majalahteras.com – Sawit yang menjadi berkah buat ekonomi ditengarai memicu kenaikan suhu permukaan tanah di Indonesia. Temuan tersebut diungkapkan ilmuwan setelah mempelajari dampak pembukaan lahan di Sumatera selama 15 tahun.
“Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi tanaman keras seperti sawit dan karet, memiliki efek peningkatan panas pada (suhu) permukaan, menambah perubahan iklim,” kata Profesor Alexander Knohl dikutip dalam laman European Geosciences Union.
Knohl, peneliti internasional yang telah merilis hasil risetnya di Jambi Sumatera dalam jurnal Geosciences, Rabu, 25 Oktober 2017, menyebutkan, hasil itu didapat mereka dengan meneliti perbedaan suhu untuk permukaan tanah mulai dari hutan, lahan yang sudah ditebang, dan perkebunan tanaman keras.
Sebuah studi yang digalang Universitas Göttingen baru-baru ini menemukan industri sawit memicu kenaikan suhu permukaan tanah. Berdasarkan pengamatan ilmuwan antara 2000 hingga 2015 di Jambi, alihfungsi hutan membuat suhu rata-rata meningkat sebanyak 1.05 derajat Celcius, sementara suhu di kawasan hutan hanya meningkat 0.45 derajat Celcius.
Lalu, untuk perkebunan sawit yang sudah dewasa ada peningkatan suhu 0,8 derajat dan 6 derajat untuk perkebunan sawit muda dibanding kawasan hutan. Berangkat dari perubahan suhu di setiap bentuk tutupan lahan itu, didapati bahwa secara keseluruhan di Jambi Sumatera, ada peningkatan suhu sebesar 1,05 derajat celsius dalam rentang waktu tahun 2000 hingga 2015.
“Efek pemanasan yang kuat di Jambi ini dapat menjadi indikasi perubahan suhu permukaan di wilayah lain di Indonesia di masa depan,” kata Knohl.
Untuk itu, ia mengingatkan agar pemerintah Indonesia dapat lebih bijak menyikapi rencana perubahan peruntukan lahan yang lebih besar. Sebab, kondisi suhu permukaan tanah menjadi bagian penting dari iklim mikro yang menjadi awal mula pembentukan habitat tanaman dan hewan. Ada perubahan sedikit saja pada suhu itu, maka ia akan menjadi potensi membahayakan bagi sebuah habitat ke depannya, termasuk kerentanan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
“Penggunaan lahan di Indonesia saat ini perlu dievaluasi secara cermat. Kondisi suhu permukaan tanah dan iklim mikro harus dipertimbangkan,” kata Knohl.
Berapa harga kemakmuran? Hampir saban tahun Indonesia menerima devisa lebih dari 200 triliun Rupiah dari perdagangan kelapa sawit. Ambisi pemerintah menjadi raksasa sawit dunia membuahkan lahan perkebunan seluas 11.7 juta hektar yang akan terus membesar. Tahun lalu saja Indonesia memproduksi 34,5 juta ton sawit, terbesar di dunia.
Lahan gundul bahkan tercatat 10 derajat Celcius lebih hangat ketimbang hutan. Adapun perkebunan sawit memicu kenaikan suhu antara 0.8 derajat Celcius hingga 6 derajat Celcius. “Permukaan tanah juga menerima lebih banyak radiasi matahari dan meranggas lebih cepat,” tulis ketua tim ilmuwan Clifton Sabajo.
“Efek pemanasan yang kami temukan di Jambi bisa menjadi indikasi perubahan di masa depan terhadap suhu permukaan tanah di kawasan lain di Indonesia yang mengalami alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit,” kata Sabajo.
Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, luas area hutan yang diubah menjadi perkebunan sawit mencapai 689.966 hektar dengan kapasitas produksi sebesar 1,.6 juta ton/tahun.
Pemerintah Indonesia sejauh ini bersikap sensitif terhadap kritik kepada industri sawit di tanah air. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi misalnya kerap menyebut “kampanye hitam” terhadap industri sawit nasional ketika berpergian ke Eropa.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bahkan menyebut ada upaya tersetruktur dan sistematis untuk menghambat produksi sawit di Indonesia.
Kenyataannya, menurut Alexander Knohl, “Suhu permukaan tanah adalah bagian penting dari iklim mikro di kawasan yang mempengaruhi kondisi habitasi untuk tanaman dan hewan.” Menurut studi tersebut kenaikan suhu permukaan tanah turut menciptakan kelangkaan air di musim kemarau sehingga berdampak pada keragaman hayati.
“Perkembangan alih fungsi lahan di Indonesia harus pula mengevaluasi semua aspek lingkungan dan konsekuensi sosio-ekonomi. Suhu permukaan tanah dan iklim mikro harus pula dipertimbangkan,” ujarnya.@MAN