MAJALAHTERAS.COM-Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku, untuk mengambil suatu keputusan, pihaknya masih tetap berpegang, antara lain pada informasi dari media massa nasional terbitan Jakarta, dari pada media sosial. Percakapan riuh rendah di media sosial, dinilai seringkali remeh temeh, dan bukan yang dipikirkan okeh masyarakat Jakarta sehari-hari, yaitu air bersih, transportasi, harga kebutuhan pokok (beras, telor, ayam, daging, dll) dan lapangan pekerjaan.
Sebaliknya di Bogor, Wali Kota Bima Arya Sugiarto dalam melakukan tugas dan mengambil keputusan sehari-hari justru lebih banyak mendengar suara media sosial, dari pada media massa lokal.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengakui bahwa media pers kini sedang memasuki ambang transisi akibat kemajuan teknologi digital. Untuk menjawab tantangan teknologi itu, menuntut tersedianya para wartawan profesional yang memahami teknologi dan model jurnalisme yang mengarah pada konvergensi dan multi platform. Karena itu program peningkatan profesionalitas melalui uji kompetensi dan sertifikasi wartawan menjadi penting. Setiap media dituntut mengembangkan visi misi futuristik yang bisa melampaui jaman. Di era transisi menuju Teknologi 4.0. pers harus bertransformasi dari penadah iklan menjadi pengembang iklan. Saat ini masih ada banyak media didirikan hanya untuk menarik jatah dana APBD dari pemda-pemda.
Ketiga tokoh ini berbicara dalam seminar di Jakarta, 22 Januari 2019, dengan tema “Peranan Pers pada Era Digital dan Mendukung Pembangunan Daerah”. Pilihan tema ini, menurut Ketua Umum PWI Pusat Atal S. Depari, agar bisa melihat peran pers dalam pembangunan daerah. Seminar ini sebagai puncak Rapat Kerja PWI masa bakti 2018-2019. Sekaligus menyongsong peringatan Hari Pers Nasional Indonesia (HPN) 6-9 Februari 2019 di Surabaya, Jawa Timur.
Justru Memerlukan Tekanan Pers
Menurut Anies, Jakarta sebagai daerah, media-medianya mempunyai irisan dengan media-media nasional. Itu sebabnya, ada hal remeh, misalnya, tiba-tiba bisa menjadi isu nasional. Pada masa Orde Baru, ketika pemerintah menjadikan informasi sebagai propaganda tentang capaian-capaian pembangunan, untuk mengonfirmasi kebenaran tanyanya ke media massa. Saat ini kondisinya terbalik. Dengan adanya tsunami informasi (baca membanjirnya informasi) termasuk berita bohong (hoax),pemerintah memegang otoritas verifikasi.
Anies mengakui, dalam memimpin Jakarta selama satu tahun lebih ini, mengakui tidak sepi dari berbagai kritik. Lalu kritik-kritik itu di data, diteliti dan dipelajari. Kesimpulan itu tadi, bahwa yang ramai di media sosial, bukan yang menjadi kepentingan mendasar masyarakat Jakarta. Oleh karena itu, ia minta media massa dan media sosial, menemani dirinya dalam membangun Jakarta dan menjadikan warga jakarta sebagai co-creator yang menjadi sumber solusi, Anies juga meminta “Pemerintah (DKI Jakarta-red) perlu mendapat tekanan dari media massa maupun media sosial, dengan tema-tema yang penting dan mendasar.”
Bagi Wali Kota Bogor, media-media sosial yang lucu, konyol, kasar, ngawur, bohong, tapi kadang juga ada benarnya, dapat ia jadikan wahanan untuk mendeteksi realitas yang terjadi di lapangan. Sementara itu ia juga menggunakan media sosial (instragram, facebook, website, whatsapp dll) untuk berkomunikasi dengan para warga Bogor. Sehingga bisa mewujudkn Bogor seperti hari ini. (Rls)