Rutin diperingati setiap tanggal 1 Desember setiap tahunnya, Hari AIDS sedunia di tahun 2019 mengangkat thema ‘Komunitas Membuat Perbedaan.’ Oleh WHO, Thema ini diangkat dan dinilai dapat menjadi kesempatan penting untuk mengetahui peran yang telah dilakukan masyarakat dalam penanggulangan AIDS baik di tingkat internasional, nasional, maupun lokal.
Berdasarkan data UNAIDS, pada akhir 2018, sebanyak 37,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan 770.000 orang meninggal karena AIDS. Masih banyak orang yang tidak dapat mengakses layanan pencegahan HIB karena adanya diskriminasi, kekerasan, bahkan penganiayaan. Oleh karena itu, masyarakat diingatkan untuk memainkan peran penting dalam memberikan layanan penyelamatan jiwa ini kepada orang-orang yang paling membutuhkannya.
Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan juga turut merayakan Hari AIDS sedunia dengan mengambil lokasi di Kota Bandung, Jawa Barat. “Jawa Barat menjadi tempat Puncak Hari HIV/AIDS kerena Pemerintah Daerah memahami betul dan mengedepankan koordinasi di tingkat lokal untuk upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Anung Sugihantono dalam keterangan resminya jelang Peringatan Hari AIDS sedunia akhir November lalu.
Anung mengungkapkan, sesuai dengan thema peringatan internasional, komunitas diharapkan dapat memimpin dan mendukung pemberian layanan HIV, membela hak asasi manusia, mendampingi dan mendukung rekan-rekan mereka. Mereka yang bekerja di akar rumput, memimpin dan berkampanye untuk memastikan bahwa respons AIDS tetap relevan.
Sementara di tingkat nasional. thema yang diambil yaitu “Bersama Masyarakat Meraih Sukses!” Kementerian Kesehatan dan para mitra ingin mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meraih sukses mencapai Three Zero pada tahun 2030. Dengan cara, antara lain tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV, tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Upaya yang terus dilakukan Pemerintah pada 2017 telah dicanangkan strategi Fast Track 90-90-90 yang meliputi percepatan pencapaian 90% orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini; 90% dari ODHA yang mengetahui status HIV memulai terapi ARV, dan 90% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi ODHA.
Dalam rangka mencapai target itu, Kementerian Kesehatan menerapkan strategi akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan (STOP). Suluh dilaksanakan melalui edukasi yang menargetkan sekitar 90% masyarakat paham HIV; Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini dan diharapkan sekitar 90% ODHA tahu statusnya; Obati dilakukan untuk mencapai 90% ODHA segera mendapat terapi ARV; dan Pertahankan yakni 90% ODHA yang ART tidak terdeteksi virusnya.
Selain itu, Kemenkes melakukan akselerasi ARV, dengan target pada tahun 2020 sebanyak 258.340 ODHA yang mendapat terapi ARV. Saat ini baru 50% atau 17 provinsi yang telah mencapai target ODHA on ART yaitu: Aceh, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Babel, Jabar, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Sulut dan Gorontalo.
“Cita-cita tersebut tidak dapat tercapai tanpa dukungan lintas program, lintas serta masyarakat. Kesuksesan dapat terwujud dengan didukung akses layanan kesehatan berkualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan dukungan tanpa adanya stigma dan diskriminasi,” ucap Anung lagi.
Masih Andalan
Sejauh ini, Antiretroviral (ARV) merupakan obat yang ampuh menekan virus HIV/AIDS dalam tubuh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Saking ampuhnya, penderita HIV/AIDS bahkan bisa berkeluarga, produktif bekerja, berkeluarga dan virus nya tidak menular ke istri dan anaknya.
Dengan kata lain, ODHA yang meminum ARV secara teratur tanpa tertinggal sekalipun dapat hidup layaknya orang yang tidak menderita HIV/AIDS. Namun bagaimana rekam jejak awal ARV ada di Indonesia sampai menurunkan angka kematian ODHA?
Menurut Ketua Panli HIV AIDS PIMS, Samsuridjal Djauzi menjelaskan awal pertama HIV/AIDS masuk ke Indonesia jika dibandingkan dengan sekarang jauh berbeda dari segi jumlah korban. Karena kehadiran ARV itu, angka kematian akibat HIV/AIDS jadi menurun. Dia mengatakan tahun 1986 ada laporan kasus seorang perempuan Indonesia di sebuah rumah sakit menderita HIV. Kemudian tahun 1987 di Bali terdapat seorang wisatawan asal Belanda yang meninggal karena HIV.
“Dari situlah mulai kasus meningkat, dan biasanya adalah pasien datang dalam keadaan sakit berat, sudah dalam infeksi oportunistik entah itu TBC, infeksi otak, entah penyakit lain, kemudian diperiksa HIV dan diketahui positif,” katanya seperti dikutip dari lama resmi Kemenkes RI.
Kasus HIV/AIDS lantas menurun setelah adanya ARV di Indonesia, Sjamsurizal menambahkan, ARV pertama kali ada pada 1997 dan Pemerintah Indonesia mulai menyediakan obat ARV secara cuma-cuma pada akhir 2014. Dari sebelum ada ARV mereka yang sudah dalam keadaan infeksi oportunisktik, artinya HIV berat, itu dalam 6 bulan paling lama 2 tahun akan meninggal.
“Jadi pada waktu itu yang ramai di setiap negara adalah pembuatan shelter untuk menampung penderita HIV. Ada di mana-mana, Amerika, Eropa, Thailand, dan Indonesia. Wakti itu mempersiapkan shelter karena belum ada ARV yang bisa menekan virus tersebut,” katanya lagi.
Setelah ada ARV, kondisinya berubah. Angka kematian akibat HIV/AIDS menurun, kemudian juga semakin banyak ditemukan penderita HIV/AIDS dalam keadaan belum ada gejala. Jadi misalnya, Samsuridjal mencontohkan, jika ada seorang suami masuk ke rumah sakit dan diperiksa HIV/AIDS dah hasil nya positif, istrinya lantas dilakukan tes HIV juga sehingga apabila dia belum ada infeksi oportunistik dapat segera diberikan ARV.
“Sekarang sebagian besar mungkin sekitar 300 ribu lebih orang sudah diketahui terinfeksi HIV di Indonesia, dan sekitar 120 ribu orang mengonsumsi ARV secara teratur,” tambah Samsuridjal. “Karena itulah Kemenkes bersama LSM dengan para profesi sekarang yang sangat dianjurkan adalah kita bisa mendeteksi. Barangkali kita masih punya sekira 300 ribuan lagi ODHA yang belum terdeteksi HIV. Dari yang (ODHA) sudah produktif sebagian ada yang sudah bisa berpenghasilan dan memang sebagian besar mereka usaha mandiri.” Samsuridjal mengharapkan ada banyak peluang kerja bagi ODHA yang sudah produktif di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan hak ODHA dan selain ODHA sama di masyarakat. (*/cr7)
Sumber: kemenkopmk.go.id