JAKARTA— Penetapan Jokowi sebagai salah satu nomine presiden terkorup atau tokoh terkorup di dunia oleh lembaga Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menimbulkan kontroversi.
Ditemui di ruang kerjanya, di kampus II Swadharma – Ulujami, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Muhammad Saefulloh memberi tanggapan mengenai kontroversi OCCRP ini.
Menurutnya, ada beberapa alasan, pertama yang harus dilihat adalah ukurannya apa, indikator pengukurnya apa, jadi OCCRP ini menetapkan orang-orang yang masuk sebagai nominator presiden terkorup atau penguasa terkorup atau tokoh terkorup dunia itu dengan ukuran apa?
“Selama ini yang menjadi ukuran sebuah negara itu korup atau pemimpinnya korup adalah coruption indeks atau indeks korupsi,” kata Saefulloh.
Saefulloh mengungkapkan bahwa indeks korupsi Alat ukurnya adalah pelayanan publik. Ketika seorang presiden, seorang gubernur, seorang walikota itu bisa memerintah dengan pelayanan publik yang tingkat korupsi rendah, maka indeks korupsinya pun rendah.
Menurut Saefulloh, OCCRP ini tidak jelas menggunakan ukuran yang mana untuk menetapkan orang-orang termasuk Presiden Jokowi itu sebagai penguasa atau tokoh terkorup di dunia.
Alasan yang kedua, lanjut Saefulloh untuk individu atau kelompok yang setuju itu, mungkin melihat dari penegakan hukum. Bisa masuk akal ketika dilihat dari penegakan
hukum selama memimpin di Indonesia, selama menjadi presiden di Indonesia.
“Bagaimana penegakkan hukum? Bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia? kita lihat kan selama 10 tahun, Jokowi memimpin yang muncul di permukaan adalah isu dilemahkannya atau semakin lemahnya fungsi KPK”, kata Saefulloh.
Bahkan menurutnya, kasus terakhir itu, ketua KPK sendiri pun menjadi tersangka korupsi. Atau tentang pelanggaran konstitusi, kasus MK misalnya, mungkin hal-hal tersebut yang mungkin bisa saja menjadi ukuran bagi OCCRP.
“Namun hal tersebut harusnya dielaborasi dan dijelaskan kepada publik,“ ungkapnya.
Alasan yang ketiga menurut Saefulloh, bisa juga menjadi wajar kalau OCCRP menetapkan tokoh-tokoh tersebut menggunakan jaringannya sendiri.
“Jangan lupa OCCRP itu adalah lembaga jurnalis investigasi yang khusus untuk crime dan corruption. Jadi mungkin saja jurnalis-jurnalis yang tergabung dalam keanggotaan mereka itu melihat Jokowi atau tokoh tokoh tersebut dari perspektifnya mereka”, ungkap Saefulloh.
Saefulloh membeberkan, menurutnya tentu saja perspektif jurnalis itu yang mungkin tidak sama dengan dengan perspektif masyarakat. Jadi Saefulloh berpendapat kesimpulannya adalah penetapan Jokowi dan tokoh-tokoh tokoh dalam posisi sebagai penguasa atau tokoh terkorup, ya bebas- bebas saja.
“Cuma yang harus diperhatikan adalah ukurannya apa gitu. Harus ditegaskan sehingga tidak menimbulkan kontroversi”, kata Saefulloh.
Kalau mengutip komentar pak Jokowi di berbagai media, “ini adalah sebuah framing yang jahat”. Jadi, tidak perlu diambil pusing”.
“Mungkin maksudnya seperti hembusan angin yang nantinya juga tidak akan terdengar lagi, karena OCCRP pun bukan sebuah lembaga yang yang bisa berpengaruh dan mempengaruhi kebijakan publik secara umum,” tutur Saefulloh sebagaimana disampaikan kepada media jaringan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).