Pasca Covid-19, Indonesia Lepas dari Cina dan Amerika?

oleh
oleh -

Pasca covid-19, apakah Indonesia mampu lepas dari Cina dan Amerika dalamarti kerjasama internasional terutama kerjasama ekonomi dan perdagangan? itu tidak akan mungkin, demikian dikatakan Moh. Ikhsan Kurnia M, penggiat sosial.

Menurutnya, pasca pandemi, kerjasama internasional akan tetap dilakukan oleh semua negara. Memang, setiap negara dituntut untuk membangun kemandirian dalam negerinya masing-masing, tapi tidak berarti mereka menjadi negara yang mengisolasi diri dan tidak mau terlibat dalam pergaulan internasional. “Dan menurut saya Indonesia juga tidak boleh mengisolasi diri,” tandasnya.

“Kalau lepas dalam pengertian lepas dari kooptasi atau hegemoni Cina atau Amerika, itu semua tergantung dari willingness pemerintah. Karena pemerintah lah yang memiliki kekuasaan dan otoritas penuh mau dibawa kemana negara ini,” katanya.

Ditambahkan Ikhsan, idealnya, hubungan dan kerjasama internasional antar negara itu bersifat equal. Termasuk antara Indonesia dengan Tiongkok dan dengan Amerika. Tapi itu hanya berlaku jika kedua negara sama-sama kuat, atau sama-sama lemah. Sementara gap Indonesia dengan Tiongkok maupun dengan Amerika itu cukup curam dari sisi kekuatan ekonominya. Saat ini Amerika dan Tiongkok adalah dua gajah.

“Jadi, kalaupun untuk berposisi equal belum bisa, menurut saya kita harus berusaha untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi secara perlahan pengaruh hegemonik dari kedua negara tersebut. Lagi-lagi itu tergantung willingness pemerintah. Menurut saya bisa, meski tidak mungkin dilakukan secara frontal dalam waktu cepat. Harus perlahan-lahan, dengan strategi yang cerdas,” urainya.

Baca Juga  Dandim 0602/Serang Cek Hasil Kegiatan TMMD

Dalam kacamata Ikhsan, melepaskan diri dari hegemoni Tiongkok maupun Amerika sama-sama sulit. Tapi harus tetap diupayakan secara perlahan. Terutama dari hegemoni Tiongkok. Bagi Ikhsan, sebusuk-busuknya negara demokrasi liberal seperti Amerika masih lebih mending dibanding negara komunis seperti Tiongkok.

“Hari ini, secara ekonomi baik Amerika maupun Tiongkok sama-sama kapitalis. Tapi secara politik, keduanya tetap berbeda. Secara politik Amerika tetap dominan liberalnya, dan Tiongkok tetap dominan komunismenya. Meski kalau kita kaji lebih dalam, ideologi politik tersebut sebetulnya juga sudah tidak lagi murni. Sebetulnya secara faktual yang terjadi adalah ideologi pragmatisme. Tapi mengatakan bahwa komunisme Tiongkok sudah pudar juga keliru. Demikian pula liberalisme Amerika.

“Saya ulangi lagi, bahwa sebusuk-busuknya negara demokrasi liberal seperti Amerika masih lebih mending dibanding negara komunis seperti Tiongkok. Itu pandangan saya. Artinya, kalau terpaksa harus memilih, saya memilih untuk melepaskan diri lebih dulu dari hegemoni Tiongkok. Seburuk-buruknya kelakuan negara liberal, masih ada ruang kosong kebijaksanaan dan kelonggaran kompromi. Setidaknya, ada check and balances. Presiden Amerika juga dipilih secara demokratis, dan memungkinkan terpilihnya orang-orang seperti Obama, tidak melulu model seperti Bush atau Trump. Ya meski saya juga tahu ada Yahudi di balik Amerika. Tapi Yahudi hanya dominan dari sisi pengaruh, terutama pengaruh pemikiran dan kapital. Masyarakat Amerika sendiri plural,” paparnya.

Baca Juga  Barang Terlarang di Kamar Napi Lapas Cilegon Diamankan Petugas

Sebaliknya, sebut Ikhsan, Tiongkok itu lebih sulit. Negara komunis kalau sudah mencengkeram, sulit dilepas. Secara agama mereka juga mayoritas atheis. Orang atheis itu lebih berbahaya.

“Jadi, secara sederhana, kedua negara itu punya dua hal. Pertama, watak. Kedua, perilaku. Taruhlah Tiongkok dan Amerika sama-sama berperilaku jahat. Tapi, perilaku itu bisa berubah sesuai dengan kebijakan yang diambil. Namun, watak dasar itu sulit berubah. Watak dasar komunisme itu otoriter, sulit diajak kompromi, dan secara natural sangat hegemonik. Sementara watak dasar liberalisme itu memberi ruang untuk berkompromi. Jadi kalau dihitung-hitung, mudharatnya Tiongkok lebih besar dibanding dengan mudharatnya Amerika,” tuturnya.

Lebih jauh lagi bicara the new normal dan the old normal. Ikhsan menganggap hal tersebut adalah pergeseran cara hidup (cara bekerja, cara belajar, cara bersosialisasi, dan lainnya).

“Nah, seberapa besar dan seberapa cepat pergeseran dari the old normal kepada the new normal itu ditentukan oleh banyak variabel. Untuk lebih menyederhanakan, saya bagi menjadi 2 variabel. Pertama, variabel eksternal. Ini sangat ditentukan bagaimana nantinya dunia global berubah. Apakah mereka akan masuk pada the normal secara radikal, ataukah moderat, ataukah berlangsung slow. Situasi itu akan mempengaruhi the new normal yang terjadi di Indonesia. Kedua, variabel internal. Variabel internal ini terdiri dari dua dimensi, yakni struktural dan kultural.  Struktural adalah kemauan dan usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara), sedangkan kultural adalah kemauan dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat,” jelasnya.

Baca Juga  Keren! Napi Lapas Kelas IIA Cikarang Diberikan Pelatihan Membuat Oncom

Namun demikian diterangkan Ikhsan, perubahan yang terjadi dapat  secara struktural maupun kultural. Tapi secara faktual tidak semudah itu. Ada banyak barriers yang menghambat perubahan.

“Dari sisi struktural, kita tahu pemerintah kita ditopang oleh para elit politik yang cenderung mementingkan  diri sendiri dan kelompoknya, serta daya dukung birokrasi yang tidak efektif, bahkan masih cenderung korup. Dari sisi kultural, masyarakat kita terbilang sulit untuk berubah. Kemiskinan dan kebodohan masih cukup dominan, apalagi kemiskinan dan kebodohan tersebut juga terjadi secara struktural akibat ketidakbecusan negara membangun kualitas SDM rakyatnya,” katanya.

“Kita memang punya SDM unggul dari kelompok milenial terdidik, tapi prosentasenya masih jauh lebih kecil. Prediksi saya, mungkin cenderung pesimistis. Tapi saya berharap prediksi saya keliru. Saya memprediksi, perubahan dari the old normal ke the new normal pasti akan terjadi di Indonesia tapi tidak akan terlalu agresif dalam waktu dekat dan berlangsung secara lambat. Bonus demografi baru akan kita petik dalam 10-20 tahun lagi. Memang ini memberikan harapan, tapi kualitas mereka akan sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan hari ini. Jika persiapan kita hari ini buruk, maka hasilnya bukan bonus, tapi minus, dan hanya akan jadi beban populasi masa depan,” tutup Iksan diakhir perbicangan. (PAN)