Pendidikan Karakter Tangkal Radikalisme

oleh
oleh -

majalahteras.com – Gencarnya infiltrasi ideologi radikalisme perlu ditangkal dengan menguatkan pendidikan karakter pada anak. Terutama pada nilai-nilai nasionalis yang meliputi cinta pada Tanah Air, menghargai keberagaman, menghormati perbedaan keyakinan, bangga menjadi bangsa Indonesia serta berintegritas dan bertanggung jawab.

Staf ahli Mendikbud Bidang Pembangunan Karakter Arie Budhiman mengatakan, radikalisme di kalangan pelajar memang perlu menjadi perhatian dan perlu dicegah penyebarannya.

Namun dia menegaskan bahwa tidak bisa juga kalau ada hasil survei suatu lembaga yang menggeneralisasi bahwa pelajar-pelajar saat ini sudah berpaham radikal.

”Secara teknis survei harus dilihat lagi apakah respondennya representatif dan hasilnya valid,” katanya.

Mantan Kadis Pendidikan DKI Jakarta itu melanjutkan, di sisi lain survei ini penting agar pemerintah dan masyarakat lebih meningkatkan pertumbuhan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Baca Juga  Paskibra Kecamatan Cipondoh Akan Helat Lomba Baris-Berbaris se-Jabodetabek

Menurut Arie, PPK menjadi program pemerintah untuk menangkal radikalisme di kalangan pelajar. Implementasi PPK dilakukan secara bertahap. Pada 2017 Kemendikbud menargetkan 1.626 sekolah sebagai rintisan PPK yang akan memberi dampak pada sekira 9.830 sekolah di sekitarnya.

Sementara itu, menyematkan stigma negatif ke kalangan pelajar dan mahasiswa dinilai tidak bijak karena bisa mengikis optimisme pada hal-hal yang positif.

Seperti halnya menyematkan stigma radikalis di kalangan pelajar dan mahasiswa yang justru akan berefek pada lingkungan sosial dan mengganggu tumbuh kembang generasi muda yang sedang dalam tahap pencarian jati diri untuk menjadi manusia yang mandiri.

Baca Juga  HUT PGRI Ke-73, Kecamatan Pabuaran Gelar Serangkaian Kegiatan

Demikian penilaian dari pakar pendidikan Doni Koesoema menanggapi survei ”Potensi Radikalisme di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa” yang dilakukan oleh Alvara Research Center.

”Kenapa penyematan radikalisme itu tidak tepat? Karena itu bisa menimbulkan efek negatif, bisa disamakan dengan ekstremis dan lain-lain yang meng arah pada hal negatif. Penyematan radikalis itu para meternya tidak jelas.,” kata Doni Koesoema.

Sebenarnya atas dasar pertanyaan apa kemudian itu disebut radikal? Belum lagi dari sisi bahasa dimana seorang yang punya pemahaman radikal dalam beragama juga belum tentu negatif karena artinya memahami nilai dan ajaran agama hingga ke akarnya. Demikian juga ketika radikalis itu disandingkan dengan kelompok fundamentalis yang selalu merujuk pada ajaran awal dari apa yang diyakini dalam paham keagamaannya.

Baca Juga  Masa Pandemi, Hindari Paparan Covid-19 dengan Adaptasi Teknologi

”Artinya tidak bisa begitu saja boleh menyematkan cap radikalis kepada mereka hanya dengan mengacu pada pertanyaan setuju atau tidak terhadap penerapan perda syariah misalnya, kemudian ketika setuju diasumsikan bahwa kelompok itu juga bagian dari yang setuju dengan paham jihad melalui bom bunuh diri. Itu tidak clear,” katanya.

Menurut dia, tidak bisa disimpulkan kelompok tertentu sebagai radikalis, termasuk dalam hal ini kalangan pelajar dan mahasiswa, dengan cara melakukan suatu riset yang para meternya tidak jelas dalam men defisinikan apa yang disimpulkan itu.@JEMS