Perspektif Komunikasi Massa
Haditsul ifki (kabar bohong Safwan dan Aisyah) boleh dikategorikan sebagai studi klasik tentang kasus hoaks yang paling mematikan dalam sejarah masyarakat Madinah khususnya.
Fitnah keji sempat pula mengguncang kota yang sebelumnya bernama Yasrib itu. Padahal, dengan bisik-bisik dari mulut ke mulut yang berbau tak sedap, lalu didengar oleh telinga-telinga yang menganga, telinga-telinga yang tak sabar.
Aktor intelektual fitnah. Abdullah bin Ubay bin Salul. Langkah-langkahnya dalam mengelola fitnah itu menarik dianalisis lebih dalam. Teori komunikasi massa modern, tampaknya, cocok untuk menganalisis gerak langkah Abdullah bin Ubay.
Fitnah produksi tokoh sentral kaum munafik itu, antara lain, mengandung dan mengundang. Dari fitnah itu, antara lain, lahirlah Yellow Journalism, Political Propaganda, Hoax Manufacturing, News Framing & Agenda Setting, Character Assassination, dan Disinformation Ecosystem.
Komunikasi, Kerangka Kerja Lasswell
Ada lima unsur komunikasi, seperti yang dilukiskan Lasswell, sampai-sampai, disebut Lasswellian Frame Work (Kerangka Kerja Lasswell). Siapa Lasswell? Seorang pakar ilmu komunikasi. Nama lengkapnya, Harold Dwight Lasswell (1902 – 1978). Bapak dari Lima Bapak Ilmu Komunikasi Dunia, yang juga dijuluki Universitas Satu Dunia itu, merumuskan lima elemen penting komunikasi, yang kemudian disebut Lasswellian Frame Work itu. Kelima unsur itu, siapa (komunikator) mengatakan apa (pesan) dengan saluran apa (media) kepada siapa (komumnikan atau penerima pesan), dan efek (pengaruh).
Dalam haditsul ifki (kabar bohong), komunikatornya adalah kelompok Abdullah bin Ubay bin Salul. Pesannya, fitnah terhadap Aisyah dan Safwan. Salurannya, ruang terbuka. Komunikannya (sasarannya), khalayak umum. Efeknya atau pengaruhnya, runtuhnya kehormatan keluarga Rasulullah SAW.
Abdulllah bin Ubay, Jurnalisme Modern
Dalam perspektif (teori) jurnalisme modern bisa disebutkan, Abdullah bin Ubay berperan sebagai the source (sumber informasi awal), the amplifier (penyebar kepada kelompoknya untuk kemudian diteruskan kepada khalayak), dan the agenda setter (penentu isu untuk pembentukan opini publik).Ketiga unsur itu tali-temali, dan merupakan sebuah sistem “Jurnalisme Abdullah bin Ubay”.
Teknik jurnalisme (kalau boleh disebut begitu) yang dilakukan Abdullah bin Ubay, (a) framing conflict. Ia selalu membingkai isu dalam bentuk konflik. Muhajirin lawan Ansar, Nabi lawan elit lokal, mayoritas lawan minoritas, (b) emotional triggering, Ia sadar rumor tentang kehormatan perempuan akan memicu emosi paling cepat. Ini sesuai teori propaganda use moral panic to weaken trust, (c) character assassination. Targetnya bukan Aisyah saja. Tujuan utamanya adalah Rasulullah SAW dan risalahnya. Dia merusak kredibilitas pemimpin dengan menyerang keluarganya. (d) echo chamber. Oleh karena berpengaruh, bahkan semula calon raja Madinah, maka dia punya jaringan pendukung yang loyal secara politik (bukan iman). Dari sini rumor menyebar secara cepat, dan (e) plausible deniability. Ia selalu menyebar melalui kalimat samar: “Konon katanya…” “Orang bilang begitu…” Saya hanya mendengar…” Semua itu adalah teknik klasik penyebar hoaks agar sulit diadili.
Dalam terminologi modern, Abdullah bin Ubay adalah propagandis politik, produsen disinformasi, operator perang opini publik, pelaku kampanye hitam (buruk), dan pembentuk narasi liar berbasiskan fakta (editorializer). Maka, betapa berbahayanya ketika media tanpa etika yang dipertemukan dengan publik yang mudah panik (Dean Al-Gamereau).
