Pantaskan Meminta Prioritas?
Perusahaan-perusahaan media harus mencari solusi menyelamatkan kelangsungan bisnisnya, termasuk bagaimana mengelola keadaan dengan segala tekanan yang dihadapi untuk bertahan hidup.
Sementara itu kondisi di berbagai level penyelenggaraan pemerintahan juga menuntut penyesuaian-penyesuaian. Anggaran dinas-dinas pemerintah harus beradaptasi. Dari biaya perjalanan dan operasional kegiatan, perencanaan pembangunan yang tidak mungkin direalisasi, hingga ide untuk memotong pendapatan pegawai eselon tertentu.
Melihat kondisi seperti itu, apakah
pantas media-media meminta prioritas?
Ini sebenarnya merupakan persoalan sudut pandang. Apabila pers diposisikan sebagai barisan terdepan yang ikut mengawal penyampaian informasi dan pendidikan kepada publik, tentu jalan pikiran penyelamatan tidak berlebihan. Juga wajar, apabila pers diposisikan sebagai penyeimbang untuk mengontrol langkah-langkah pemerintah. Jadi bukan merupakan ungkapan kemanjaan jika pers mendorong bentuk-bentuk “subsidi kemitraan” dari pemerintah untuk menjaga eksistensinya.
Konsekuensi nalar kritis kemerdekaan pers boleh jadi akan mempertanyakan: apakah prioritas kemitraan itu tidak akan mempengaruhi independensi media?
Wajar juga, karena “ketergantungan” pada model kerja sama untuk menopang kehidupan media itu bisa melemahkan posisi tawar pers. Tuntutan psikologis harus begini dan begitu dikhawatirkan menjebak media hanya memformulasikan model-model pemberitaan yang bersifat “terarah”.
Namun akan ada kemungkinan positif ketika seorang kepala daerah memahami hakikat kemerdekaan pers, sehingga dia memaknai bahwa kerja sama apa pun tidak lantas diikuti “klausul formal maupun nonformal” untuk hanya menginformasikan yang baik-baik saja tentang berbagai kebijakan pemerintahannya.