Begitu seseorang pernah melakukan konsultasi, dia telah dibekali sejumlah tools untuk mengatasi gejala PTSD-nya. Jadi dia tahu apa yang mesti dia lakukan, misalnya saat sedang agresif,” jelas Firdha. (jems)