Membaca Arah Dukungan Relawan di Pilgub Jawa Tengah

oleh
oleh -

Oleh Ahmad Kailani*

Pemilu tahun 2024 baru saja selesai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi sudah mengumumkan pasangan nomor urut 02, Prabowo-Gibran, sebagai pemenang. Dengan jumlah suara yang diraihnya sekitar 58,6 persen, posisi politik Prabowo-Gibran menjadi sangat powerfull. Kemenangan Prabowo-Gibran yang menang di 36 propinsi, membuat mandat rakyat untuknya nyaris sempurna. Dan hampir pasti Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Kepala daerah akan dibayang-bayangi oleh suasana batin hasil Pilpres.

Dengan kata lain “coat-tail effect” Prabowo-Gibran akan memberi dampak pada proses dan dinamika Pilgub dan Pilkada serentak. Wajar jika partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang menjadi pendukung Prabowo-Gibran sebagai Cawapres dan Cawapres, didesain menjadi “koalisi permanen”. Tidak bubar jalan. Dengan desain ini koalisi berlanjut dalam Pilgub dan Pilkada. Secara kalkulatif, KIM menjadi koalisi yang potensial “menang banyak”. Pilgub dan Pilkada rasa Pilpres akan sulit dihindari. “oke gas, oke gas torang pilih dua gas”bisa jadi akan kembali menggema.

Di titik ini posisi “komandan” KIM menjadi sangat strategis. Isu bahwa Jokowi akan didapuk memimpin KIM menjadi semakin memperkuat posisi tawar KIM akan jauh lebih kuat. Namun dinamika sosio-politik juga bukan tanpa pengecualian dalam membaca peta kekuatan para kandidat di masing-masing daerah. Artinya “garis tangan” dan “garis politik” menjadi dua hal yang berbeda. Karakteristik masing-masing daerah yang ditopang oleh kekuatan “ketokohan” sejatinya harus diikuti oleh kekuatan akar rumput, termasuk di Jawa Tengah.

Uniknya Pilgub di Jawa Tengah memunculkan nama-nama tokoh yang tingkat popularitasnya cukup “seimbang”, termasuk kandidat yang tumbuh dari “ranah” relawan.

Meski tidak harus dipertentangkan, kehadiran kandidat dari ranah relawan menjadi fenomena menarik dalam politik paska Pilpres. Tidak hanya di Jawa Tengah, daerah daerah lain pun, para relawan yang merasa punya potensi dan peluang maju sebagai kandidat tengah “berancang-ancang” ikut maju. Meski bisa jadi sekedar “eksperimen politik”, paska Pilpres, posisi tawar relawan dalam Pilgub dan Pilkada patut diapresiasi.

Baca Juga  Semarak HDKD ke-77, Lapas Cikarang Laksanakan Ziaran dan Tabur Bunga di TMP Bekasi

Meski nama-nama yang muncul masih didominasi kalangan “politisi”, Pilgub yang masih 8 bulan ini juga memunculkan tokoh-tokoh non partai. Dari kalangan politisi muncul nama Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dan Hendar Prihadi (PDIP). Dari Partai Golkar muncul nama Dico Ganinduto,Juliatmono dan Nusron Wahid. Dari PKB muncul nama Yusuf Chudlari. Dari Gerindra, ada nama Sudaryono yang kini menjadi Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah. Sementara dari non partai mencuat nama Kuat Hermawan (relawan).

Di Jawa Tengah, khususnya di Kota Solo, nama Kuat Hermawan cukup populer. Sebagai Ketua Umum relawan Bolone Mase, sosok Kuat patut diperhitungkan. Kuat yang sukses “menyatukan” Prabowo-Gibran menjadi kekuataan politik diharapkan mampu memberi efek elektoral. Namun dalam konteks Jawa Tengah, bisa memunculkan politisi vs relawan yang membuat relawan “terbelah”. Dengan asumsi bahwa semua organ relawan ada dalam satu garis komando. Jika tidak, maka pertanyaannya adalah ke mana arah politik relawan dalam Pilgub Jawa Tengah kelak?

Das Solen : Relawan Sebagai Kekuatan Ketiga?

Relawan politik lahir dari rahim sistem politik yang demokratis. Relawan politik merupakan bentuk manifestasi dari meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi substansial. Menurut Bekkers (2005), pada dasarnya seorang relawan bekerja dengan hatinya dan melakukan aktivitas berdasarkan panggilan moral. Jiwa yang dimiliki para relawan dapat menjadi aspek kunci dari masyarakat sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi yang lebih partisipatoris. Ruang partisipatoris relawan dimulai di tahun 2012 dengan munculnya Joko Widodo, Wali Kota Solo selaku Calon Gubernur DKI Jakarta.

Pintu partisipasi relawan semakin terbuka lebar seiring dengan pencalonan Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2014-2019. Posisi “tawar” relawan semakin menguat dan pimpinan relawan mendapat “Karpet Merah” bersama dengan masuknya sejumlah pimpinan relawan pendukung Jokowi-Amin dalam portofolio Kabinet Jokowi tahun 2019-2024. Munculnya Jokowi dengan kekuatan relawan politik menempatkan posisi relawan makin sulit untuk diabaikan.

Baca Juga  Usai Pimpin Sertijab, Sekjen Kemenkumham RI Resmikan Masjid An-Nafi Kanwil Banten

Relawan politik telah mengalami metamorfosa menjadi kekuatan politik. Menarik catatan yang diberikan Wasisto Jati, Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya tren perubahan kelompok relawan mulai dikenal sejak pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Kemunculan relawan kala itu, menurut Wasis, seiring kebutuhan masyarakat mencari pemimpin yang bersih dan merakyat. Pada Pilpres 2014, trennya mulai berubah. Kemunculan relawan seiring keinginan publik terhadap pemimpin yang muncul dari bawah akar rumput. Pada Pilpres 2019, relawan membawa tren opini pemimpin nasionalis dan moderat.

Nah, apakah tren relawan politik kembali mengalami perubahan dengan munculnya para kandidat dari garis relawaan dalam Pilgub dan Pilkada?

Sulit dipungkiri bersama dengan Pemilu serentak, relawan memberi peran yang sangat menentukan dalam Pilpres. Di tengah para caleg partai sibuk memperjuangkan posisinya dalam kancah perebutan kursi di DPR RI, DPRD I dan II, bisa dikatakan relawan berada di garda depan pemenangan Prabowo-Gibran. Dengan jejaring dan kemampuannya menembus batas-batas primordial (politik, ras, agama dan golongan), relawan mampu mempengaruhi mereka yang ragu (undecided voter) dari sejumlah kalangan khususnya Gen Z.

Menguatnya peran relawan politik berkolerasi dengan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Dari sinilah kekuatan relawan bukan lagi “kalengkaleng”. Bahkan Dr Marcin Walecki, seorang doktor hukum dan ilmu politik lulusan Oxford, menyebut relawan sebagai partai ketiga bagi sebuah organisasi yang mempengaruhi hasil pemilu, tapi dia bukan pelaku atau partai politik peserta pemilu. Praktik ini memang lazim terjadi di negara-negara yang berdemokrasi.

Arah Politik Relawan

Munculnya nama Kuat Herwaman, dalam Pilgub di Jawa Tengah jelas menunjukkan adanya metamorfosa dari relawan politik ke “politik relawan”. Dalam Pilgub Jawa Tengah bisa jadi Kuat hadir dalam momentum yang tepat. Basis-basis pemenangan Prabowo-Gibran bisa menjadi kantong-kantong suara dalam Pilgub bagi Kuat. Dan realitas politik Jawa Tengah paska Pilpres, bisa menjelaskan bahwa posisi relawan menjadi jauh lebih diperhitungkan. Bahkan bisa melampui Cagub utusan parpol. Sayangnya dalam politik, mengandalkan popularitas sesaat tidaklah cukup. Diperlukan basis yang akan menjadi “jaring pengaman politik” bagi Kuat untuk bisa menaikkan suara. Basis utama Kuat jelas ada di relawan. Pertanyaannya, apakah semua relawan akan ada dibarisan Kuat?

Baca Juga  Dapat Diterima Semua Kalangan, MUI Tangerang Dukung Komjen Sigit Jadi Kapolri

Tentu, jawabannya tidaklah sederhana. Namun menyatukan relawan dalam satu barisan adalah modal utama. Sebab jika menjadikan kekuatan dan keberhasilan relawan

Prabowo-Gibran “menjebol” kandang Banteng tidak secara serta merta bisa di copy paste dalam konteks Pilgub. Sebab cerita banyak relawan atas keberhasilan memenangkan Prabowo-Gibran di Jawa Tengah sangatlah unik dan dinamis. Dengan kata lain, jika belum bisa menyatukan relawan yang terbukti sukses memenangkan Prabowo-Gibran di Jawa Tengah, maka jalan yang dilalui Kuat akan sangat terjal. Padahal di sisi lain, relawan masih “wait and see” dan menunggu “komando” kelak akan mendukung siapa.

Terlepas dari peluang dan tantangan yang akan dihadapi, langkah Kuat untuk ikut maju dalam Pilgub Jawa Tengah patut diapresiasi. Sebab selain sebagai bentuk eksperimen dalam demokrasi, langkah relawan untuk ikut dalam kontestasi bisa menjadi ranah baru masyarakat untuk berpolitik. Fenomena Komeng yang suaranya mengalahkan GanjarMahfud di Jawa Barat, bisa menjadi contoh bahwa untuk menjadi politisi, masuk dari banyak pintu menjadi mungkin. Kuat dan kandidat non partai lain harus optimis bahwa dengan pemilihan langsung semua kandidat punya peluang yang sama untuk dipilih. Dan sikap politik relawan juga sejatinya dalama mendukung kandidat bukan semata-mata dari sisi “primordial” relawan, tetapi apakah sang kandidat mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

*) Ahmad Kailani adalah Ketua Umum Relawan Perisai Prabowo dan Eks Penanggungjawab Zona Relawan Jawa Tengah