Kita Tambah 1 Sistem Lagi
Pers Pancasila sudah dibicarakan secara ilmiah dan konseptual, juga dirumuskan secara sistematis oleh para akademisi dan praktisi pers. Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan Dewan Pers jadi tempat perumusan dan pembahasan ilmiah. Ini berlangsung dari akhir tahun 1970-an sampai tahun 1980-an.
Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat, Wonohito, menyebut Pers Pancasila jadi latar belakang sistem Pers Indonesia. Wonohito merumuskan Pers Indonesia harus berdasarkan Pancasila.
Sebuah bagan ditulisnya, berjudul “Falsafah di Belakang Sistim Pers Indonesia”. (Wonohito, 1977 : 72). Falsafah yang dimaksud Wahono tak lain adalah Pancasila.
“Dalam proses penyusunan berita serta karangan dan muatan lain-lain, pers mengikat Fit To Print kepada kaidah-kaidah yang tersimpul dalam Pancasila” (Wonohito, 1977 : 79).
Wonohito menulis buku berjudul Sistem Pers Pancasila (1977), diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI. Di buku ini, kata dia, “Maka apabila kita ikuti juga jalan pikiran mereka, kepada jumlah 4 dari buku Four Theories itu, bolehlah kita tambah 1 sistim lagi, yaitu Pancasila Press Theory (Wonohito, 1977 : 4).
Wonohito mengangkat kearifan loka sebagai sistem komunikasi massa (Indonesia), yakni tepo seliro. Unsur tepo seliro mengacu pada adat istiadat Jawa khususnya. Tepo seliro menekankan tenggang rasa dan harus dijunjung tinggi. Tepo seliro bisa pula menjadikan manusia mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan tuhan.
Di Indonesia, kota yang mendapatkan gelar City of Tolerance adalah Yogyakarta (2005). Tepo seliro atau tolerance salah satu kearifan lokal di Yogyakarta, yang kemudian dijadikan pedoman dalam sikap toleransi
Tampaknya, Wonohito terinspirasikan tepo seliro, lalu dijadikannya sebagai salah satu sistem komunikasi massa Indonesia. Dengan kata lain, boleh jadi, Wonohito ingin membangun tepo seliro sebagai salah satu “pilar” pers Pancasila.
Teori Pers Pancasila, Religus
Teori Pers Pancasila punya ciri khas, yang tak dimiliki oleh teori pers yang lain, yakni religius. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, inilah pijakan Teori Pers Pancasila.
Teori pers yang ada selama ini (enam teori pers) produk dari bumi belahan barat yang sekuler. Teori Pers Pancasila bolehlah sebagai produk teori pers religius yang mewakili bumi belahan timur?
Dengan mengutip Lawrence Kincaid (1987), Morissan dan Andy Corry (2009 : 3) menyebut bahwa terdapat perbedaan prinsip antara sarjana Barat (Amerika Serikat dan Eropa) dan Timur (Asia) dalam memformulasikan studi komunikasi.
Lawrence menyebut salah satu dari empat ciri studi komunikasi Timur, “Teori Timur menekankan pada penyatuan (kovergensi) antara emosi dan spiritualitas sebagai hasil dari efek komunikasi” ( Morison dan Andy Corry, 2009 : 3).
Teori pers yang ada selama ini (enam teori pers) produk dari bumi belahan barat yang sekuler. Teori Pers Pancasila bolehlah sebagai produk teori pers religius yang mewakili bumi belahan timur. Ini bentuk “aroma” spiritualitas.. Dengan kata lain, boleh ditafsirkan, studi komunikasi Timur punya ciri khas yang lain, religius, yang tak dimiliki cara dan ciri studi komunikasi Barat.
Perumusan Ilmiah
Pemikir dan Pakar Pers Pancasila, Prof. Dr. Anwar Arifin AndiPate, menulis buku Antitesis Teori Pers Pancasila dan Tujuh Teori Pers, edisi kedua, cetakan pertama, tahun 1917.
Buku ini membahas empat teori pers klasik secara lengkap (Liberal, Otoriter, Tanggung Jawab Sosial, dan Komunis Soviet), dua teori pers baru (Pembangunan dan Partisipan-Demokratis), lalu ditambah dengan Teori Pers Pancasila dari halaman 79 – 181.
Terkait dengan Pers Pancasila, Anwar Arifin pun menulis buku lain, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila (diterbitkan oleh Yayasan Media Sejahtera, Jakarta, tahun 1992) dan Karakteristik Pers Pancasila (Lapkom FISIP Univ. Hasanuddin, 1997)
Anwar Arifin, memang, merumuskan dasar ilmiah dan ideologi untuk Teori Pers Pancasila. Anwar Arifin pun termasuk salah seorang perumus dan pengembang konsepsi Pers Pancasila, terutama dari sisi akademik dan filsafat komunikasi.
“Akhirnya, paparan teori Pers Pancasila yang hadir tahun 1990-an sebagai teori pers yang ketujuh, berasal dari beberapa karya Anwar Arifin, diuraikan secara khusus dalam buku ini (Anwar Arifin, 2017 : vi).
Seperti judul buku, Anwar Arifin memasukkannya jadi teori pers ketujuh : Teori Pers Pancasila. Ini perjalanan ke kelas dunia. Kelak, teori Pers Pancasila benar-benar jadi teori pers ketujuh. (Al-Gamereau)





