Kaum Sofis di Yunani mengembara, keluar masuk kota, suatu zaman sekira 400 tahun sebelum masehi (SM). Mereka mengajari rakyat tentang politik dan pemerintahan dengan cara berdialog. Kaum Sofis berkampanye, Pemerintah harus berdasarkan suara terbanyak – yang kelak kita kenal dengan nama demokrasi.
Masih di Yunani, Demosthenes (384 – 322 SM), seorang orator dan politisi, gigih mempertahankan kemerdekaan Athena atas ancaman Raja Philipus dari Macedonia. Ketika itu, sudah jadi anggapan umum, bahwa di tempat mana pun ada sistem pemerintahan yang berdaulat, maka di situlah harus ada pemilihan berkala, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Satu hal yang seakan jadi keharusan, dan sekaligus jadi ciri kelebihan para calon pemimpin, yakni mahir berbicara di depan umum, alias ahli berpidato. Harus jadi “Singa Podium”
Lalu, kaitan mahir berpidato, keterpilihan jadi pemimpin, dan demokrasi? Semuanya jadi tali-temali. Seseorang yang ingin terpilih jadi pemimpin, dalam sebuah pemerintahan dari rakyar, oleh rakyat, dan untuk rakyat itu, maka haruslah jadi orator, mahir ber-orasi atau berbicara, mahir meyakinkan khalayak.
Kegiatan kampanye dalam rangkaian pemilihan atau pemilihan umum di Indonesia adalah kegiatan politik. Ini upaya meyakinkan khalayak agar mau menggunakan hak pilih untuk yang bersangkutan. Untuk kepentingan itu, antara lain, ditempuh melalui pidato.
Zaman Demosthenes, kita pastikan ada kampanye pemilihan, ada orasi, ada debat, atau pidato politik, mungkin juga ada pembagian alat bahan kampanye seperti di kita sekarang ini. Tetapi, kita pastikan, tak akan ada debat publik di televisi karena memang dewasa itu belum ada si Kotak Ajaib.
Ada 61 naskah pidato Demosthenes yang terkenal, yang sampai kini masih tersimpan di museum. Pidatonya yang terindah adalah sambutan ketika berhasil menyingkirkan lawan politiknya, Aichanes. Judul pidatonya yang disampaikan di hadapan rakyat pemujanya itu, cukup romantis, “Tentang Karangan Bunga”.
Untuk apa pidato? Kata Protagoras (500 – 430 SM), pidato itu bukan untuk kemenangan, melainkan untuk keindahan bahasa. Lain lagi kata Socrates (496 – 339 SM), pidato untuk kebenaran melalui dialog. Lengkap rasanya kalau disatukan, pidato itu untuk kebenaran, tetapi ditempuh melalui keindahan. Para calon dan juru kampanye pemilihan atau pemilu kelak, agakya, bisa berguru kepada Protagoras dan Socrates sekaligus.
Demosthenes, jauh sebelum jadi orator, sesungguhnya dirundung malang terlebih dahulu. Lelaki yang ayahnya pun bernama Demosthenes ini, sesungguhnya gagap bicara. Pernah menanggung malu ketika diturunkan khalayak saat berpidato.
Demosthenes kemudian mengasingkan diri untuk belajar pidato. Demosthenes berbicara di pantai, pada pasir putih. Gelombang dahsyat dilawannya dengan teriakan sekeras-kerasnya. Demosthenes menyumpal mulutnya dengan kerikil, lalu berpidato sejadi-jadinya. Rambutnya dicukur habis, tetapi sebelah, supaya malu ke luar dari gua tempat tinggalnya.
Tekadnya yang kuat itu, dan dengan cara belajar yang tak lazim, suami dari seorang perempuan bernama Skyth ini memang akhirnya jadi ahli pidato, jadi orator, jadi juru kampanye yang mahir dan menyihir massa.
Pidatonya tanpa bunga-bunga, jelas dan keras. Narasi dan argumentasi digabungkannya dengan baik. Salah satu kebiasannya, kalau naik mimbar, Demosthenes meletakkan tangan di dahinya. Isyarat sedang berpikir.
Suatu waktu, lawan politiknya, Aichanes, kalah dalam persidangan tentang pantas tidaknya Demosthenes diberi penghargaan oleh Pemerintah. Aichanes mengasingkan diri, jadi guru pidato yang miskin. Demosthenes tahu, lalu mengirim sejumlah uang kepada penentangnya itu, hanya atas nama sesama kaum profesional ahli pidato (juga sesama politisi). “Pabrik” manusia model Demosthenes, agaknya, kini sudah tutup.
Demosthenes pernah memberontak untuk membantu Athena agar bebas dari kekuasaan Macedonia yang didukung Aristoteles. Demosthenes gagal memberontak, ditangkap, dan dipenjara pada tahun 322 SM.
Demosthenes melarikan diri, lalu ditemukan sudah tak lagi bernyawa. Banyak yang menyebut, Demosthenes bunuh diri dengan minum racun pada usianya yang ke-65 ini. Di Athena, ada patung Demosthenes yang dibangun masyarakat setempat. Di situ tertulis (Tambunan, 210 : 32), “Hai Demosthenes, andaikan engkau memiliki cukup kekuasaan seperti kebijaksanaanmu, maka tak pernah Raja Macedonia akan menjadi penguasa bangsa Yunani”.
Tak semua orang diberi kekuasaan dan sekaligus kebijaksanaan, memang. Kalau seorang penguasa ingin melengkapi dirinya dengan kebijaksanaan, atau seorang bijaksana ingin melengkapi dirinya dengan kekuasaan, tentu, normal.
Orang Athena mungkin benar, kalau kekuasaan dan kebijaksanaan tak dimiliki sekaligus, negara akan mudah dikuasai orang lain, seperti halnya Athena yang mudah dikuasai oleh Raja Makedonia. Kata orang, kekuasaan itu lebih nikmat dari seks. Duh… pantas kalau ada yang ingin terus berkuasa, dan tak pernah kenyang berkuasa….(Dean Al-Gamereau)