Masyarakat Adat Cisungsang Gelar Perayaan Seren Taun, Dihadiri PJ Gubernur Banten Al Muktabar

oleh
oleh -

Majalahtetas.com – Ribuan masyarakat Banten Kidul menggelar ritual adat Seren Taun yang dipusatkan di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Seren Taun merupakan ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat adat setempst setiap tahunya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Minggu (27/8/2023)

Ritual Seren Taun kali ini dipusatkan di Desa Cibeber, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten dengan jarak tempuh dari pusat Ibu Kota Provinsi Banten memakan waktu sekira 5 jam perjalanan darat Tepatnya di Imah Gede yang merupakan rumah Kepala Adat Cisungsang, Abah Usep Suyatma.

Diramaikan oleh seluruh warga desa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Bahkan pada acara puncak Seren Taun, orang dari luar desa pun diperbolehkan datang untuk menyaksikan acara tersebut.

Menilik jejak maknanya, Tradisi Upacara Adat Seren Taun sebenarnya merupaka ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen padi yang telah didapat. Hasil panen padi tersebut kemudian disimpan ke dalam lumbung yang sudah disediakan dengan ritual adat, yang dinamakan Seren Taun.

Baca Juga  Warga Binaan dan Keluarga Nikmati Layanan Kunjungan Hari Raya Idul Fitri 1445 H di Lapas Kelas I Palembang

Dinamakan Kasepuhan karena Seren Taun dilakukan oleh 4 desa yang menjadi satu kesatuan adat yakni Desa Cicarucub, Bayah, Citorek, dan Cipta Gelar. Cisungsang memiliki wilayah kurang lebih 2.800 kilometer persegi dan terletak di kaki Gunung Halimun.

Kepala Adat Cisungsang, Abah Usep Suyatma mengatakan, Kawasan Cisungsang disebut sebagai masyarakat adat karena dipimpin oleh Kepala Adat, dimana proses pemilihannya melalui wangsit dari karuhun.

“Pergantian kepala adat itu sudah berlangsung 4 generasi. Pertama Embah Buyut, kedua Uyut Sakrim, generasi ketiga dipimpin oleh Oot Sardani dan kepala adat saat ini yaitu saya Abah Usep. Ritual Seren Taun Usep sudah berlangsung kurang lebih 700 tahun. Hingga kini, tradisi leluhur itu terus dijaga guna menjaga warisan budaya Banten Kidul,” paparnya.

Ia menjelaskan, masyarakat Kasepuhan Cisungsang berbeda dengan Suku Baduy, karena tidak alergi dengan arus modernisme yang dewasa ini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditampik. Kendati demikian masyarakat adat tidak lupa dan tetap memegang teguh budaya leluhur terbukti dari diadakannya Seren Taun setiap tahunnya.

Baca Juga  Berikan Pembinaan Kerohanian yang Optimal, Lapas Cikarang Jalin Kerjasama dengan Kemenag Kabupaten Bekasi

“Kita tidak akan pernah bisa menampik modernisasi, oleh karena kita tidak alergi dengan itu maka Cisungsang menjadi daya tarik tersendiri baik ditingkat nasional bahkan dunia. Untuk itu, masyarakat Cisungsang berbeda dengan Suku Baduy yang menghidupkan tradisinya dengan tidak membuka keran budaya lain untuk masuk ke dalam lingkup budaya mereka,” tuturnya.

Sementara itu, PJ Gubernur Banten, Dr. Al Muktabar, M.Sc mengatakan, Pemerintah Banten sangat mendukung, baik dukungan fisik maupun non fisik. Tentu semua Tali Asih itu bagian dari kita Bersama, pemerintah hadir, jangan dilihat dari nilainya, tetapi nilai kebersamaannya.

“Saya sendiri membawa misi apa yang kita sebut sebagai Ekspedisi Birokrasi Berdampak. Semua OPD provinsi terlibat dengan berbagai kegiatannya. Semoga kolaborasi seperti ini bisa memberi makna yang bagus bagi Masyarakat Kawasan Selatan Banten,” katanya.

Al Muktabar menambahkan, semoga ini bisa terus menginspirasi berbagai agenda-agenda yang akan datang, karena budaya pada dasarnya merefleksi masa lalu, memperkuat kekinian dan menjadi landasan visi ke depan.

Baca Juga  Dinsos Pandeglang Komitmen Entaskan Kemiskinan, Begini Strateginya

“Seren Taun sangan penting untuk terus dilestarikan daya ungkit dari tradisi ini mendasar soal bagaimana kita memperkuat ketahanan pangan kita. Tembang-tembang Sang Hyang Sri itu yang memuliakan padi khususnya, dan itu kan hal yang sangat mendasar, karena saai ini pangan itu menjadi kekhawatiran dunia. Kalo pangan tidak kuat, negara manapun tidak akan bisa survive. Dan ini yang sering disinggungkan Presiden kita juga. Kekhawatiran dunia itu kan ada tiga, panan, energi dan keuangan. Jadi pangan itu tinggi sekali harkat dan martabatnya,” paparnya.

Jadi, Ia melanjutkan, tradisi yang sudah bergulir berabad-abad ini sebagai suatu tatanan yang kuat bagi pondasi kita dalam hal pangan. Dan dengan inilah bisa menyampaikan kedaulatan pangan.

“Tradisi dan budaya seperti ini harus kita jaga dan lestarikan, karena budaya itu diperankan oleh manusia dan manusia itu pasti pengalami perkembangan, maka mempertahankan budaya itu penting, karena budaya itu selalu pada dimensi masa lalu, masa kini dan masa yang akan dating,” ujarnya.@Juanda