Majalahteras.com (Kuala Lumpur) – Berita hoax (bohong) merupakan ancaman serius bagi ketahanan kebangsaan masing-masing negara antar bangsa ke depan, termasuk di kawasan Asean. Berita hoax akan menjadi komoditas elit untuk berbagai tujuan kebangsaan bersifat tendensius bagi sesuatu kelompok, khususnya pihak-pihak yang ingin merubuhkan ketahanan kebangsaan yang sudah mapan.
Assoc Prof Dr Baharuddin Aziz, pakar komunikasi internasional berkedudukan di Kuala Lumpur, mengemukakan itu dalam suatu perbincangan khusus dengan Ketua PWI Sumut H Hermansjah SE dan pengurus PWI Sumut lainnya, Jumat (19/10) malam di Hotel Sani Chow Kit Kuala Lumpur, Malaysia.
Guru Besar Universitas Antar Bangsa Malaysia ini hadir bersama sejumlah profesor lainnya saat jamuan makan malam dan diskusi aktual antar bangsa dengan PWI Sumut yang melakukan muhibah ke Malaysia selama 4 hari sebanyak 37 orang. Pertemuan ini difasilitasi Alumni 4 B Malaysia diantaranya Datuk Munawar Bin Haji Nur dan Datuk Wira Haji Jamaluddin Bin Haji Abdul Rahim.
“Hampir seluruh negara, termasuk di kawasan Asean, akan diserang secara gencar oleh ‘hoax’. Ironisnya, generasi muda yang cenderung eforia terhadap melejitnya media sosial sebagian besar condong terpengaruh dan menikmati berita ‘hoax’ secara seronok. Ini yang berbahaya. Dapat merubuhkan sendi-sendi aktual dan faktual, baik di bidang kebangsaan, politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan lainnya,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Baharuddin Azis yang selain di Universitas Antar Bangsa Malaysia juga tercatat mengajar di sejumlah unversitas terkemuka di Malaysia diantaranya University of Technology Mara, pers sebagai komponen strategis kebangsaan harus bangkit dengan kekuatan penuh melawan serbuan hoax antar bangsa. Dalam hal ini, pers Indonesia dan Malaysia dapat menjadi garda terdepan menangkal serbuan itu,
Cikal bakal
Dialog intens antara pers Sumut dengan awak media Ipoh, Perak, yang sudah terjalin konkrit dua tahun terakhir ini, dibuktikan dengan adanya saling berkunjung dan berdialog, baik media Ipoh ke Sumut dan dibalas oleh pers Sumut yang dikoordinir PWI Sumut ke Ipoh ini, menurut Prof Baharuddin, sudah cukup menjadi cikal bakal bagi terbentuknya semacam forum yang akan mengawal informasi berjalan normatif, sekaligus menghempang hoax.
Kekerabatan produktif dan profesional antara PWI Sumut dengan wadah media Ipoh katanya layaknya dikembangkan ke tingkat lebih luas yang tidak hanya mencakup kawasan regional, sehingga secara umum akan terbentuk wadah dialogis anti hoax antara pers nasional Indonesia dengan media Kerajaan Malaysia.
“Wadah ini lah yang akan menjadi garda depan dalam membentuk komunitas jurnalis anti ‘hoax’ antar bangsa minimal di tingkat Asean guna mencerdaskan masyarakat menyikapi setiap informasi, sehingga berita ‘hoax’ akan terpental dengan sendirinya. Dengan kompetensi profesional pers Asean dengan tetap mengedepankan azas cek dan ricek, maka masyarakat akan terbiasa pula cek dan ricek,” ujarnya.
“Saya kira media mainstream sekarang juga harus berkontribusi terus menerus dalam menangkal berita ‘hoax’,” kata Baharuddin yang juga Exco Member International Council of Islamic Finance Educators (ICIFE) Malaysia ini seraya mengharapkan pewarta selalu melakukan konfirmasi dan tabayun agar berita-berita yang ditulis menjadi berimbang serta bisa mengedukasi masyarakat, sekaligus menjadi lembaga kontrol
Menurutnya jika awak media sudah terbiasa “cover both side’ dan melakukan konfirmasi dalam menulis berita, maka media ‘mainstream’ bisa menjadi penangkal berita “hoax”. “Tapi parahnya ada (media massa) yang kemudian justru menjadi pembuat atau penyebar berita ‘hoax’, Ini yang harus dicegah,” ujarnya,
Oleh karena itu, katanya, jika terbentuk komunitas pers anti hoax antar bangsa ini juga menjadi penting dalam pendataan dan sertifikasi para pewarta antar bangsa agar masyarakat mendapatkan kenyamanan menerima fakta-fakta yang diberitakan. “Teman-teman jurnalis harus la berkompeten sehingga pertanyaan-pertanyaannya itu selalu diikuti dengan riset-riset atau pemahaman yang nanti tidak terpenggal agar tidak menjadi informasi yang keliru,” katanya.
Hoax selalu ada
Tren penyebaran hoax terutama melalui dunia maya menurutnya tidak bakal surut dan bakal tetap ada karena efektif digunakan untuk menghantam berbagai kepentingan, termasuk kinerja pemerintahan. Hoax akan selalu ada mewarnai informasi apalagi bila di suatu negara seperti Indonesia sedang menghadapi kegiatan politik akbar atau pesta demokrasi nasional seperti Pilpres dan Pileg 2019.
Untuk menangkal hoax, menurutnya, perlu peran pers yakni dengan menyajikan pemberitaan yang benar, sesuai fakta dan berimbang. Media mainstream harus jelas dan tegas menjunjung profesionalisme pers. Pers harus independen, memihak kebenaran dan kepentingan rakyat, serta tidak takluk pada kepentingan pemodal.
“Meski jurnalisme mainstream masih ‘patuh’ kepada regulasi dunia pers, namun kekentalan keberpihakan tetap mudah terbaca,” katanya. Pada akhirnya muncullah euforia terhadap jurnalisme warga yang tanpa batas. Apalagi kemudahan dalam mengakses teknologi semakin meningkat. Maka, setiap orang berhak menentukan sikap terhadap bacaannya.
Namun dia menegaskan, kehadiran medsos sebagai manifestasi dari perkembangan teknologi internet tak bisa dielakkan. Setiap individu dapat dengan sangat mudah dan murah mengakses internet melalui ponsel atau smartphone. Belum lagi berbagai layanan dan aplikasi sehingga kehadiran medsos menjadi sangat menggiurkan dibanding media arus utama.
Namun dia optimis kuatnya dominasi medsos tak serta merta membuat publik meninggalkan media mainstream. Media arus utama bisa menjadi pembanding. “Dalam hal ini media mainstream menjadi bagian mengedukasi publik memilih informasi dari media yang kredibel,” ujarnya. (rel)