Oleh: Irjenpol. (Purn) Taufiequrachman Ruki, S.H.
Tradisi bahasa Banten mengajarkan kesetaraan. Kita bisa tetap menghormati lawan bicara tanpa harus merendahkan diri.
Di tengah derasnya arus modernisasi, cara kita menyapa atau memanggil orang lain kerap dianggap sepele. Padahal, panggilan bukan sekadar kata, melainkan cermin budaya, relasi sosial, bahkan jati diri sebuah masyarakat.
Di Banten, ada tradisi panggilan yang unik dan egaliter, yang kini mulai tergerus oleh pengaruh feodalisme dan kolonialisme.
Dalam budaya asli masyarakat Banten (Sunda), kita mengenal sebutan Ki dan Nyi. Dua kata sederhana ini adalah bentuk penghormatan kepada lawan bicara yang tidak memiliki hubungan darah dengan kita. Lebih jauh, panggilan ini menunjukkan rasa hormat sekaligus kesantunan untuk tidak menyebut nama langsung. Maka lahirlah istilah seperti Nyi Guru, Ki Lurah, Ki Dalang, Nyi Sinden. Bila profesi lawan bicara tidak diketahui, cukup disebut Ki Sanak.
Berbeda dengan itu, dalam keluarga dan kekerabatan, sebutan lebih akrab dan baku dipakai: Aki, Bapa, Uwa, Mamang, Akang, Nini, Teteh, Alo, dan lain-lain. Semua itu menegaskan bahwa masyarakat Banten (Sunda) sesungguhnya punya tradisi egaliter dalam bahasa: sederhana, bersahaja, dan tanpa jarak yang berlebihan.
Sayangnya, perubahan zaman membawa pula pengaruh feodalisme. Dari lingkungan bangsawan dan keraton muncul gelar-gelar yang menekankan status: Raden, Radenmas, Nyimas, Massayu, Kiagus, Tubagus, Juragan, Paduka.
Beberapa istilah bahkan khas di wilayah tertentu: Aom dan Juag untuk anak menak di Priangan, Elang di Cirebon, sementara di Purwakarta dikenal sebutan Adang. Di Banten sendiri ada panggilan menak seperti Entus, Yayu, atau Atut. Semua istilah ini berfungsi membedakan status sosial, yang sebenarnya kontras dengan tradisi egaliter masyarakat Banten.
Kolonialisme pun menambah daftar panggilan asing: Mister, Sir, Tuan, Boss, Tauke. Hingga kini, kita terbiasa pula dengan istilah baru yang kaku seperti Yang Mulia, Yang Terhormat, Bapak, Ibu, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali.
Ada satu istilah yang juga menarik: Nyai. Pada asalnya, kata ini justru penuh kasih digunakan untuk menyebut istri, anak perempuan, atau cucu perempuan. Namun, ketika berulang menjadi nyai-nyai, maknanya berubah menjadi negatif. Perubahan makna ini menunjukkan betapa besar pengaruh sosial dan budaya luar dalam membentuk cara pandang kita.
Bagi masyarakat Banten (Sunda) yang juga kental dengan tradisi Islam, sesungguhnya ada pula jalur penyebutan yang egaliter: Ajengan, Abuya, Abah, dan Ustadz. Istilah-istilah ini mengacu pada peran keilmuan, bukan status sosial. Namun, seiring waktu, muncul pula gelar seperti KH (Kyai Haji) yang sering dipersepsikan sebagai simbol kedudukan, bukan semata-mata keilmuan.
Selain itu, ada pula aspek menarik dalam bahasa sehari-hari: penyebutan diri sendiri. Dalam bahasa lisan maupun tulisan Indonesia kita mengenal kata saya, yang berasal dari kata sahaya. Dalam bahasa Sunda, lazim digunakan kula (dari kaula) atau abdi (dari ab’d). Semua istilah itu sesungguhnya bernuansa feodal, karena mengandung kesan rendah diri di hadapan lawan bicara. Sebaliknya, dalam bahasa Banten, orang menyebut dirinya dengan kata KAMI, yang bernuansa setara dan egaliter: tetap menghormati lawan bicara tanpa harus merendahkan diri.
Di titik inilah kita perlu merenung. Apakah kita rela tradisi panggilan asli Banten (Sunda) yang egaliter, sederhana, dan penuh rasa hormat hilang ditelan budaya feodal? Apakah penghormatan harus selalu dibungkus dengan jarak, gelar, dan status?
Masyarakat Banten (Sunda) memiliki warisan luhur dalam cara menyapa: menghormati tanpa merendahkan, bersahaja tanpa kehilangan wibawa. Menjaga tradisi ini bukan sekadar soal bahasa, melainkan soal merawat jati diri dan karakter egaliter yang menjadi napas kehidupan masyarakat Banten sejak lama.
Penulis:
Irjenpol. (Purn) Taufiequrachman Ruki, S.H. adalah putra daerah Banten, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ketua Umum Perkumpulan Urang Banten (PUB).