Al-Bukhari
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadiitsul ifki (kabar bohong tentang Safwan dan Aisyah), dengan disiplin ekstrem : rantai (sanad) periwayatan yang ketat, minim komentar, dan tak ada spekulasi psikologis. Bagi Al-Bukhari, kebenaran lahir dari sanad, bukan asumsi. Fakta yang sahih cukup berdiri sendiri dan jadi basis argumentasi.
Etika jurnalistik yang diajarkan Al-Bukhari, jangan menambah atau mengaduk emosi, tafsir, atau kecurigaan di luar data yang sahih. Dalam kerangka ini, Ṣafwan tetap bersih. Gosip tanpa sanad harus diabaikan, tempatnya di keranjang sampah informasi.
Ibnu Kasir
Imam Ibnu Kasir menyusun narasi hadiitsul ifki. Menghubungkan sebab dan akibat, tetapi mengikat semuanya dengan ayat. Allah SWT tak menyebut nama Ṣafwan. Tak pula menyebut nama Aisyah. Keduanya korban fitnah. Juga, Allah SWT tak menyebut nama-nama “segolongan dari kalian” (عُصْبَةٌ مِنْكُمْ) sebagai penyebar dan penyubur fitnah. Komplotan pelaku fitnah yang aktif kemudian dihukum pidana (cambuk).
Pesan etik Ibnu Kasir, wahyu tak mengabadikan gosip, tetapi menguburnya dengan prinsip. Ṣafwan dalam tafsir Ibnu Kasir disucikan oleh ketiadaan tuduhan Namanya tak ada di panggung wahyu, sama seperti nama Aisyah.
Al-Qurtubi
Imam Al-Qurṭubi menekankan hukum, bukan drama. Al-Qurṭubi membaca hadiitsul ifki sebagai fondasi hukum sosial. Pilar etika publik. Batas tegas informasi dan fitnah. Al-Qurtubi mencatat qadzaf sebagai dosa besar.
Diam bisa menjadi ibadah. Menjaga kehormatan lebih utama daripada hak tahu. Dalam logika Al-Qurṭubi, Ṣafwan menang secara hukum, bahkan tanpa bicara. Safwan tak menuntut klarifikasi publik. Kehormatan bukan perkara opini massa atau opini publik yang dibuat-buat. Safwan tak memoles diri dengan pencitraan. Dia bukan politisi, juga bukan selebritas yang haus sanjungan.
Safwan, Jurnalisme Islam
Dari ketiga imam itu lahirlah satu figur. Ṣafwan adalah saksi tanpa mikrofon.Saksi senyap.Tanpa pembingkaian satu sisi (framing). Fakta bukan bahan berita. Prinsip etika lelaki yang bergelar As-Sulami itu : bahwa tak semua yang benar harus disiarkan atau diberitakan, atau dijadikan konsumsi publik.
Prinsip yang dia wakili pula, diam bisa lebih jujur dari klarifikasi. Wahyu memilih anonimitas demi martabat hamba-Nya. Nama hanya akan mengabadikan fitnah. Namun, verifikasi dan purifikasi peristiwa adalah prinsip utamanya.
Jurnalisme Islam berpihak pada kehormatan, bukan demi popularitas atau viralitas. Fitnah memang akhirnya viral, tetapi kemudian semua dibungkam wahyu. Ada “hak jawab ilahi” yang dibawa Malaikat Jibril dari langit : An-Nur 11 – 20, sumber kebenaran hakiki.
Al-Qur’an mengajarkan jurnalisme yang beradab dan ramah, yang kemudian melahirkan kesejukan dan kedamaian. Bukan jurnalisme sensasi dan berisik yang kemudian melahirkan kegelisahan dan kepanikan. (Dean Al-Gamereau)





