Fakta dan Prasangka
Aisyah bertemu dengan Safwan bin Muaht-thal As-Silmi di perjalanan adalah fakta. Mereka berdua pernah berbicara seperlunya, juga fakta. Aisyah naik unta yang dikawal Safwan sampai ke Madinah, juga fakta. Mereka tak pernah bercakap-cakap selama dalam perjalanan, dan tak pernah singgah atau beristirahat di perjalanan, juga fakta yang lain.
Lalu, kabar yang tersiar kemudian, Safwa dan Aisyah berselingkuh, bahkan sampai berzina, ternyata hoaks, sebagai prasangka. Fakta yang diselewengkan, ditambah dan dipoles, sehingga jadi “fakta” yang lain. Bagian inilah yang “enak” jadi gosip atau gibah yang mengguncang Kota Madinah.
dari mana datangnya bukti bahwa fakta Safwan – Aisyah itu bersih? Dari wahyu yang Allah SWT turunkan kepada Rasulullah SAW, suami Aisyah itu memang sempat bimbang : benar atau fitnah.
Dalam peristiwa fitnah itu, terjadilah di sini penambahan fakta yang berlebihan dan signifikan. Pertemuan, percakapan sederhana, dan berjalan berdua (Aisyah naik unta dan Safwan mengawalnya) berubah jadi prasangka, jadi tuduhan selingkuh dan zina. Mereka yang menuduh itu ternyata tanpa bukti dan saksi. Ternyata pula, ada aktor “produsen” fitnah.. Ada kepentingan tertentu di balik manipulasi fakta dan prasangka itu.
Fakta, Apa Adanya
` Pelajaran untuk wartawan. Fakta jangan ditambah atau dikurangi, apalagi “dibumbui” jadi prasangka. Penambahan fakta atau pengurangan fakta dalam tubuh berita termasuk pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik (KEJ). Wartawan jangan mengada-ada yang tak ada atau meniadakan yang ada,
Wartawan (dalam karya jurnalistiknya) seharusnya hanya menampilkan fakta, bukan memengaruhi pembaca. Penafsiran atas fakta jadi hak khalayak pembaca atau pemirsa setelah berita atau informasi sampai kepada mereka. Tafsir khalayak pembaca bisa beragam.
Khalayak pembaca, tentu saja, menuntut agar wartawan selalu menampilkan berita dengan fakta-fakta yang telah teruji dan terverifikasi. Jangan sampai terjadi, khalayak pembaca merasa dibodohi media massa dengan tampilan berita-berita yang tak jelas sumbernya atau asal-usulnya, lalu dikemas dengan, misalnya, bahasa klise “menurut sumber yang layak dipercaya”.
Kalau saja fakta yang benar tersiar, tentu tak akan ada fitnah, Malah, Safwan dipastikan menuai pujian karena telah menyelamatkan Aisyah, istri Rasulullah SAW yang tertinggal rombongan.
Fakta dan Bahan Diskusi
Surat An-Nur 11 – 20 jadi pemadam peredaran fitnah. Semacam hak jawab dalam persepktif dalam etika jurnalisme. Pembersih dan sekaligus pemuilih kehormatan Aisyah dan Safwan khususnya. Semua diterima sebagai kebenaran, sebagai wahyu pemutus perkara, dan dengan jaminan, Rasulullah SAW mustahil mengarang cerita.
Adakah bahan diskusi dari peristiwa itu, yang kemudian dipungut jadi pelajaran untuk wartawan? Banyak sekali. Terutama tentang kehati-hatian menerima informasi dan menyebarkannya.
An-Nur 11-20 tak mementingkan nama, tetapi prinsip. Korban fitnah dan produsen fitnah sama sekali tak disebut. Namun, hadis-hadis sahih menyebutkan nama-nama yang berhubungan dengan asbab nuzul An-Nur 11 – 20 itu. .Siapa yang menjadi produsen fitnah, siapa pula yang menjadi korban fitnah.
Mengapa An-Nur 11 – 20 itu tak menyebut nama? Boleh jadi, Allah SWT mengajarkan bahwa tak setiap kebenaran mesti diungkapkan atau diucapkan. Pelajaran bagi wartawan pula, tak semua fakta harus selalu diungkapkan jadi cerita.
Hadis sahih mengingatkan, “Cukuplah dosa bagi orang yang mencertikan setiap yang dia dengar (Abu Hirairah – Imam Muslim). Artinya bagi wartawan, kumpulkan fakta sebanyak-banyaknya, tetapi tak berarti semua fakta itu boleh diceritakan atau diungkapkan dalam berita.
Awas, Kaum Munafik!
Safwan jadi pula korban fitnah. Surat An-Nur 11-20 sekaligus pula membersihkan namanya dan kehormatan dirinya. Nama Aisyah dan Safwan dipulihkan setelah dirusak fitnah yang sengaja disebarkan sang “aktor” intelektual dari kalangam kaum munafik.
Jangan salah, pada zaman Rasulullah SAW saja ada kaum munafik. Zaman sekarang, apalagi setelah berjarak 14 abad dari zamannya, kaum munafik mungkin lebih banyak.
Mungkin, mereka tampak lebih saleh dari orang muslim rata-rata. Kaum munafik ikut perang Uhud, pada zaman Rasulullah SAW, tetapi kemudian mundur di perjalanan, sekitar 300 orang. Ciri kaum munafik, ketika itu, jadi pengkhianat. Awas kaum munafik! (Dean Al-Gamereau)





