Menteri Miskin

oleh
oleh -

Oleh : Jaya Suprana

Ketika sedang takjub menyaksikan ada beberapa (tidak semua) pihak yang tega menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk mengeruk hartabenda bagi diri sendiri pada masa rakyat sedang
menderita pageblug Corona, saya memperoleh kiriman sebuah naskah dari mahaguru kearifan Jawa saya, mas Darminto M. Sudarmo alias mas Odios berkisah tentang Menteri termiskin
sepanjang sejarah Republik Indonesia.

MENTERI PEKERJAAN UMUM
Delapan kali dilantik jadi menteri tetapi hidupnya tetap saja miskin. Nama aslinya Ir. Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum yang menjabat selama 4x sejak tahun 1965 sd 1978. Mengabdi pada Kabinet Dwikora l Era Presiden Soekarno dan masih ditugaskan di bawah pimpinan Presiden Soeharto di Kabinet Pembangunan II . Sutami selama menjadi Menteri, memimpin berbagai mega proyek, meski demikian pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah 19 Oktober 1928 tidak lantas memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk korupsi dan memperkaya diri. Di bawah pengawasannya, proyek raksasa seperti: Gedung DPR, Jembatan Semanggi, Waduk Jatiluhur, Bandara Ngurah Rai, Jembatan Musi Palembang. Semua karyanya hingga kini masih berdiri kokoh. Sutami adalah menteri yang termiskin di Indonesia mungkin sampai hari kiamat nanti, karena Sutami adalah manusia yang langka karena jujur dan amanah.

Baca Juga  Do’a Tak Bisa

SEDERHANA
Jika hari lebaran tiba, para tamu pun bersilaturahmi. Namun betapa terkejutnya mereka saat menginjakkan kaki di rumah Menteri Sutami. Bukan kemewahan yang ada, namun rumah sederhana yang atapnya bocor di mana-mana. Bahkan suatu ketika PLN mencabut listrik dirumahnya karena Sutami telat bayar listrik. Sebenarnya sebagai pejabat negara yang menangani proyek-proyek besar, Menteri Sutami bisa saja hidup bergelimang kemewahan. Contohnya banyak menteri dan Gubernur
sekarang Ini semuanya memiliki Rumah mewah, mobil mewah dari hasil di luar gaji karena mereka tidak memiliki sifat jujur di hatinya. Sosok Sutami ini Sangat pendiam dan sederhana. Rumahnya
beralamat di Jl. Imam Bonjol, beliau membeli rumah secara mencicil dan baru lunas menjelang pensiun. Tak pernah ia menggunakan fasilitas negara di luar pekerjaannya. Saat pensiun, semua ia kembalikan, termasuk mobil dinasnya. Seorang pengusaha pernah ingin memberinya mobil karena tahu mobil dinas Sutami akan dikembalikan. Namun sang Menteri menolak dengan halus.

Baca Juga  Menghormati Pahlawan

TIDAK PUNYA UDEL
Sebagai insinyur sipil lulusan Institut Teknologi Bandung, ia sangat menyukai pekerjaan lapangan. Wartawan kerap memanggilnya ‘Menteri tidak punya udel’. Sutami mampu jalan kaki puluhan
kilometer untuk meninjau daerah terpencil. Jika ada ojek, ia naik. Jika tidak ada, maka menteri sederhana ini akan berjalan kaki hingga bertemu masyarakat sekitar. Dialah satu satunya menteri sepanjang zaman sebagai orang yang paling terjujur dan mengerti tentang Akhirat. Saking terlalu rajin berkerja dia sampai tidak memikirkan diri sendiri, Hingga kemudian di jatuh sakit dan kekurangan gizi. Namun Sutami tak mau kerumah sakit, dia takut diketahui bahwa Menteri yang bersahaja itu tidak punya uang untuk membayar rumah sakit, baru setelah Pemerintah turun tangan, Sutami mau diopname, Namun semua itu terlambat, Sutami meninggal dunia di Jakarta 13 November 1980 pada usia 52 Tahun.

Baca Juga  Hanya Nama Pasien Positif Corona Bukan Rekam Medik

HIDUP BERSIH
Meski jasanya banyak untuk Bangsa Indonesia, Sutami sempat mengungkapkan bahwa dia tidak mau dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata, Akhirnya Sutami di makamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, kemudian namanya diabadikan menjadi nama sebuah waduk di Kabupaten Malang, yakni Waduk Ir.Sutami . Indonesia saat ini membutuhkan lebih banyak sosok Menteri seperti Sutami sebagai Menteri yang berprestasi dan rela hidup merakyat. Menteri yang menghindar dari kehidupan duniawi yang melenakan dan memilih hidup bersih hingga akhir hayatnya. Hingga kini namanya tetap harum dan akan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia yang merindukan sosok pemimpin hebat dan sederhana seperti beliau. Terima Kasih, Pak Sutami! (Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan)